Antara Perintah Atasan, Leonidas, dan Nuremberg Principles
Dalam beberapa kesempatan, gw sering bertanya kepada teman/keluarga, apakah punya masalah jika ada pejabat pemerintahan yang tersangkut dengan pelanggaran HAM. Yang menarik, banyak yang menjawab: “Ya nggak apa2. Toh pelanggaran tersebut dilakukan bisa jadi karena taat pada perintah atasan“.
Gw jadi mikir soal “taat perintah atasan” ini. Banyak orang yang tampaknya bisa memaklumi pelanggar HAM ketika dibungkus dengan dalih ini.
Kita semua mengerti bahwa dalam dunia militer, ketaatan pada atasan adalah fondasi penting. Militer bukan demokrasi. Chain of command harus dijaga. Kalau setiap perintah atasan militer harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, bisa keburu dibom sama musuh. Bahkan sejak jaman Sparta gw yakin kejadiannya gak kayak gini:
Raja Leonidas pada 299 pendekar Sparta six-pack lainnya: “Eh guys, kita diancem sama Raja Xerxes nih. Baiknya gimana ya bro menghadapi ini?”
Pendekar Sparta no. 129: “Das, kita obrolin dulu antar kita2 sambil ngupi2. Ke Sevel dulu kita?”
Pendekar Sparna no. 65: “Bentar, kenapa kita gak musyawarah dulu mau ngupi2 di mana?”
Kagak kan?
Raja Leonidas langsung nendang si utusan Xerxes malang ini ke lobang galian Pemda, dan menyatakan perang: INI SPARTAAAAAA NYEEEETTTT, dan doi langsung didukung pasukan six-packnya tanpa ragu.
Itulah rantai komando, yang didasari pada ketaatan akan otorita di atasnya.
Jadi bagaimana dengan seorang pejabat/militer yang melakukan pelanggaran HAM karena disuruh atasannya? Apakah berarti dia bisa dimaklumi? Kan dia hanya menjalankan perintah atasan?
Gw jadi inget soal Pengadilan Nuremberg (The Nuremberg Trials – artikel Wikipedia di sini). Ini adalah seri pengadilan yang mengadili petinggi militer Jerman dan Partai Nazi pasca Perang Dunia II untuk kejahatan atas kemanusiaan (rakyat sipil) yang dilakukan. Mungkin kita semua tahu bahwa rejim Nazi melakukan pembersihan etnis Yahudi secara sistematis dan terencana selama PDII. Tetapi korban Nazi juga termasuk mereka yang terkebelakang mental, kaum homoseksual, dan minoritas lain yang dianggap “mencemari” bangsa Jerman. Pengadilan ini sudah difilmkan menjadi film “Judgment At Nuremberg” yang bagus sekali, dan gw recommend untuk ditonton.
Dalam pengadilan tersebut, ada isu yang sama. Banyak sekali pejabat militer Jerman dan Partai Nazi yang berdalih melakukan segala kekejian itu karena “taat pada atasan”. Alasan tersebut tidak diterima di pengadilan Nuremberg, dan banyak sekali yang dihukum berat, dari penjara seumur hidup sampai hukuman mati.
Nah, pengadilan Nuremberg melahirkan The Nuremberg Principles. Menyangkut pelanggaran pelaku kejahatan kemanusiaan karena “taat pada atasan” disinggung di dalam Prinsip Keempat:
“The fact that a person acted pursuant to order of his Government or of a superior does not relieve him from responsibility under international law, provided a moral choice was in fact possible to him”.
Dari laman Wikipedia yang sama, prinsip di atas di-rephrase menjadi lebih sederhana:
“It is not an acceptable excuse to say ‘I was just following my superior’s orders'”
Artinya, kalau gw tidak salah mengerti ini, sejak Perang Dunia II telah diatur guidelines yang menyatakan bahwa pelaku pelanggaran HAM harus tetap mempertanggung-jawabkan perbuatannya, dan tidak bisa berdalih “taat pada perintah atasan”. (Kalau ada yang lebih mengerti masalah hukum ini dan mau mengklarifikasi, silahkan loh. Gw hanya sarjana akuntansi… :D)
Dengan banyaknya orang yang gw kenal yang masih “memaklumi” pelanggar HAM dengan dalih “taat atasan”, gw jadi mikir apakah masyarakat masih perlu edukasi tentang aspek2 human rights. Topik ini bisa cukup kompleks, tetapi menurut gw sama pentingnya dengan edukasi mengenai korupsi.
