Betapa Sayangnya “Sayang”
“Cowok itu ganteng sih, baik pula, sayang penampilannya nggak banget”
“Dia pintar dan cantik, sayang ngerokok”
“Sebenernya dia udah suka sama gw, siap nikah pula, sayang dia kalo ngomong agak gagap”
Pasti udah sering deh denger kalimat di atas, dalam berbagai variasinya, iya kan? Formulanya biasanya:
(Sederet sifat baik yang menjadikan seseorang potensial jadi pacar/suami/istri) + sayang + (satu dua sifat jelek yang membuyarkan segalanya)
Posting ini terinspirasi twitter @louisajhe tadi pagi: “Just found out that handsome-elevator-dude is an active smoker :’(“ Jadi rupanya ada cowok kecengan yang selama ini di-ilerin di lift, jadi buyar karena ketauan merokok (Hi Jessica, kalo elu baca ini, maaf gw quote tanpa ijin :p)
Kayaknya inilah kodrat manusia, yang selalu mencari pasangan sempurna, sayang pencarian ini sering rontok karena ada ‘sayang’ dalam menilai seseorang 😀
Tentunya gw bukannya tidak setuju bahwa seseorang harus punya kriteria dalam memilih pasangan, apalagi kalau sudah menjelang serius. Kita semua berhak mendapatkan seseorang berkualitas, dan yang cocok dengan kita. Mungkin masalahnya adalah ketika daftar kriteria kita tidak membedakan mana yang sifatnya “wajib” (must have), dan mana yang bisa dikompromikan (nice to have).
Soalnya kalau nguber Mr. dan Ms. Perfect yang memenuhi semua kriteria yang diinginkan, agak susah ya probabilitanya, apalagi kalo kriterianya semakin spesifik (“Gw hanya mau cowok yang bisa bikin 1000 candi dalam semalem”, misalnya) Ya bisa aja sih ketemu in real life, tapi seberapa besar peluangnya?
Gw pernah baca di buku “The Paradox of Choice” oleh Barry Schwartz, bahwa ada dua jenis manusia. Yang satu disebut “Maximizers”, yang satu lagi “Satisficers”. Maximizers beranggapan bahwa dalam mendapatkan segala sesuatu (dari setrikaan, rumah, sampai pacar) mereka harus mendapatkan yang TERBAIK (maksimum), dan ini berarti melakukan proses pencarian yang lebih niat dan ketat, untuk mendapatkan hasil akhir terbaik. Satisficers, di sisi lain, juga melakukan usaha mencari dan punya kriteria, tetapi tidak merasa perlu ngotot. Ketika mereka mendapatkan apa yang dirasakan “cukup baik”, ya sudah, berhenti mencari dan happy dengan yang didapat.
Berdasarkan studi yang dikutip di buku itu, Maximizers mungkin akhirnya MEMANG mendapatkan barang/orang yang TERBAIK. Tetapi proses pencarian yang begitu melelahkan akhirnya membuat kenikmatan akhir menjadi berkurang, dan akhirnya tidak terlalu happy. Satisficers yang tidak terlalu ngoyo mendapatkan yang “less”, tetapi kebahagiaan akhirnya malah lebih tinggi. Kurang lebih formulanya adalah:
Kebahagiaan akhir dari mendapatkan sesuatu = Nilai dari obyek yang diperoleh – Jerih Payah untuk mendapatkannya
Bayangkan skenario mencari LCD TV. Si Maximizer meneliti dan mencoba 100 model TV untuk mendapatkan yang terbaik, dan akhirnya sesudah itu memang mendapatkan TV sempurna bernilai “10”. Satisficer mungkin hanya mencoba 15 TV, dan cukup hepi mendapatkan TV bernilai “7/8”. Pada akhirnya, si Satisficer malah mungkin lebih hepi dan puas dengan TV-nya, karena tidak selelah si Maximizer.
Kembali ke pencarian pacar. Mencari Mr./Ms. Perfect juga tentunya lebih melelahkan dan panjang (walaupun mungkin ada beberapa yang hokkie langsung dapet :D), tetapi sayang juga kalau pengejaran Mr./Ms. Perfect ini malah mengorbankan Mr./Ms. Very Good yang sudah ada di depan mata…. 😀
Selamat mencari Mr. dan Ms. Perfect!
Dan bagi yang sudah mendapatkan Mr./Ms. Very Good, selamat berbahagia! 🙂
Categories: man and woman, Random Insight
Damn, Hen.
#JLEB
kenapa Jen? :p
There’s no such thing as mr/ms perfect, and perfect relationship is almost impossible. What we have is the chance to meet a guy or girl who is not perfect (coz nobody does, we’re human, imperfect creatures), accept each other’s flaws, and make the best effort to live with it all.
