Tentang Fanatisme Itu
Urusan film The Dark Knight Rises belom kelar juga nih, masih bisa bikin topik blog baru. (Gokil nih film, bisa bikin banyak topik! :D)
Gw memperhatikan komen-komen terhadap review TDKR yang gw buat. Ada istilah yang menarik yang beberapa kali muncul dari mereka yang membela TDKR: “Gw Tim Nolan!”
Buat gw, istilah “Tim Nolan” ini agak aneh muncul dalam membela sebuah film. Bagus tidaknya sebuah film, seharusnya tidak dikaitkan apakah kita ngefans dengan sutradara-nya atau tidak (atau dengan aktor/aktrisnya, produsernya, penata musiknya, dll, dll). Apakah fanatisme terhadap seorang sutradara berarti menganggap semua karyanya bagus, tidak ada yang jelek? Gw sendiri punya “sutradara favorit” (Ridley Scott, Tony Scott, Michael Bay, Steven Spielberg, dll), tetapi gw menilai setiap film sebagai produk terpisah. Misalnya, gw suka dengan Michael Bay, tetapi gw terang2an bilang Transformers 2 itu jelek banget. Kesukaan gw terhadap Bay tidak harus membutakan gw terhadap karyanya yang buruk.
Dari soal fanatisme terhadap sutradara film, gw jadi kepikiran soal fanatisme secara umum.
Satu hal dari fanatisme yang gw perhatikan, adalah terjadinya suspension of critical thinking, atau “berhentinya pemikiran kritis” menyangkut obyek pujaan. Saat kita fanatik mengenai sesuatu, kita seringkali tidak mampu berpikir kritis mengenainya. Dan akibat berhentinya pemikiran kritis, kita jatuh pada generalisasi (“Pokoknya SEMUA yang dia lakukan pasti benar”), rasionalisasi (“Kalau dia KELIHATAN seperti salah, pasti karena elu aja gak ngerti maksud jenius dia”), atau persepsi selektif (baca: sensor) di mana kita menolak melihat fakta-fakta yang jelek menyangkut obyek fanatisme tersebut (“Gw gak percaya dia melakukan itu. Itu pasti fitnah. Atau dia dijebak. Atau dia diculik alien, terus dicloning dan itu bukan dia yang asli!”)
Contoh-contoh fanatisme dalam kehidupan sehari-hari, di mana terjadi suspension of critical thinking:
- Fanatisme terhadap pacar. Kalo udah fanatik sama pacar, ya literally disuguhin pacar tai kucing jadi rasa coklat. Contoh: udah jelas-jelas pacar nyetir mobil ugal-ugalan sampai naik ke trotoar dan ngelindes nenek-nenek. Bukannya kita marah pada pacar, kita malah marah pada si nenek: “NENEK NGAPAIN UDAH TUA MASIH JALAN-JALAN KELUAR RUMAH?? DAN NGAPAIN SIANG2 BEGINI JALAN DI TROTOAR?!” Sudah jelas, kita sudah tidak kritis terhadap pacar kita sendiri.
- Fanatisme terhadap artis/boyband/girlband. Ini sih agak normal lah untuk remaja/alay, karena emang masanya. Tetapi rada aneh kalau ada bapak-bapak umur 40-an fanatik buta sama Saipul Jamil, misalnya (“POKOKNYA SAIPUL JAMIL IS ROCK!!”)
- Fanatisme terhadap pemerintah/parpol/tokoh politik. Di negeri yang masih belajar demokrasi seperti Indonesia, terkadang dukungan terhadap tokoh politik bisa berubah menjadi fanatisme yang konyol dan sudah tidak kritis lagi. Misalnya, fanatisme sampai kita tidak bisa mengakui cacat celah seorang tokoh politik/nasional. Contoh: gw nge-fans pada Bung Karno, tapi gw tidak menutup mata pada kelemahan-kelemahannya saat sudah memerintah.
- Fanatisme terhadap “lembaga” agama (bukan agamanya). Seringkali, “lembaga” agama dicampur-adukkan dengan “agama”/”iman”nya sendiri. Lembaga adalah institusi manusia, yang tentunya BISA sekali melakukan kesalahan. Problem muncul ketika lembaga yang terdiri dari manusia menjadi obyek fanatisme, disamakan dengan substansi agamanya sendiri. Dengan suspension of critical thinking, maka lembaga tersebut seolah-olah bebas kesalahan, dan ini bisa berbahaya.
