Tombol Fast Forward Kehidupan
Hari ini gw ada 3 session kerjaan yang nyambung, seharian.
Jujur, di session pertama gw resah banget. Ngeliatin jam terus, dan berharap waktu berjalan lebih cepat. Dalam hati gw, “Duuh, cepetan deh hari ini berlalu….”
Terus gw jadi keinget film ‘Click’ (Adam Sandler). Tentang seseorang yang gak sabaran pengen cepet2 naik pangkat, dan merasa hidup berjalan terlalu lambat. Terus dia ketemu “remote DVD” ajaib, di mana dia bisa mempercepat jalan hidupnya dengan menekan tombol Fast Forward. Dan dia pun akhirnya bisa mempercepat hidupnya. Dari “skip” langsung ke saat dia naik pangkat, dia ketagihan dan terus-menerus mempercepat hidupnya, sampai menjadi pengusaha kaya, sukses, dan tiba-tiba dia sudah tua dan menjelang ajal.
Catch-nya dari remote itu? Gak bisa diputer mundur! Dan si tokoh Adam Sandler pun digambarkan menyesal karena sudah kehilangan banyak momen hidup karena tak sabar ingin “skip” ke bagian-bagian yang menyenangkan saja. Dia kehilangan masa2 melihat anaknya tumbuh, dan momen2 perkawinannya.
(Btw filmnya bagus. Buat yang biasanya gak suka Adam Sandler, film ini surprisingly pesan moralnya bagus banget, walaupun tetap diselingi humornya Adam Sandler.)
Jujur, gw sih sering dalam situasi seperti itu. Pekerjaan yang lagi gak enak, situasi yang lagi gak enak, dan yang ada dipikiran cuma, “I wish bagian ini bisa dipercepat aja deh.” Dan tiba-tiba hari sudah menjelang malam, gw udah di kamar lagi, dan walaupun sebagian diri gw lega udah melewati bagian gak enak, sebagian diri gw yang lain mempertanyakan “Wow, tiba-tiba sehari sudah berlalu…where has all the time gone?”
Konon menurut para guru dan orang bijak, ada dua cara untuk mengatasi hal ini.
Yang pertama adalah belajar untuk hidup di “saat ini”. Human nature adalah kita seringkali tidak “hadir” di saat ini. Kita hidup terus-terusan dengan orientasi dan antisipasi masa depan, 10 menit lagi, 1 jam lagi, 3 jam lagi, besok, minggu depan, tahun depan, dst. Kita terus-terusan membayangkan masa depan dan “indahnya” masa depan itu, dan apa yang terjadi saat ini, “sekarang”, luput dari indera kita.
Katanya sih kita harus belajar “live in the present”, dan ini harus dilatih. Misalnya, kalo makan mungkin kita sibuk mikirin yang laen, mau ngapain abis makan, sampai lupa merasakan rasa makanan di mulut kita, dan minuman yang mengalir di tenggorokan kita. Kalo makanan sih enak ya, tapi kalo pas bagian kerjaan yg kurang enak, gimana? Yah, konon prinsip yang sama tetap berlaku. Coba menghayati saat demi saat, dan melawan kecenderungan melamunkan masa mendatang. Gimana caranya yang harus bisa enjoy, mungkin dengan merubah cara pandang (contohnya dengan bersyukur “Alhamdulillah gw masih punya pekerjaan, jadi dinikmati aja deh”)
Atau mungkin yang sudah punya anak kecil dan merasa gak sabar anaknya besar (“andaikan anak saya sudah bisa berjalan…”, “andaikan sudah bisa sekolah…”, “andaikan dia sudah masuk kuliah…”, “andaikan dia sudah menikah…”, “andaikan dia sudah punya cucu…”) Tanpa sadar orang-tua juga sering mengarahkan tombol “fast forward” pada anak mereka.
Tetapi kadang-kadang ada situasi-situasi yang beneran gak sehat (dan tentunya gak enak) yang gak cukup cuma dijabanin, tapi memang butuh “action”. Inilah pendekatan kedua selain mencoba meresapi “the present”. Kalo pekerjaan terasa gak enak terus-terusan sampai setiap saat cuma kepikiran mau pulang, ya mungkin beneran ada yang salah. Dalam situasi ini, “live in the present” artinya berhenti hanya mikirin saat pulang, tapi berubah mengubah situasinya. Misalnya dengan beneran mulai nyari pekerjaan/karir baru. Sama juga dengan relationship kali ya. Kalau relationshipnya sudah begitu bermasalah dan tidak bisa diperbaiki lagi, bahkan setiap ketemu malah gak sabar buat berpisah, maka mungkin harus ada tindakan mengubah/mengakhiri relationshipnya (daripada hanya melarikan diri dalam lamunan).
Emang gak gampang sih melakukan yang di atas, sumpah. Tapi gw mencoba untuk “savour the present”, Karena hidup begitu pendek, dan kita tidak mau terus-terusan menekan tombol “Fast Forward”, sampai tiba-tiba kita di usia senja dan melihat ke belakang, dan menyadari sudah begitu banyak waktu terbuang. Dan dengan pahit menyadari bahwa tombol “rewind” itu tidak pernah ada….
🙂
Categories: Uncategorized
ampir nangis. oh bukan itu intinya, well… hmmm aku juga udah nonton film click dan itu emang recomended banget. postingan ini beneran ngena banget, menurut aku ini soal hidup yg mustinya kita syukuri daripada terus dirutuki. jadi inget film one litre of tears, ohohoho panjang lagi. yg jelas aku terharu baca postingan ini (‘:
ebuset, jangan nangis dong…. 🙂 Tapi trims udah baca ya
Bener banget Hen.
Saking ga seneng nya kita sama hal yg ga enak yg lagi kita hadapain, kita jadi merasa kita ga hepi. Padahal, dengan ‘menerima keadaan sekarang’ kita malah akan merasa tidak terbeban.
Baru aja gw selese baca “The Power of Now” nya Eckhart Tolle. Sama persis kayak yg lo bilang di atas itu.. 🙂
Dan skarang gw juga lagi belajar merasakan “The Now” itu and “live in present”. 🙂
Bayangkan kalo smua momen di hidup kita adalah serangkaian momen yg menyenangkan, tanpa tantangan & bahkan bisa dibilang sempurna, maka kita akan susah utk merasa happy n otak kita akan bingung utk menyimpan memori manis yg mana, krn semua sama indahnya :p
I like the last part most. Tidak ada tombol “rewind” dlm hidup kita. Hidup memendek. Semakin dekat ke mortality. Semoga sisa hidup ini adalah rencana Tuhan spy kita bisa “berbenah”. Dear @newsplatter, I like this, I really do.
Thanks for reading Melani 🙂
sepertinya saya memang butuh “action” di beberapa hal… 🙂
Thanks for sharing ^^
Yes, life fully in the present! That’s the key to be happy.
living the present to its fullest no matter what.and here I am,typing this very comment while standing in the bus. jaman skarang ga cuman susah menghayati masa kini tapi jg susah untk menghayati tempat kita berada. blame it on gadgets 🙂
living in the present and future,or even past itu bisa berguna buat kita.faktor.mikirin masa lalu terus bikin ga maju.mikirin masa kini terus,bt kitajadi berpikir pendek.masa dpn trus,jadi pemimpi.tapi smua itulah yg membuat manusia menjadi manusia.enjoy the complexity while we can…
awesome piece of writing.,