*am liking ur note, as always.. 😉
Couldn’t agree more. Been implementing it for the last 5 years. I’ll spread the very-good news, oom Piring. 🙂
*tertohok* damn rite. nice om 🙂
Heei newsplatter.. Sebenernya kalau dilihat” gue termasuk satisficer type.. Tapi kadang gue berfikir.. Apakah bila si satisficer+pasangan bertemu dengan si maximizer+pasangan kira kira akan (sedikit atau malah banyak) menyesal atau tidak ya karena bagaimanapun juga si maximizer mempunyai “yang lebih baik” dari si satisficer..? Dan apakah si maximizer akan merasa puas dan bangga karena bs dapat “yang terbaik” atas segala usahanya? Kok gue agak merasa in real life.. Jawaban atas pertanyaan gue tadi adalah “iya” ya? 🙂 🙂
Bisa saja! Tapi kemungkinan satisficer “kecewa” melihat yang lebih baik mungkin lebih kecil dibanding kalo si maximizer yang ketemu yang lebih baik lagi…. 😀
And which one are you, bang? :-p
Dulu Maximizer. Seiring bertambahnya umur, jadi Satisficer, hihihi 😀
Bang, baca saya, bang. *Ngakak sambil keringet dingin* 😀
(Sekalian aja deh ngaku, I never miss your postings. They’re insightful)
Dan nggak kok, nggaaak.. ‘Ngilerin’ si Handsome-elevator-dude ga langsung buyar gara-gara dia ngerokok.
Anyway, gue setuju dengan pandangan lo, dan syukurlah, setelah membaca lebih lanjut ternyata gue termasuk tipe satisficer. *lap keringet*
For me, things are more than just black and white or (if I can adopt your formula) _______ sayang ______ especially in the attempt of searching for Mr/Ms. Very Good. I won’t say Mr/Mrs. Perfect here, karena kesempurnaan cuma milik Allah. *digampar Dorce*
And what’s the fun in perfect people anyway? I, myself, am far from perfect. 😀
So yes, let’s not miss our chances on finding Mr/Ms. Very Good because we’re too busy looking for Mr/Ms. Perfect.
Good one! 🙂
hahaha! Ternyata elu baca 😀 Kenapa lap keringet melulu?
I think I am a satisficer but sometimes I want to be a maximizer *mulai labil* kadang gue ngerasa terlalu santai di urusan kejar-mengejar mr right ini. I just put my women instinct upfront to find if he’s right. That’s all.
Btw, another great post =)
Dan apa yg terjadi ya klo si “Maximizer” merasa uda dpt yg “terbaik” lalu tiba2 jgerrr satu hari liat ada yg “lebih baik” lg? 😀 uda gitu dia tiba2 jd mrasa Satisficer dong…hehe…intinya : klo cuma compare terus n cari yg lebih baik, ga akan ada puasnya 🙂 once my mentor said, instead of looking for “better”, u should be looking for “compatible”. Ga bakal disebut “less” klo memang itu yg dirasa uda plg cocok n compatible dgn kita, wlopun ada standar org lain yg blg punya kita “less” n punya mrk “more/better”….
makanya menurut penelitian para Maximizers generally gak happy. Soalnya mereka bisa dihantui perasaan “Gimana kalo gw miss a better option?” Sementara Satisficers mikirnya “Ah ini sudah oke kok…cukup laah.” Ihiy! 😀
Wow mas… Wow… 🙂
jadi inget quote dari film How I Met Your Mother:
“when you fall in love, an 8.5 equals a perfect 10.”
satisficer or maximizer, i think when you are really in love, you’ll be happy with whoever you choose 🙂
Jiahh bang.. makin jago nih bikin insight nya… terima konsultasi nggak? 😀
iya dong. Terima cash dan credit-card kok :p
Been there in the search of mr perfect. At the end of the day pencarian gue ditutup dg memilih mas suami yg nilainya bukan perfect 10, dengan catatan:
Yaelah… Gue juga kaga cakep2 amat, kaga pinter2 amat, kaga seksi2 amat gitulohhh
nice! Hope you are happy with Mr. Less Than Perfect But The Best For You 🙂
Ok, kalau dari pengertian sempurna kita semua tau. Tapi itu kan relatif, penilaian sempurna beda tiap orang, apalagi yang dinilai itu manusia, bukan benda. Yah mungkin kata “sempurna” baiknya diganti menjadi “sesuai” (khusus untuk kriteria mencari pasangan)
Been there. Dan bener teori buku itu mas, satisficer lebih happy. I’m really happy now dibanding waktu msh proses mencari dan mencari dan mencaaaaariii *lapkeringat*
Karena kadang menurut gw, option2 yg dijadikan barometer Maximizer utk mencari objek yg sempurna, sebenarnya bukanlah persyaratan yg sangat dibutuhkan dlm relationship ituh. Malah kadang option2 si Sacrificer yg sederhana justru lebih berguna dalam kelanjutan hubungan tsb.
Misalnya gini: si Max bikin list kudu ganteng,kaya,keluarga tepandang,kerjaan bagus,lulusan LN,berpengalaman,gaul,pintar, dsb dsb dsb
Sedangkan si Sacr cuma ngasi listing : bertanggungjawab,pekerja keras dan beriman. That’s it!
Dan tenyata dlm hub yg sebenarnya, ganteng, ngerokok/gak, kerjaan/keturunan bagus ato gak itu gak pentinh. Sing penting dia mah sayang elo dan menghormati lo sbg pasangan dan personal. Itu aja dah bikin meleleh happy loh 🙂
nice Silvie! Bener banget! 🙂
Wadoh ya Alloh, si bang Henry ini menohok sekali.. Sampai eke beli buku the Paradox of Choice-nya Barry Schwartz, soon, now, after read yours… ckckck, hebring!
Buku bagus kok. Enjoy!