Perjalanan Ke Paris & Itali – Part 1
Mau cerita soal perjalanan ke Paris dan Itali selama 2 minggu di bulan Oktober-November 2014 kemarin. Udah sangat terlambat menulisnya karena kesibukan dan kemalasan, hahaha.
[PERINGATAN: Gw bukan travel blogger ya, jadi kalo berharap banyak tips2 biaya, pemesanan tiket, dll. bukan di sini tempatnya. Ini hanya sekedar cerita highlight hal-hal menarik yang gw lihat selama perjalanan]
Perjalanan ke Paris dan Itali ini tidak menggunakan travel agent, tetapi diatur sendiri oleh istri. Ini sebenarnya di luar comfort zone gw, soalnya gw orangnya males rempong. Kalau ingin traveling, rasanya pengen jadi turis standar aja. Bayar, terus tahu beres sampe ke tempat tujuan. Tetapi kali ini istri memaksa untuk mencoba jalan sendiri saja. Oke, fine! Walaupun sedikit was-was, tapi kali ini gw ikutin aja deh.
Kami berangkat tanggal 24 Oktober 2014, menggunakan Cathay Pacific yang sudah dipesan lebih dari 6 bulan sebelumnya (tiket promo). Tujuan pertama adalah Paris, tapi transit dulu di Hong Kong 4 jam. Sebenarnya rute Jakarta – Hong Kong – Paris ini agak “belok” dikit, tidak langsung, tapi yah demi tiket promo ya sudah lah ya. Pesawat berangkat sekitar jam 1430, perjalanan ke Hong Kong sekitar 5 jam, kemudian dari Hong Kong terbang lagi sekitar tengah malam. Penerbangan dari Hong Kong – Paris memakan waktu hampir 12 jam. Long haul flight sangat melelahkan buat gw, karena gw orangnya susah tidur di pesawat. Udah minum Antimo 2 tablet tetep aja gak tidur. Payah.
Kami tiba di Paris tanggal 25 Oktober 2014 jam 8 pagi. Karena total perjalanan kami 2 minggu, bisa kebayang kan jumlah baju dan besar koper yang dibawa? Walaupun kami sudah berusaha “berhemat” dalam membawa baju (TIDAK ADA baju yang dipakai sehari saja!), tetapi tetap saja kami membawa dua koper ukuran besar. Ini ada implikasinya dengan pemilihan transpor di tempat tujuan. Kami malas membawa koper berat di jaringan Metro (subway) Paris yang terkenal banyak yang tidak ada eskalatornya. Karenanya kami sudah membook taxi online dari Jakarta untuk mengantar dari airport Charles De Gaulle (CDG) ke hotel. Memang mahal (sekitar 50-60 Euro menggunakan argo ke tengah kota), tapi mendingan daripada ribet naik tangga, dan juga cukup cepat.
Saat di airport kami menyempatkan membeli Paris Museum Pass, di mana tiket ini berlaku di hampir semua museum penting di Paris (semacam tiket terusan). Selain itu kamu membeli tiket terusan Paris Visite berlaku untuk 5 hari, Dengan tiket ini, kita bebas naik Metro, bus, dan kereta di dalam kota selama 5 hari. Ini sangat praktis karena kita tidak perlu mengantri beli tiket setiap hendak bepergian.
Kami menginap di Hotel Eiffel Turenne, letaknya sangat dekat dengan Eiffel Tower (jalan kaki 10 menit). Kami tiba di hotel jam 10 pagi. Sebenarnya jam check-in adalah jam 2 siang, tetapi resepsionisnya baik sekali (dan cantik sekali!). Dia berkata bahwa kami sudah boleh check-in jam 11 pagi, cukup menunggu sejam. Oh iya, sebelum berangkat saya sering mendengar cerita bahwa orang Perancis belagu dan sombong kepada turis. Tapi pertemuan kami dengan resepsionis hotel ini terbukti ramah dan sangat helpful (dan cantik sekali, eh udah gw bilang ya? Namanya Joanna…)
Hotel ini mahal kampret, dengan kamar yang sangat kecil. Sebegitu kecilnya kamar mandinya, sampe kalo boker kakinya kejeduk ke dinding depan. Yah, ini lah namanya membayar convenience, karena lokasi yang strategis. Dan siapa juga yang mau ngetem di kamar lama-lama? This is Europe! We must go out and explore!
Keluar dari hotel, jalan sedikit ke arah Barat, kami sudah menemukan gedung keren Ecole Militaire (Sekolah Militer) yang megah, satu dari sekian banyak gedung tua yang keren di Paris. Gedung ini berhadapan dengan Eiffel Tower. Cuaca hari itu mendung dan dengan suhu sekitar 10 derajat Celcius. Dingin tapi gak menderita begitu. Gw hanya pakai 3 lapis: kaos – sweater – dan jaket “standar” yang ada di foto. Untungnya memang tidak hujan.
