Sekotak Tema Bernama Les Miserables
Mau ngebahas film Les Miserables ah. Ngebahas, bukan ngereview, soalnya banyak banget tema yang bisa dibahas di film ini. [WARNING: SPOILER AHEAD]
Kalo hanya review doang, gw sih komentarnya singkat aja. Film ini hukumnya WAJIB ditonton, sewajib-wajibnya, dan di bioskop. Karena selain komposisi musik yang perlu sound system yang cetar membahana, gambar-gambar yang ditampilkan bener-bener bagus.
Jujur gw gak pernah baca bukunya, atau nonton musikalnya. Dan sampai film dimulai, gw masih belom tahu kalo ini film musikal. Pas mendengar lagu pertama, gw sempet mikir “Mampus, ternyata musikal. Gw bakal bosen neh sepanjang film”.
2 jam 30 menit kemudian, mulut gw pegel karena mangap melulu, dan mata gw merah karena berkaca-kaca. Ada lebih dari 3 kali gw bertepuk tangan tanpa suara saking terpesonanya. Berkali-kali di tengah film gw menoleh ke istri untuk berbisik “GILA BAGUS BANGET BARUSAN”. Akting, musik, dan visual – semuanya harmonis menghadirkan sebuah penceritaan yang mempesona. Bahkan untuk seseorang yang bukan penggemar musikal sekalipun seperti gw.
Tapi seperti gw bilang, gw lagi gak mau mereview film hebat ini. Nominasi Best Picture Oscar 2013 rasanya sudah menjadi kesaksian yang cukup. Gw lebih pengen membahas tema-tema yang menarik yang gw temui di film ini.
1. Tentang identitas diri dan eksistensialisme
Siapakah diri kita? “Identitas” itu datang dari mana? Apakah keluarga tempat kita dilahirkan? Suku, agama, pendidikan? Masa lalu kita? Tokoh utama Jean Valjean yang diperankan Hugh Jackman menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagai mantan narapidana, yang ketika bebas malah mencuri dari biara dan diampuni oleh si pastur, menghadapi pertanyaan ini. Eksistensialisme, kalau tidak salah, menekankan bahwa “diri” kita ditentukan sepenuhnya oleh kita, oleh perbuatan-perbuatan dan pilihan-pilihan kita. Dan Jean Valjean si mantan napi melakukan pilihan untuk menjadi orang baik, dan berbuat baik kepada sesamanya. Masa lalu yang kelam bukanlah penentu identitasnya di masa sekarang maupun masa depan.
2. Hukum dan keadilan, antara yang tersurat dan tersirat
Apakah “hukum”? Apakah “keadilan”? Apakah pasal-pasal yang harus diikuti buta seperti robot? Ataukah hukum dan keadilan juga memerlukan nurani? Javert adalah penegak hukum yang terobsesi pada hukum yang tersurat. Dan pelanggaran Jean Valjean, walaupun sesepele “gagal lapor”, harus dituntaskan secara hukum. tak perduli apakah Jean tidak melukai satu jiwapun, dan bahkan telah membawa kebaikan bagi banyak orang dengan menjadi pengusaha dan walikota. (Bahkan pelanggaran Valjean sebelumnya, yang menyebabkan dia diganjar 19 tahun kerja paksa, adalah mencuri roti untuk menyelamatkan nyawa anak kakaknya).
Javert menjadi sebuah tragedi. Ketidak-mampuannya menerapkan hukum tersurat dengan nurani menyebabkan konflik internal ketika dia harus berhadapan dengan “hukum” lain yang diterapkan Valjean kepadanya, yaitu hukum kasih dan pengampunan. Ini adalah ironis karena disiratkan bahwa Javert sendiri lahir dalam latar belakang kelam (“lahir di selokan”). Mengapa dia memiliki sifat yang sangat kaku dan intoleran? Gw tidak tahu alasan yang jelas.
3. Pencuri tidak pernah mengenal rasa puas.
Karakter suami-istri rumah penginapan yang sejak muda mencuri dari tamu-tamunya. Dan sampai akhir cerita, ketika mereka sudah tua pun, mereka masih tetap mencuri. Perbedaan mereka dari Jean Valjean mencuri roti adalah, mereka mencuri karena serakah. Dan keserakahan adalah lubang tak berdasar, yang tidak akan terpuaskan. Agak mengingatkan dengan para koruptor-koruptor di negara kita gak sih?