Gw sendiri sadar pemahaman gw pribadi masih cetek. Bayangkan, baru tahun lalu gw mengerti kalau yang disebut “pelanggaran HAM” harus dilakukan oleh negara. Jadi kita nggak bisa sembarangan memakai istilah “melanggar HAM”. Kalau kita pesen kopi tawar dan menerima kopi manis, kita nggak bisa menjerit2 pada si barista “KAMU PELANGGAR HAM!! AKU BERHAK MENDAPAT KOPI TAWAR!!!” Mengapa? Karena pelanggaran dilakukan bukan oleh aparatur negara, tetapi oleh barista. Kalo ini sih ke Yayasan Lembaga Konsumen aja.
Gw masih perlu belajar banyak. Kita semua masih perlu belajar banyak. Karena bangsa ini harus belajar tentang kesalahan-kesalahan di masa lalu, agar kita bisa menjadi bangsa beradab yang lebih baik di masa depan.
Yuk belajar! 🙂
Categories: Negeriku, Random Insight
‘Atas perintah atasan’ itu IMHO might be not that simple lho, Oom. *duh kenapa bilingual gini, bentar ganti channel dulu*
Menurut hemat saya yang rada boros, alasan seseorang dibalik melakukan perintah atasan itu banyak. Karena biasanya perintah atasan (yg berujung urusan negara itu) punya embel-embel reasoning macem ‘for greater good’, ‘ini pengorbanan yang ga seberapa’, ‘orang2 ini tanpa sadar akan mengganggu kenyamanan rakyat banyak’, dll. Jadi moral principles seseorang kadang2 jadi rancu ketika kmd dimix n match ama janji menjaga negara. Siapa/Apakah negara? Udah makin mbulet belum?
Last but not least, SIAPA KAMU NGAJAK2 SAYA BELAJAR? DARI HARIAN MANA? #ehh :p
Ampun om… *ngumpet di balik boneka beruang*
Sebenarnya mengenai pengadilan HAM sendiri selama ini juga agak rancu karena ada banyak bias yang terlibat. USA misalnya cenderung cerewet ributin pelanggaran HAM oleh pihak-pihak yang bersebrangan dengannya, namun jika mereka melakukan sendiri, mereka seakan menutup mata dan pura-pura tidak tahu. Artikel wawancara dengan professor Noam Chomsky ini menarik untuk dibaca: http://www.counterpunch.org/2012/12/12/an-interview-with-noam-chomsky-on-obamas-human-rights-record/ Sedang untuk kejadian di Indonesia, ada banyak kasus pelanggaran HAM yang sebenarnya kalau diungkap akan melibatkan mungkin nama semua petinggi militer, termasuk juga yang sekarang berkuasa.
lobang galian Pemda! HAHAHAHAHAAAA….!!! my goodness, semoga dirimu panjang umur, sehat2 selalu & terus menghasilkan tulisan2 kocak macam ini, Om 🙂
Sepakat. Bahkan di kalangan militer, yang namanya nilai-nilai kesatria itu gak kenal pangkat maupun jabatan. Makanya saya sampe sekarang heran, dan gak tertarik, kepada seorang jenderal yang semasa aktif melemparkan kesalahan (melanggar HAM pula) kepada anak buah.
Gak ada prajurit bodoh; yang ada cuma komandan bodoh.
Di film The Reader juga ada tuh adegan pengadilan Nazi nya. Salah satu penjaga penjara yang isinya narapidana kebakar idup-idup itu ceritanya lagi diadili puluhan tahun kemudian. Kebetulan yang jadi penjaga penjara ini si Kate Winslet. Entah karena Kate Winslet yang mainin ato gimana.. ya jadi mikir juga pas dia ditanya “Why have you not let the people out?” saat penjaranya kebakaran, dimana si Kate Winslet ini jawab “But we were the guards. And they were the prisoners. How can we let the prisoners out? What would you have done?” Dan dari gaya actingnya si Kate ini kesannya kayak… Well. kerjaan gw gituh… Maksudnya gimana? Dan jadi mikir juga… Kalo sampe gw jadi dia, apa iya bakal berani memperjuangkan HAM. Kalo saat ini sih ya pasti dong… Lepas semua lepasss… hehehe.
But either way. tetep sih ga bakal nyobols Kate Winslet juga anyway.
Maksudnya… Okelah ngerti si Om itu ngikutin atasan waktu kerja dulu taun 98 ya. Ya udahlah kalo katanya emang dia paling baik dan manusiawi saat nyulik kalo dibandingin algojo2 lainnya. Tapi ya masak sih mau orang kayak gitu yang nunut aja apa kata bos jadi orang nomer satu negara gitu ya. Kalo ternyata udah dicoblos trus ternyata disetir sama bekingannya yang gak jelas juntrungannya (siapapun itu gitu) piye… Njuk dia mo bilang “oh iya kan disuruh donor”?