Kami segera meneruskan berjalan kaki menuju Eiffel Tower. Dari jauh memang tidak terlalu berkesan. Tetapi semakin dekat, baru lah menyadari bahwa menara ini cukup masif, bahkan untuk jaman sekarang. Jadi terbayang gak waktu tahun 1889 pertama kali dibuka kayak apa itu kerennya.
Di hari Sabtu ini, kami belum naik ke Menara Eiffel, karena rencananya keesokan harinya. Anggap saja orientasi dulu. Yang mengagetkan adalah ANTRIAN untuk naik ke Menara yang mengular lebih panjang dari antrian sembako gratis. Gw lemes sih melihatnya. Untungnya istri saya cerdas dan sigap sudah menyiapkan membeli tiket “skip the line” melalui GetYourGuide.com. Konsep “skip the line” ini sebenarnya “calo” resmi. Kita membeli tiket jalur khusus yang lebih mahal dan membayar ongkos lelah ke si pembeli. Percaya lah bahwa TIDAK mengantri berjam-jam itu buat gw worth it banget, karena konon antrian masuk tersebut bisa 1-2 jam, BERDIRI.
Kami pun meneruskan berjalan ke arah Utara, ke sisi sebaliknya Menara Eiffel. Kami menemukan sebuah jembatan yang menyeberangi Sungai Seine. Berhenti di jembatan untuk menikmati pemandangan sungai dan pinggir sungai yang cantik. Banyak orang dari berbagai negara lalu-lalang, dengan penjual suvenir, pernak-pernik dan TONGSIS di mana-mana. Oh iya, tongsis luar biasa populer di sini, kalo di Paris banyak dijual oleh orang2 Afrika. Buat kita orang Asia mungkin konsep tongsis sudah biasa, tapi banyak bule masih norak begitu terpukau dengan tongkat narsis. Harusnya ada nama resmi Bahasa Indonesia ya – TONGKAT AMBIL GAMBAR SENDIRI (TAMBARI), misalnya.
Karena di hari pertama ini kami belum punya agenda spesifik, kami pun meneruskan berjalan kaki menelusuri Sungai Seine sambil mencari ke arah Utara. Dari peta, gw merasa bahwa kami bisa jalan kaki sampai ke Champs-Elysees, jalan terkenal di Paris (semacam Boulevard di Kelapa Gading begitu lah).
Jalan2 menembus kota Paris benar2 pengalaman menyenangkan buat gw. Gw kebetulan senang suasana kota tua, dengan gedung2 tua yang masih terawat, dan jalan2 berbatu (cobblestone). Cuaca yang dingin juga membuat jalan kaki menjadi menyenangkan karena kita jadi tidak berkeringat.
Sesudah berjalan cukup jauh, kami melihat antrian orang panjang menuju…..Louis Vuitton! Ampun deh, gw pikir apaan. Tapi ternyata tanpa terasa kami telah tiba di Champs-Elysees, dan butik Louis Vuitton di jalan tersebut konon terkenal sekali, sudah menjadi atraksi turis sendiri. Gw udah berharap ketemu Syahrini aja di situ. Kami tidak masuk, karena kami tidak punya ketertarikan dengan merek2 luxury good seperti itu. Jadi kami hanya menonton saja.
Champs-Elysees adalah jalan besar dengan sejarah panjang. Jalan ini berujung di monumen Arc de Triomphe yang dibangun untuk merayakan kemenangan Napoleon. Jalan ini sendiri dipenuhi toko dan restoran. Space untuk pejalan kaki sangat lebar, jadi nyaman untuk sekedar berjalan kaki pelan2. Kamu tidak perlu khawatir kesamber bajaj atau Kopaja di sini. Suasananya ramai padahal sudah mulai musim dingin. Gak kebayang kalo summer/spring pasti seru dan cantik suasana di jalan ini.
Kami pun meneruskan berjalan kaki menyusuri Champs-Elysees sampai tiba di monumen Arc de Triomphe yang besar banget. Pokoknya percayalah bahwa orang Perancis bener2 mampu membuat monumen deh.
Arc de Triomphe ini letak di simpang lima. Kita tidak bisa seenaknya menyeberang untuk mencapai monumen itu karena bisa disamber Kopaja AC, tapi harus mengambil lorong bawah tanah dari seberangnya.
Arc De Triomphe adalah semacam tugu peringatan kemenangan Napoleon. Dan untuk bisa menghargainya memang harus dari dekat, karena bangunan ini punya banyak detail relief di semua permukaannya.
