Tentang Infotainmen dan “Mata Uang Sosial”
Salah satu kebiasaan setiap pagi, setelah bangun tidur dan pipis kira-kira 300 ml, adalah sarapan sambil nonton tipi. Dulu-dulu gw sering nonton berita. Tetapi karena makin lama berita tentang Indonesia seringan bikin stres, akhirnya gw pindah ke program infotainmen. Tentunya gw nonton sambil ngetwit ya. Walhasil, beberapa kali gw terima mentionan seperti ini:
“Kok Om Piring tontonannya infotainmen?”
Lho, emang kenapa? Kesannya hina begitu… emang salah ya?
Tapi gw jadi mikir juga sih, kenapa acara infotainmen cukup ‘laku’ ya.
Sebenernya fenomena gosip, baik itu ngegosipin orang di sekitar kita, maupun artis, sudah dicoba dibahas oleh dunia sains. Menurut evolutionary psychology, kebiasaan bergosip adalah kebiasaan purba yang sudah dilakukan nenek moyang kita sejak puluhan ribu tahun lalu. Dahulu bergosip memiliki manfaat penting untuk spesies manusia yang cenderung makhluk komunal (berkelompok), karena dengan bergosip kita saling memberi-tahu siapa yang jahat, yang malas, yang tukang mencuri, dan pemilik kebiasaan jelek lain yang bisa merugikan kelangsungan hidup kelompok. Gosip juga bisa menjadi mekanisme untuk membuat si manusia purba mengurungkan niat (deterrence) melakukan hal-hal yang egoisdan merugikan orang lain. “Gw pengen sih mencuri pisangnya tetangga, tapi kalo ketauan gw bakal diomongin sebagai maling, males banget…”
Konon, mekanisme gosip yang dilakukan selama puluhan ribuan tahun ini akhirnya menjadi “software” di otak manusia yang susah dihilangkan, walaupun kita sekarang sudah hidup di era internet, smartphone, dan Instagram. Dan karenanya, kebiasaan itu tetap hidup sampai sekarang – bahkan mungkin menemukan medium baru dengan acara infotainment, BBM, dan social media seperti Twitter dan Facebook.
Gw pribadi melihat beberapa alasan lainnya kenapa orang menggemari acara infotainmen.
Kita semua senang dengan “cerita” (story). Dengan cerita, kisah, legenda, kita mencoba memaknai hidup ini. Saat kita melihat kisah seorang artis sukses yang memulai hidupnya dari bawah, kita merasa ada harapan untuk kita bisa mengalami rejeki yang sama. “Kalo Sule aja bisa sukses, ya masak gw yang kece dan gaul bangets gini gak bisa?!” Saat kita melihat seorang artis yang mengalami kesialan, kita ikut-ikutan menghakimi dengan mencoba mencari ‘penjelasan’: “Rasain, dulunya songong sih, sekarang kena karma deh”, dst, dst.
Tanpa sadar, kita mengharapkan adanya morale of the story dalam mengikuti kisah-kisah artis yang ditayangkan infotainmen. Kita mengharapkan kesuksesan bagi si artis yang (terkesan) jujur, ramah, tidak sombong, dan bekerja keras. Diam-diam kita mengharapkan kesialan untuk artis yang curang, selingkuh, belagu, dll. Tanpa kita sadari, kita berharap ada justice, keadilan di dalam kisah-kisah artis. Perjalanan hidup artis membantu kita memberi makna, penjelasan, dan keteraturan kepada realita yang chaotic ini.
Tapi ada juga ‘faedah’ infotainmen lain yang gw liat. yaitu sebagai ‘mata uang’ (currency). Bingung gak?