Gw jadi mikir, ada gak ya fanatisme yang “positif”? Di mana kita boleh tidak berpikir kritis, tanpa terlihat tolol? Yang kepikir saat ini sih fanatisme terhadap tim olahraga nasional. Biarpun kita tahu bahwa timnas kita mungkin akan dijadiin bubur sumsum oleh lawan yang badannya geda kayak Bane, kita toh tetap berteriak “EN-DO-NE-SA!!!”, berseru, dan mendoakan kemenangan mereka.
Walaupun, kalo dipikir-pikir lagi, tetep aja berpikir kritis menyangkut timnas sebenarnya gak boleh hilang sih. Kalo timnas memang mainnya bego gak ketulungan, yak masak kita menutup mata dan mencari kambing hitam? (“TIM LAWAN PASTI PAKE DUKUN SANTET!!”) Kan nggak juga ya? Atau saat timnas kita main sabun, deterjen, apalah yang artinya curang-curang itu; kita harus bisa tetep kritis dan bukannya jadi asal ngebelain (“PEMAIN KITA TIDAK MENENDANG PEMAIN LAWAN!! JUSTRU SALAH PEMAIN LAWAN YANG TERLALU DEKAT MAU MELIHAT SEPATU PEMAIN KITA!!!”)
Jadi ujung-ujungnya, apakah tidak ada fanatisme yang baik? Ada! Fanatisme atas berpikir kritis! Menurut gw dalam segala sesuatu, kita harus bisa berpikir kritis, dan mawas diri untuk tidak terjebak dalam fanatisme buta. Dan berani teriak pada pacar sendiri, “Mas, kalo nyetir gak bener, turunkan saya di mal terdekat yang ada sale-nya!!”
Categories: Random Insight
Gue bakal begitu sama pacar gue om kalo dia nyetirnya ala si sopir maut Xenia
Ember gue sebel banget sama yang namanya fanatisme pacar, udah tau pacarnya salah, ndableg, gelo, masih aja dibelain…… iiihhhhhhh gregetaaannnnnnnnn…….. (pengalaman pribadi, pacar orang tapi bukan pacar gue hohohohohohohoho)
Pemikiran yg brillian!
lihat aja para Twihard itu, ga terima kalau Kstew itu selingkuh. MEHHH
Om, ada agama ceribel om… Fanatisme macam apakah itu?
Ada satu contoh lagi Bang, fanatisme terhadap celebtwit! 😀 Bisa jadi ada orang yang membuat keputusan penting dalam hidupnya bergantung sama celebtwit idolanya. Celebtwitnya milih Faisal Basri, ikuut.. Celebtwitnya bilang TDKR ga bagus, langsung ga mau nonton.. Atau bahkan celebtwitnya bilang tai kucing itu bagus buat maskeran, juga diikutin deh.. :p Btw.. Bang Henry ga maskeran pake “itu” kan?? Ga kan Bang?? GA KAN BANG?!!
Hahaha… ELU GILA!
hahaha… ini sebenernya topiknya serius.
tapi kenapa gw bacanya masih sambil cekikikan ya?
😛
Mudah2an ga ada “Team Piring” XD
okay, the fact that you consider michael bay as one of your favorite directors tells a lot about your movie preferences. fanatisme terhadap nolan? bisa jadi, tapi gak berarti itu adalah fanatisme buta tanpa pemikiran kritis seperti yg dijelaskan di posting ini. marilah kita bandingkan, di satu sisi kita punya sutradara yg terkenal gemar membuat epic action movies with lots of epic explosion scenes (bad boys, transformers, pearl harbor, armageddon), dan di lain pihak kita punya sutradara yg membuat film2 seperti the prestige, following, batman begins (yg membuat franchise2 lain mengikuti trend reboot dgn darker themenya — james bond, man of steel, spider-man), dan tentu saja inception. semua film ini sudah saya tonton (hari ini mau nonton memento dan insomnia), dan saya bisa bilang kalau semuanya memiliki cerita yg powerful (bukan hanya powerful explosion, walaupun akhir2 ini nolan juga senang meledakkan barang2 — rumah sakit di TDK, snow fortress di inception, stadium dan jembatan di Rises) dgn twist yg seringkali bikin orang keluar ruang teater dengan banyak pertanyaan. jadi kalaupun memang ada yg bilang mereka ‘team nolan’, bukan berarti mereka gak berpikir kritis, karena perjalanan film2 nolan bisa dinilai secara kritis kok dari awal kualitasnya seperti apa. saya gak bilang michael bay (atau siapapun) itu sutradara jelek atau nolan itu sutradara paling oke sejagat. cuma style mereka beda2 saja, dan mereka sangat bagus dalam style mereka itu.