4. Para pemuda revolusioner yang mengira mereka didukung rakyat
Para tokoh pemuda pemberontak digambarkan bersemangat memperjuangkan idealisme mereka. Sampai detik terakhir, mereka mengira mereka sedang memperjuangkan aspirasi rakyat. Kenyataan pahit itu muncul ketika di saat-saat putus asa dibantai tentara pemerintah, rakyat yang mereka “perjuangkan” justru menutup pintu dan jendela, membiarkan mereka berjuang sendirian.
Mungkin ini adalah gambaran para pemuda yang terjebak dalam romantisme “revolusi” dan “perjuangan”, demi revolusi dan perjuangan itu sendiri, dan terpisah dari realita aspirasi masyarakat?
5. Kekuatan pengampunan
Walaupun perannya hanya sebentar, sang Pastur yang mengampuni Jean Valjean justru adalah penentu karakter Jean selanjutnya, apakah akan menjadi seorang pencuri, atau menjadi orang yang lurus. Di sini kita diajarkan kekuatan dari pengampunan, dan ‘kesempatan kedua’ (second chance). Seseorang bisa berubah total jika diberikan kesempatan kedua. Dari ‘diampuni’ bisa membawa ke ‘mengampuni’, seperti ketika Jean Valjean berkesempatan membiarkan Javert mati dibunuh, dan toh Jean memutuskan untuk membebaskan dan mengampuninya.
6. Bagaimana cara menatap wajah Tuhan?
Javert memiliki keyakinan bahwa dia menjalankan kehendak Tuhan dengan mengejar Jean Valjean tanpa ampun dan kompromi, karena Jean dianggap adalah orang berdosa yang terhilang, tanpa harapan keselamatan. Ironisnya, justru digambarkan bahwa Jean Valjean-lah yang telah menatap wajah Tuhan. Di lirik lagu finale dituturkan, “To love another person is to see the face of God” (mengasihi sesama manusia adalah menatap wajah Tuhan). Jean berkomitmen menyelamatkan putri Fantine si pelacur, dan memeliharanya, sampai menyelamatkan kekasihnya. Ia juga yang menyelamatkan Javert dari tali gantungan.
Javert mengira ia menjalankan perintah Tuhan dengan menjalankan hukum secara buta. Tetapi adalah Jean Valjean mengasihi sesamanya yang akhirnya ‘menatap wajah Tuhan’.
Les Miserables, artinya “Miserable People”, atau orang-orang menderita. Dan jika dilihat, SELURUH tokoh utama di dalam film ini adalah orang-orang menderita. Jean Valjean, dihukum 19 tahun untuk sepotong roti. Javert, yang membuat dirinya sendiri menderita karena obsesinya pada hukum tertulis. Fantine, si ibu yang ditinggalkan ayah putrinya, terpaksa menjadi pelacur. Cosette, sejak kecil menjadi yatim piatu yang hidup papa. Para pemuda revolusioner, yang habis dibantai tanpa dibantu rakyat yang mereka bela. Suami istri pemilik rumah penginapan, selamanya tidak puas dan terus mencuri. Eponine, yang cintanya tak terbalas. Marius, yang walaupun selamat dari tentara pemerintah, tetapi kehilangan seluruh sahabatnya.
Mungkin hal ini bisa dimaknai, bahwa we are all miserable people in our own way. Kita semua adalah orang-orang menderita dalam cara yang berbeda-beda. Tetapi di dalam kemenderitaan kita semua, ia yang masih bisa mengasihi orang lain tanpa pamrih adalah ia yang berkesempatan menatap wajah Tuhan.
Film Les Miserables bagi gw bagaikan sekotak penuh tema. Dan itulah tema-tema yang gw dapat. Mungkin yang lain mendapatkan tema yang lainmya, silahkan dishare.
🙂
Categories: Review
pertamax? pertamax?
Melihat para pemerannya, dan kisah dari Les Miserables sendiri, ini jadi film yang pasti saya tonton di bioskop 🙂
review bagus om. jadi makin penasaran mau nonton!
