“Indonesia Tanpa Kekerasan” Yang (Seharusnya) Tidak Perlu
Sore ini TL Twitter lagi ramai soal Aksi Indonesia Tanpa Kekerasan (sebelumnya sering juga disebut ‘Indonesia Tanpa FPI’).
Gw salut sama teman-teman Alissa Wahid dkk. yang menggunakan haknya bersuara, untuk mewakili keresahan banyak orang Indonesia akan konflik horizontal dan kekerasan semena-mena yang dilakukan oleh ormas.
Menarik untuk dianalisa adalah perubahan dari ‘Indonesia Tanpa FPI’ menjadi ‘Indonesia Tanpa Kekerasan’.
Secara pribadi, gw tidak setuju dengan pembubaran FPI. Walaupun gw sangat mengerti argumen yang pro pembubaran (karena track record yang buruk, banyak sekali jumlah kekerasan yang terjadi di sekitar kehadiran ormas tersebut), secara prinsipil gw tidak setuju dengan pembubaran. Alasannya ada 2 macam: alasan pragmatis, dan alasan prinsipil.
Secara pragmatis, gw tidak melihat manfaat signifikan jika FPI dibubarkan. Karena bubar satu tinggal didirikan lagi sepuluh yang baru. Ganti baju itu masalah mudah kok. Memang ada argumen “Tapi ini kan sinyal bahwa organisasi yang nakal jangan main-main, bisa dibubarkan”. Tapi argumen ini juga mudah dipatahkan dengan ‘reinkarnasi’ yang cepat dan mudah, yang justru bisa kontraproduktif (“Tuh kan rusuh itu gampang, abis dibubarin, kita bikin baru aja cyiin…”)
Secara prinsipil, gw tidak setuju dengan pembubaran organisasi, karena menurut gw yang naif ini, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi muda seperti Indonesia. Jika ‘mereka’ bisa dibubarkan, maka ‘kami’ pun juga bisa dibubarkan, gampang kan? Sebagai pro-demokrasi, menurut gw hak berkumpul dan berorganisasi harus dilindungi dan berlaku untuk semua (kecuali jelas-jelas menentang ideologi negara/merencanakan makar). Sebagai seseorang yang pernah hidup di, uhuk, era Orde Baru (IYE, GW TUA!), gw gak mau kembali ke jaman di mana berkumpul dan berorganisasi dilakukan dalam iklim ketakutan.
Jadi, dengan pertimbangan pragmatis dan prinsipil, gw lebih setuju nama gerakan ini ‘Indonesia Tanpa Kekerasan’, ketimbang ‘Indonesia Tanpa FPI’.
Tetapi di sinilah letak tragedinya. Aksi ‘Indonesia Tanpa Kekerasan’ seharusnya tidak perlu dan tidak ada di sebuah negara hukum. Bahwa sekelompok orang harus menuntut adanya ‘Indonesia Tanpa Kekerasan’ adalah indikasi ada sesuatu yang salah di negeri ini. Karena hidup bebas dari kekerasan itu bukan kemewahan, bukan privilege atau opsi yang harus diminta, tetapi hak dasar warga negara ini. Seharusnya tidak perlu “diminta” lagi.
Dan dalam hal ini, akar masalah DAN juga solusinya sebenarnya adalah: apakah ada tindakan pencegahan/deterrence terhadap kekerasan horizontal, dan apakah ada tindakan hukum ketika kekerasan sudah terjadi. Ini sih hanya persepsi gw sebagai orang awam, bukan sebagai ahli hukum, jadi mohon maaf kalo naif atau tidak punya dasar teori hukum 🙂
Maksud gw sih begini. Gw sebagai orang awam merasa tidak ada pencegahan kekerasan yg memadai, padahal sudah ada indikasi/intel menuju ke sana. Bahkan gw sering nonton di tivi, pada saat kekerasan sedang terjadi-pun sepertinya dibiarkan, tidak segera ditindak tegas. Kalo keseringan seperti ini, ya tidak heran kalo pelaku kekerasan seperti diberi angin.
