Tentang Peti Mati Dan “Yang Penting Ngetop!”

Jadi kemarin media massa, khususnya Twitter, heboh dengan kedatangan peti mati di berbagai tempat.

Kebanyakan yang mendapat adalah kantor-kantor media massa, bahkan konon ada individu yang juga menerimanya.

Tentunya terjadi kehebohan. Tuduhan pertama adalah ini merupakan aksi teror terhadap media massa supaya tidak ‘vokal’ bersuara. Sempat ada headline di detik.com “DPR Perintahkan Usut Teror Peti Mati”. Beberapa orang sudah curiga bahwa ini adalah publisitas marketing. Dan benar saja, di siang hari, pelakunya mengakui bahwa ini adalah sebuah promosi buku tentang advertising. Bukunya sendiri akan membahas tentang ‘kematian’ advertising tradisional dengan lahirnya word-of-mouth marketing. Dan pengiriman peti mati ini rencananya adalah contoh kekuatan “diomongin” vs. “diiklankan”.

Diomonginnya sih bener kejadian. Masalahnya, kayaknya si pelaku ini gak bisa ngebedain antara sekedar “diomongin”, dan “diomongin secara POSITIF”. Dan yang kejadian kemarin, si pelaku memang “diomongin”, tapi isinya jauh dari positif. Bahkan berujung dengan dia diperiksa polisi.

Peti mati bukan sembarang benda untuk dikirim sebagai mainan. Kematian adalah topik yang menakutkan secara universal, dan bagi banyak orang simbol peti mati membangkitkan banyak kenangan sedih dan menyakitkan. Karena peti mati berukuran anak kecil, banyak karyawan wanita, khususnya ibu, yang tentunya shock melihatnya. Tragisnya, di kantor Detik.com yang juga menerima peti itu, ternyata salah seorang karyawan baru saja kehilangan anaknya yang meninggal dunia di hari yang sama. Dan trik marketing yang sudah tidak lucu itu berubah menjadi tragedi yang menjijikkan.

Sang pelaku mengklaim diri sebagai pionir word of mouth (WOM) marketing. Tidak hanya klaim ini menggelikan, karena WOM adalah konsep yang sudah lama, tapi lebih parah lagi, pelaku seperti tidak mengerti prinsip dasar dalam advertising: heboh (noise) tidak bisa dipisahkan dari kontennya.

Karena kalau sekedar membuat kehebohan, gampang kok. Masalahnya hebohnya positif atau nggak? Di dunia advertising, kadang-kadang ada perusahaan yang masih punya prinsip “Yang penting ngetop dan dikenal”. Untuk statement ini, gw suka gak nahan mau meminjam balasan yang terkenal: “Kalo cuma sekedar ngetop, Hitler juga ngetop kok” πŸ˜€

Gw harap si pelaku peti mati ini belajar dari kesalahannya. Sedihnya, bukannya dikenal sebagai pendobrak dunia periklanan Indonesia (dan mendapatkan banyak client), mungkin peristiwa ini malah masuk kelas kuliah marketing sebagai studi kasus: “Cara Cepat Membunuh Iklan – dan Bisnis – Anda”

Categories: Uncategorized

Tagged as: ,

13 Comments »

  1. Mendingan kayak iklan Roncar deh, om. Akhirnya diomongin juga krn unik (biarpun uniknya agak ke arah ‘gubrak’) πŸ™‚

  2. Norma di Indonesia memang sering kali menjadi halangan untuk eksekusi sebuah ide yang out of the box…but in another point of view, keterbatasan, disini atas dasar norma, seharusnya bisa menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi orang kreatif untuk menghasilkan ide yang out of the box…si bapak mungkin terlalu terburu-buru dalam melakukan eksekusi ide tersebut tanpa pertimbangan lebih lanjut…ga mikir apa ya orang Indonesia tuh sensian? *humph*
    iya kalo nanti bukunya bagus isinya…kalo ngga?! Operasi plastik deh pak ketimbang nanggung malu.