Maksud gw dengan ‘mata uang’ adalah, gosip artis bisa menjadi mata uang dalam pergaulan dan bersosialisasi. Kalo gak percaya, perhatiin kalo cewek-cewek udah pada ngumpul. Paling gampang buat memulai obrolan seru, ya dengan ngebahas gosip artis (“Eh udah denger kalo si Loli putus lagi?”, “Gw heran Yuni Shara masih aja betah sama si berondong gatel itu”, “Udah liat tas terbarunya Angel Lelga?”, dll, dll). Sesudah itu, obrolan jadi lancar dan seru deh. Dan inilah yang gw rasakan sendiri kalo pagi-pagi ngetwit sambil nonton infotainmen. Yang nyamber buset dah, banyak dan kenceng! Emang lebih gampang buat gw nyari bahan obrolan di Twitter tentang Anang, Ashanty, Cherrybelle, daripada gw ngebahas penemuan fisika kuantum terakhir 🙂 (selain karena Anisa Cherrybelle lebih enak dipandang dari bahasan fisika kuantum, gw gak ngerti juga sih soal fisika kuantum….)
Jadi mungkin fenomena infotainmen menjadi laku bukan karena kitanya peduli-peduli amat dengan kehidupan si artis, tapi karena kita butuh “mata uang” untuk bisa ber’transaksi sosial’ dengan orang di sekitar kita. Dan layaknya mata uang, yang paling banyak tahu gosip artis biasanya juga merasa ‘paling kaya’, karena bisa share cerita lebih banyak (“Hah? Elu belom denger soal si anu? Ke mana aja loe??”) Motivasi terutama mengikuti infotainmen bukan karena kepo, tetapi untuk memenuhi kebutuhan kita bersosialisasi dengan orang lain.
Yah begitulah analisa super gak penting gw soal kebiasaan orang nonton infotainmen. Sebenernya ini cuma nyari alasan aja sih biar gw gak dicela terus :p
Categories: Random Insight
Pertamax Om! Yesh!
Selain faktor2 yang om jelasin di atas, infotaiment juga ngegunain fenomena schadenfreude (ie. bersenang2 di atas penderitaan orang laen). Udah banyak sih riset2 tentang schadenfreude ini. Tambain dong om di blognya (Loh! Kok jadi gw yang ngatur hahaha)….
BTW…Om abis merit jadi jarang ngeblog ya….sibuk ngejalanin evolutionary responsibilities ya ooommm (whoops!) 😛
Iya bener ya, nyukurin org laen. LOL soal evolutionary responsibility
infotainment dapat bahan gosip dari twitter, kemudian gosip tersebut dibahas lagi di twitter… such a gossipception.. haha
Ciyeee yang pinter analisa. Ciyee 😀
Infotainment itu menurut gw cuma konsumsi kalangan tertentu yg notabene pny wkt lebih. Kl kalangan eksekutif yg mulai dari bisnis owner smp pejabat eselon ga sempet punya wkt bt nntn bhkn menganalisa. Sayangnya kalangan pengkonsumsi diarea ini tuh adlh kalangan yg msh mayoritas di Indonesia yg secara bisnis bisa jd sasaran bt para bisnis owner jd pangsa pasarnya… Oooohhh indahnya bisnis di Indonesia krn kalangan ini adlh penunjang berputarnya sektor riil yg memutar roda bisnis usaha di indonesia hahahahaaaaaaaa… Very interested !
Infotainment itu tontonan yang memiliki stereotype suka ditonton oleh ibu-ibu. Kenapa ibu-ibu? Karena pada umumnya ayah-ayah sedang kerja, anak-anak sedang sekolah, ibu-ibu di rumah? bersih-bersih rumah, masak, ngayomin balita, trus? nonton tivi. nonton apa? sinetron, infotainment, film, discovery channel, berita, dsb. Dan ibu-ibu seringnya ya nonton infotainment, kenapa? ya karena mata uang yang om piring sebut. hahaha.
eh ada gak sih ibu-ibu yang gak nonton infotainment? bukan ibu-ibu wanita karir ya, karena biasanya ibu-ibu wanita karir gak sempat nonton infotainment.
Saya pernah jadi Reporter Infotaiment selama setahun lebih….dan saya terharu ada yang menulis sisi positif infotaiment *hiks hiks lebay* setelah selama ini kami habis dicela….terima kasih….