Depresi, “No!” Ngehek, “No!”
Gw mau share dikit tentang “depresi” hasil penelitian Martin Seligman, profesor psikologi di University of Pennsylvania (Sumber: “Life’s A Pitch” karya Philip Broughton). Profesor Seligman menemukan bahwa banyak orang depresi yang menderita “learned helplessness”. Istilah Inggris ini sulit diterjemahkan secara ringkas ke Bahasa. Versi begonya: “Ke-tak-berdaya-an yang dipelajari”. Lebih jelasnya harus dipanjangin: perasaan tak berdaya (helplessness) yang sebenarnya dibangun sendiri oleh si penderita.
Menurut Profesor Seligman, ketika kita mengalami peristiwa buruk yang ada di luar kendali kita (uncontrollable bad events), ada tiga kategori interpretasi kita akan peristiwa buruk tersebut (yang menentukan perilaku kita berikutnya).
1. Kategori pertama: Interpretasi apakah peristiwa tersebut disebabkan internal (kita sendiri), atau eksternal (karena situasi di luar kita). Contoh: saat kita ketinggalan kartu ATM. “Kartu ATM gw hilang karena gw adalah orang pikun tolol” adalah interpretasi internal. “Kartu ATM gw hilang karena tadi gw buru2 mengejar kereta terakhir, dan diteriakin sama temen2 disuruh cepet” adalah interpretasi eksternal.
2. Kategori kedua: Interpretasi apakah peristiwa tersebut disebabkan faktor yang stabil/tetap (stable factors), atau faktor kebetulan/insidental (unstable factors). Contoh interpretasi faktor stabil/tetap: “Gw selalu kehilangan kartu ATM kalo terburu2″, dan sebaliknya “Ah, ini sih lagi kebetulan aja gw khilaf” (faktor insidental).
3. Kategori ketiga: Interpretasi peristiwa ini sebagai “gambaran menyeluruh” (global) atau “spesifik”. Contoh interpretasi global: “Gw kehilangan kartu ATM ini memang gambaran hidup gw yang berantakan, pelupa, ceroboh“. Contoh interpretasi spesifik: “Yah cuma kartu ATM doang. Tinggal lapor polisi, urus kartu baru, beres deh”.
Penderita depresi cenderung menginterpretasi peristiwa buruk sebagai “internal” (salah sendiri), “stabil/tetap” (peristiwa sial ini selalu terjadi), dan “global” (satu peristiwa jelek digeneralisir menjadi keadaan keseluruhan). Kebalikannya, seorang optimis cenderung memilih interpretasi “eksternal” (ada faktor luar), “insidental” (ini kejadian jarang/kebetulan), dan “spesifik” (tidak digeneralisir ke aspek hidup yang lain).
Tentunya kita tidak ingin menjadi orang yang optimis tapi delusional, atau menyebalkan karena tidak mau mengaku salah (“Kepala gw bocor jatuh dari motor bukan karena gw nggak pake helm, tapi karena ASPAL KERAS INI KONSPIRASI YAHUDI DAN ILUMINATI”), tidak mau belajar dari kesalahan (“Ah 5 tahun Ujian Nasional gak belajar dan gak lulus kayaknya kebetulan aja deh, tahun depas pasti lulus, caiyo!…”), dan tidak mau berubah diri (“Walaupun gw adalah buronan KPK, tapi gw orangnya tidak sombong dan nyumbang anak yatim kok. Jadi kalo ditotal gw orang baik lah…”) Untuk orang-orang seperti ini sebutannya bukan “optimis”, tapi “ngehek”. Dan kita tidak mau menjadi orang ngehek, betul?
Temuan Profesor Seligman di atas sebenarnya lebih ditujukan agar kita menghindari depresi yang tak beralasan. Saat kita mengalami peristiwa apes, kita harus menganalisa bagaimana cara kita menginterpretasinya. Apakah sebuah peristiwa jelek terjadi karena memang salah kita, atau sebenarnya ada faktor2 di luar kendali kita? Apakah peristiwa jelek ini “terus-menerus” kejadian, atau sebenarnya hanya insidentil saja? (Gw pernah membaca bahwa otak manusia memiliki kemampuan statistik yang sangat buruk. Kita membesar-besarkan probabilitas peristiwa buruk secara tak beralasan). Mungkin kita sering mendengar orang-lain atau diri kita sendiri mengomel “Tuh kan, gw SELALU/SERING BANGET sial/apes/gak hoki kalau urusan beginian….”, padahal secara obyektif mungkin tidak sesering itu. Selain itu, kita juga harus waspada agar jangan sampai kita menggeneralisir suatu peristiwa spesifik. “Gw gak pernah bisa bikin ind0mie enak….GW ADALAH ISTRI YANG GAGAL!”, misalnya. (Tapi elu bego juga sih kalo bikin indomie aja sampe gak enak….)
Kalau kita bisa menginterpretasi sebuah peristiwa jelek secara lebih realistis dan sehat, harapannya adalah kita tidak menjadi rentan merasa “tidak berdaya”, dan kemudian menjadi rentan depresi.
Prinsip yang sama bisa kita terapkan pada situasi jomblo (gw bisa mendengar ribuan pembaca teriak: “TAAAEEE…KENAPA NYAMBUNGNYA KE JOMBLO LAGI SIH?!”). Bagi seorang jomblo depresi, interpretasi kejombloannya bisa jadi seperti ini:
- Gw jomblo karena gw jelek, gak menarik, bau, jarang mandi, kontet…. (internal)
- Percuma gw nembak cewek, gw selalu ditolak kok (stabil)
- Gw jomblo dan karenanya gw adalah orang tak berharga, Baygon mana Baygon?! (global/generalisasi)
Kalau pola pikirnya seperti di atas, maka wajar seorang jomblo menjadi depresi, dan mencari Baygon (walaupun gw rekomen Hit. Karena yang lebih bagus dari Hit nggak ada, yang lebih mahal…banyak!)