Yang menarik menurut gw sih konflik antara penokohan Javert yang bener2 patuh hukum yang jomplang dengan keadaan sekian ribu orang miskin saat itu. Jadi mikir lagi sih, gimana sih cara si hukum itu bisa ditegakkan di antara orang-orang yang ga ngerti hukum dan mereka bener2 murni ngelanggar hukum karena dipaksa keadaan. Masih relevan banget sama jaman ini ga sih 🙂
Konon Bukunya dilatar belakangi Jaman Revolusi. Penuh Gejolak gitu Om, kalau diliat2 mirip kondisinya dengan Negara kita sekarang.
Kalau sudah begini, tinggal Menunggu Aragorn datang menyelamatkan.. Strider versi wayang eropa, Satria piningit dari Indonesia. (Mirip kan…)
Malah ga nyambung yaaa.. Hiks 😦
=)
So glad that your writing about lesmis turns out to be awesome.
Gue sempet kesel sama komen2 orang yang kayak “gak kenal makan gak sayang” ke lesmis karena banyakan kritik nya. Gue juga sanksi apa orang bisa ngerti ceritanya since di ‘film’ ini, play nya dipepet jadi cuma 2 am lebih. Gue sendiri adalah org yang udah baca bukunya makanya bisa ngerti dan since play ini berasal dari novel, bukan skrip yang emang sengaja buat play, tapi pure fiction novel, gue merasa penting buat orang tau jalan cerita dan konflik nya.
Pacar gue sendiri nggak ngerti2 amat waktu ntn ni film, jalan ceritanya sih ngerti cuma nggak dalem lah, kayak kenapa si Javert obsessed bgt sama Valjean dan kenapa fantine nitipin Cossette ke Thenderier (ini maaf kalo salah spell), mungkin juga karena gue nontonnya di negara yang nggak pake subtitle Bahasa Indo nya kadi rada ribet juga untuk mengerti 100%
(ini prologue nya panjang bener ya)
However om piring bikin ulasan lesmis dari sudut pandang manusawi banget deh, dan gue seneng =) Victor Hugo waktu bikin novel itu juga lagi gerah2nya sama korupsi dan konflik sosial kayak di Indo skrg, so emang bisa dikaitkan bgt sama kondisi sosial dan politik ya, dan om piring keren banget kasih sudut pandang yg mengkaitkan sama indo. =)
Ada yang gue inget banget dari bukunya, kata2 si Jean Valjean waktu dia masih menyamar jadi mayor Monsieur Madeline itu, “Conscience is the highest justice.” dan itu BENER BANGET. Gue merasa di indo belum ada justice krn kurangnya conscience.
Aduh maaf yah om piring, jadi comment panjang banget. Hoho. Akhirnya seneng gue bisa blabber soal lesmis sama orang yang suka juga hehehe =)
Konon ceritanya lahir dilatar pas jaman revolusi gitu Om, penuh gejolak.
Mau gejolak api asmara, ekonomi, sosial.
Kalau sudah begitu tinggal nunggu Aragorn datang menyelamatkan, Strider…
Aragorn versi wayang eropa kalau wayang lokal itu satria piningit…
Wah jadi nggak nyambung ya Om, ga apa apa..
nyambung ga nyambung nonton Les Miserables tetap jadi
setuju.pas nonton aku juga sadar film ini banyak banget membawa pesan di dalamnya.. terutama pas sudah masuk di bagian 2 revolusi, cerita langsung jadi luas dan rasanya besar sekali…
ada satu tema yg ketinggalan om, friendzone nya eponine. Hehehe… dari semua scene yang ada , eponine itu yang aku paling bisa relate banget (lah malah curhat). lagu2nya masuukk banget di hati. :’)
untung eponine ga jahat sama cosette…
Sangat beruntung bisa nonton film ini di bioskop :’D
setuju oom.. susah gue cari temen yg suka dan dapet pesan dari Les Mis ini.. nice review!
Waha makasih om atas postingannya. Jadi makin pengen nonton…
What a stuff of un-ambiguity and preserveness of valuable experience concerning
unpredicted feelings.