Gw selalu inget kasus kerusuhan rasial di Australia tahun 2005, dikenal sebagai insiden Cronulla (udah pernah gw mention di blog yg lama sih). Waktu itu pecah kekerasan antara orang kulit putih terhadap minoritas Lebanon di Sydney. Terus gw liat sendiri di TV bagaimana polisi Australia bersikap keras sekali terhadap para perusuh kulit putih, bener2 digebukin kalo ngelawan dan tetap rusuh. Sumpah, gw jiper banget ngeliat kerasnya sikap polisi di situ (mana polisi bule badannya bega-bega gitu kayak gorila). Dan harusnya itulah efek yg diharapkan: keseganan, ke-enggan-an, ke-jiper-an untuk melakukan kekerasan, karena males ngadepin aparat yang tegas.
Yang berikutnya, adalah masalah tindakan hukum pasca insiden. Sebagai orang awam gw gak merasa para pelaku kekerasan yang ditangkap (kalaupun ditangkap) mendapat ganjaran tegas. Gw ingat banyak sekali yang kecewa ketika mendengar vonis pelaku Cikeusik yang dianggap terlalu ringan. Jika kekerasan yang tertangkap diganjar ringan, ya gimana para calon pelakunya akan segan di masa depan?
Kombinasi lemahnyadeterrencedan tindakan hukum ini sih menurut gw masalah utamanya, bukan organisasi tertentu. Silahkan bebas berkumpul dan berorganisasi, tetapi kalo mulai ada gejala mulai rusuh, harusnya dihadapi aparat dengan tegas. Dan jika tetep nekat bikin masalah, ditangkap dan diproses hukum secara setimpal. Udah, itu aja sih. Negara yang harus ‘keras terhadap kekerasan’, sehingga warganya tidak perlu menjadi korban kekerasan.
Itulah maksud gw kenapa gerakan “Indonesia Tanpa Kekerasan” ini (seharusnya) tidak perlu…. 😦
Sekali lagi, gw cuma orang awam pembaca berita, gak sekolah hukum atau politik, jadi ya maaf kalo opininya cetek yah 🙂
Categories: Negeriku, Random Insight
IMSO, mayoritas pelaku kekerasan itu filosof tulen, kali yah om platter? awalnya ngebiarin riak2 kecil, trus klo udah gede masalahnya jd ngerasa punya lisensi buat nembak sana-sini.
Si vis pacem, para bellum jadi motto hidupnya kali. ^^
previlege lbh manusia itu digunakan u/belajar yg seharusnya. dan om platter punya previlege lebih untuk ngePELUK tiap orang. keep inspiring om! 🙂
Makasih ya Ferry 🙂
saya gak mau ikut campur masalah gituan, bukannya gak peduli.
karena saya menganggap Indonesia ini sudah lucu. kekerasan dimana2 tp bisa dengan mudah bebas. gt juga sebaliknya.
Kayanya gw memang udah antipati sama FPI, om. Hati kecil gw setuju, memang ga cukup berguna utk pembubaran dgn kmgkinan kemunculan yg sama dgn kemasan baru. Tapi gw (SUMPAH) pengen lihat aksi nyata TEGAS org2 yg kita sebut yg berwajib, yg berwenang, utk kasih pelajaran sama ormas yg bikin kacau. Jadi tetap : bubarkan FPI!!!!! 😀
anw sbg org awam yg cuma pembaca berita jg (cinta bgt deh ah sama istilah ini) THUMBS UP buat blog2 om priring. (ง’̀⌣’́)ง Keep ins-piring om! 🙂
gua kagak anti ama FPI dan sebagainya
yang ane anti hanya kekerasan
gag perlu ada pembubaran, yang penting initinya damai, itu saja.
semoga kita bisa damai selalu