  3. good posting… but nonetheless several facts are abandon…
    kl balik lagi ke objektif sang pembuat onar, dia sukses. karena tujuan dia adalah word-of-mouth. buat konsep, mmg dia bukan yg pertama, tapi di Indonesia hrs diakui dialah yg pertama dan mengajukan konsep dengan sangat berani. soal etika atau bukan, setiap masalah bisa dilihat dari berbagai sisi. kebanyakan org kebiasaan untuk melihat hal dr yang negatif. wkt itu saya mikir, kl emang ga setuju, kenapa ngga diem aja. kl mmg pgn mengecam dia, g usah komen keras dan ngomongin. krn akhirnya tujuan dia tercapai. word of mouth sukses besar, semua org tau. sampe bapak emak yg kagak ngerti marketing jd kenal sumardy.
    sekali lg, ini masalah objektif sang kreator. dan kantor saya sendiri dikirimin 2, untuk 2 org boss saya. mrk cuma bilang, ‘hi ngeri’. tandatangan ke supir ambulans dan bilang baik2, ‘sudah balikin saja ke yg kirim’. that’s all. setelah itu, selayaknya direktur, mrk kembali menjalankan pekerjaan masing-masing. mereka juga punya anak kecil di rumah, tapi tidak langsung terbayang hal-hal apapun. apalagi ikut ‘manas-manasi’ org lain yg punya anak. it’s a matter of perspective.
    peti mati adalah simbol kematian. krn peti itu biasa dipakai untuk menyimpan org mati sblm masuk kubur. sehingga terbentuk stigma dlm otak kita. ini menyeramkan dan tidak etis. tp coba teliti lagi. peti itu kebetulan ada tulisan rest in peace. dalemnya ada kembang tujuh rupa, tp bukankah otak kita yang mempersepsikan itu ancaman dan hinaan? di dalamnya tidak ada nama Anda kan? tidak ada potret Anda sebagai bentuk penghinaan. hanya peti dengan bunga 7 rupa dan bunga mawar putih. it’s a matter of persecption.
    mmg itu tindakan kurang menyenangkan. tapi masalah kita mau kebakaran jenggot sampe ikut menghujat, bikin kita jauh lebih buruk dr org itu. yg sebenarnya tidak pernah membunuh org, menyakiti dan sebagainya. toh kl petinya dibalikin atau tidak mau diterima, dia ngga maksa kok. kantor saya buktinya.
    buat org yg bilang dia gagal, harus menganalisa dgn kepala dingin. pertama, objektif dia word-of-mouth berhasil. seluruh Indonesia tau mengenai campaign dan buku dia, pdhl tadinya hanya untuk org marketing dan media, memberi pesan bahwa advertising yg membodoh2in org itu sudah mati.
    kedua, agency marketing BBDO khusus meminta Beliau untuk merekam campaignnya secara detail dikirim ke kompetisi kreatif word-of-mouth krn mrk yakin ni campaign pasti menang
    keempat, sahabat saya, editor di gramedia sudah blg kalo buku cetakan pertama yg 3000 pcs blm masuk toko buku, cetakan kedua sudah mau diproduksi. dan gramedia terbesar di jakarta sudah minta 500 pcs sndr.
    kelima, tidak ada satpamyg dipecat, hanya di-SP. kenapa? krn tugas satpam menyeleksi barang yg diterima bosnya. jd memang fokusnya adalah di tugas satpam, bukan di peti mati yang diterima.
    semua masalah ada beberapa sisi untuk dilihat. kita yg bisa melihat dan memutuskan, mau melihat dr sisi mana. mau jadi apa kita.
    atau… apakah Anda dikirimin petimati juga? atau cuma ikut-ikutan kebakaran jenggot tanpa alasan?
    well… it’s all in your perception.. why so serious?… πŸ˜€

    • Hi Miranti,

      Trims komennya ya.

      FYI, saya termasuk yang dikirim. Tapi nyasar ke kantor lama. Saya tidak impressed, dan yang lebih kasihan resepsionis kantor lama saya. Dia ketakutan dan tidak mengerti apa-apa. Sampai malamnya pun dia masih menelpon saya dan saya harus menenangkan dia. Jadi saya tidak impressed sama sekali karena menyebabkan orang lain kepikiran yang gak enak,

      Saya bekerja di bidang advertising dan marketing selama 12 tahun. Harus dibedakan antara word-of-mouth dan word-of-mouth MARKETING. Kata “Marketing” artinya ya harus membuat orang jadi tertarik dengan apa yang dijual, dengan menimbulkan perasaan positif terhadap produk/brandnya. Kalo hanya WOM doang, kita bisa mengecat Monas pakai warna pink, pasti dapet deh WOMnya :). Masalahnya, untuk menjual diri sebagai “ahli marketing”, apakah client mau menggunakan jasa/atau membeli buku yang demonstrasinya mengundang kecaman dan hujatan publik? Kalau saya pemilik perusahaan besar, saya takut menggunakan jasa konsultan marketing yang iklannya sampai diproses polisi ya. Saya mau produk saya laku, bukan dipanggil polisi. Common sense saja.

      Advertising bukan untuk kompetisi atau award. Maaf ya, menurut saya Itu pikiran yang tidak professional. Advertising harus menjual obyek yang diiklankan, karena pemilik brand sedang menjalankan bisnis, bukan untuk memenangkan “award”. Saya tidak anti award kok, kan saya ex orang agency :). Tapi memikirkan award dengan merugikan bisnis client saya sangat tidak setuju.

      Sebenarnya saya posting blog ini tidak kebakaran jenggot kok. biasa saja, sebagai mantan “orang” advertising jadinya tertarik dengan kejadian ini. Justru komen kamu kok semangat sekali membelanya ya πŸ˜€
      Tapi trims, soalnya forum ini justru harus menampung perspektif yang berbeda2. πŸ™‚

  4. Setuju Om Piring!
    Seperti halnya brand equity yg harus dibangun melalui 2 hal: awareness & association. Jadi terkenal itu bagus, tp kalo dgn asosiasi yg buruk, buat apa? Ga akan membentuk value yg positif d mata calon konsumen..

  5. Setuju. Kalo mau bikin kehebohan mah gampang, tapi bikin kehebohan yang bisa generate business growth itu tantangannya: more positive conversation for the brand. Lagian, ide WOM dan ‘kematian’ advertising udah rada basi deh, diulang2 mulu. IMHO, sekarang fokusnya harusnya udah “how are we going to do it?”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s