Padahal, dengan mengaplikasikan tulisan Profesor Seligman, kita bisa men-challenge interpretasi tersebut:
- Benarkah gw jomblo karena faktor internal (elu beneran bau dan jarang mandi), atau ada faktor-faktor eksternal yang menyulitkan proses eksplorasi dan penggalian jodoh? (lu kate perusahaan minyak…) Contoh: Kalau elu kerja di kilang minyak lepas pantai bersama seratus laki-laki semua, kemungkinan menemukan jodoh perempuan di tempat tersebut mungkin tipis (ada probabilita kecil elu ketemu Putri Duyung…tapi inget dia juga diincer oleh Putra Duyung). Atau elu memeluk agama kepercayaan langka di mana elu percaya elu adalah keturunan alien dari Saturnus, dan ngotot harus menemukan pacar dengan agama yang sama di Indonesia, hal ini juga sulit.
- Benarkah elu selalu ditolak kalo nembak cewek? Jangan2 elu nembak aja ngikut Pemilu, 5 tahun sekali?
- Walaupun elu jomblo, tidak berarti di aspek hidup elu yg lain elu gagal kan? Mungkin elu adalah seorang pengusaha sukses merangkap dosen di sebuah Universitas swasta yang dicintai mahasiswa (kalau ada pembaca yang tersindir, iye, gw emang nyindir elu :p). Mungkin elu adalah anak yang baik yang dibanggakan orang-tua. Mungkin elu adalah pahlawan bertopeng pembasmi kejahatan di malam hari. Intinya adalah, menjadi jomblo tidak bisa digeneralisir menjadi “gw adalah orang yang gagal”.
Dengan meninterprestasi suatu peristiwa (buruk) dengan cara yang lebih realistis, niscaya kita dijauhkan dari kondisi depresi yang tidak perlu. Dan kita bisa menjadi jomblo yang sehat dan optimis. Tetapi juga jangan kebablasan menjadi jomblo yang terlalu optimis ya, misalnya “Gw masih jomblo karena kebanyakan perempuan GOBLOK tidak menyadari kerennya gw!” (eksternal ngawur), “Tiap kali gw kenalan cewek langsung gw ajak kawin. Ditolak sih, tapi kebetulan aja kayaknya” (insidentil, tidak mau belajar dari kesalahan), “Walaupun gw dicari polisi karena suka mengkoleksi jempol manusia, gw adalah cowok yang ramah dan senang membaca, jadi aneh gak ada yang mau pacaran sama gw” (berpikir spesifik tapi kebablasan).
Kita boleh jomblo, tapi jangan jadi jomblo ngehek juga.
Salam optimis realis! 😀
Categories: Uncategorized
Ksian para jomblo disindir mulu… padahal mungkin mereka adalah anggota persatuan Jomblo-Jomblo Bahagia Lucu dan Imut gitu oom… #sumpahsayagakjomblo 😀
however, I really like your writing… will keep this in mind 😉
Yeee jomblo mulu yg dibahas. Skrng itu jomblo lg trending. Malah trendingnya itu menetap sepanjang masa. Tapi kl menganalisa soal kejombloan dan hubungannya dng economy outlook, kita harusnya saluuuut sama pejomblo krn mereka itu adlah penyelamat ekonomi dari sisi ledakan penduduk yg saat ini pemerintah tdk sdng menggalakkan lg program KB… bayangkan sejak Pa Suharto lengser ledakan penduduk di Indonesia naik hampir 70 persen… gimana ekonomi bisa terkontrol kl ledakan penduduk tdk diantisipasi. oleh krn itu persaingan dlm segala hal jd amat sngt tajam. Contoh simpelnya, pedagang kaki lima (PKL) makin tumbuh subur. Hal ini suatu bukti bhw pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Naaaaah kaitannya penjomblo dng situasi ekonomi saat ini yaaa simpel aja siiih…..jomblo itu adlh salah satu usaha menekan jumlah angka pertambahan penduduk…. woooi gw ngomong nyambung gak siiiih ??????
Jomblo itu menurut gw gak layak banget ya dikategorikan menjadi salah satu kegagalan hidup. Karena bisa jadi jomblo itu pilihan (bagi yg emang blm ketemu the right one bwt diajak nikah).
Kalo jd jomblonya karena kebanyakan ditolak, heeelllooooooooo, kita ga’ bs paksain perasaan org lain bwt jatuh cinta kan?! Jadi, slow aja, masih byk hal2 lain yg bs dieksplorasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Percaya deh, suatu saat nanti, kita pasti dapet pasangan hidup. Tp inget, harus pake usaha jg kali 😉
Aaahh, untungnya saya gak jomblo jadinya gak kesindir 😉 😉
Tapi jiwa jahil pun muncul 😀
Jadilan postingan ini saya liatin ke temen-temen yang jomblo. Hasilnya? Puasanya hampir batal gegara dongkol dan mencak-mencak ke saya 😆 😆
Iiih udah jomblo ngehek, emosian pulaaakk…
Ah Seligman, bapak positif psikologi. Penasaran, dikehidupannya sendiri, dia selalu positif gak ya?! #salahfokus btw om kok sekarang jadi mirip Mario Teguh :p
tampaknya “jomblo” bisa dijadiin tema buat bikin iklan om… atau mungkin tagline produk. perlu dipertimbangkan.
Reblogged this on little thing and commented:
you’re not that miserable :p hehe
tulisan om selalu bagus. tiap nulis di blog langsung publish atau ada tahap editing 1, 2, 3 dst nya gak om?
Biasanya langsung dipublish kok 🙂