Jujur gw termangap2 melihat bangunan ini. Kalo tujuannya untuk “memamerkan” kekuasaan dan kedahsyatan Napoleon, gak salah deh design bangunan ini.
Arc De Triomphe ini memiliki museum di dalamnya, dan kita juga bisa baik ke atasnya. Tapi mengingat ini adalah hari pertama tiba di Paris, kami memutuskan untuk melihat2 luarnya saja dulu.
Kami pun memutuskan menyusuri saja jalan Champs-Elysees, sekedar melihat toko2 dan kerumunan orang lalu-lalang. Oh iya, toilet umum di Paris termasuk susah sekali. Kalo di kota2 besar di Indonesia kita cukup mencari mal atau pom bensin untuk toilet, di sini susah. Kalaupun ketemu, antrian panjang dan masih harus membayar 1 Euro. Rp 15 ribu untuk PIPIS jek!!! Ngeselin banget emang.
Berjalan kaki jauh di Paris, di saat awal musim dingin, sangat menyenangkan. Cuaca relatif tidak terlalu dingin, sehingga kita berjalan kaki dengan nyaman dan tidak keringatan. Selain itu banyak jalan2 kecil di daerah pusat kota yang enak dilihat.
Mungkin ada yang bertanya2, konon Paris banyak copet, khususnya di tempat keramaian seperti obyek turis. Memang berita tentang copet di Paris BANYAK sekali. Karenanya saya dan istri tidak mau mengambil resiko dan mengambil beberapa langkah preventif.
- Gw tidak menaruh dompet di kantong belakang. Ini hanya mengundang copet saja
- Tidak menggunakan tas pinggang. Selain secara fashion itu sangat jelek (dan tentunya akan dibuang oleh istri), tas pinggang juga mengumumkan pada dunia (dan copet) bahwa kamu turis.
- Gw dan istri memakai tas yang diselempang, dan saat berjalan2 tutupnya menghadap ke dalam ke perut kita. Kemudian, tas di taruh di perut, bukan di samping apalagi di belakang. Ini untuk menyulitkan copet.
- Kemudian, untuk dokumen sangat penting seperti paspor, tiket, dan uang cash, belilah sabuk pasport (passport/money belt) yang terpisah di masuk ke dalam baju/sweater. Sabuk ini ringan sekali dan tidak mengganggu, dan bisa dibeli di mal. Tujuannya kalo seapes-apesnya tas kamu pun hilang, pasport dan uang cash tidak ikut hilang. Percayalah paspor hilang dicopet itu menderita sekali, karena sudah pernah dialami istri saya.
Kami pun berjalan kaki ke hotel, makan malam di restoran di dekat hotel, dan karena kecapekan dari penerbangan yang lama, kami pun hanya kembali ke Ecole Militaire di dekat hotel untuk melihat Eiffel di malam hari dari kejauhan. Kemudian kami memutuskan untuk istirahat.
Hari Kedua
Hari kedua, kami sudah berencana untuk mengunjungi Basilika besar Sacre Coeur yang ada di atas bukit. Perjalanan ke sana cukup mudah menggunakan Metro. Kamu cukup bertanya kepada resepsionis di stasiun manakah kami harus turun, dan setelah itu biasanya sudah ada penunjuk jalan untuk obyek wisata. Atau menggunakan Google Map.
Oh iya, di Android/iOS tersedia Paris Metro App yang SANGAT membantu. Dengan app ini kamu bisa menentukan ke mana kamu ingin pergi, dan app tersebut memberi tahu stasiun Metro terdekat dari kamu, jalur yang harus diambil, pindah/turun di stasiun mana, bahkan jarak tempuh termasuk waktu jalan kaki! Canggih banget dan sangat berguna. Gw selalu menggunakan app ini di Paris. Keuntungannya adalah kamu gak usah celingukan di statiun lihat peta, atau membuka2 peta kertas dan kebingungan. Semua cukup di smartphone.
Asiknya menggunakan transportasi publik di negara asing, selain lebih murah, tentunya adalah kesempatan mengobservasi penduduk lokal. Gw seneng nguping percakapan orang walaupun tidak mengerti, sementara istri memperhatikan gaya berbusana mereka. Sepanjang di Paris, gw memperhatikan para pengguna subway, khususnya orang kantoran, banyak yang stylish. Stylish di sini tidak berlebihan pamer barang mewah, tetapi pilihan baju, sepatu, sampai tas terlihat matching. Satu lagi, entah ini akurat atau tidak, rasanya kok rata2 mereka langsing ya? Gw mungkin aja salah sih 😀
Begitu kami keluar dari stasiun Metro di dekat Sacre-Coeur, kami terkejut melihat ada sebuah spot yang unik. Yaitu dinding besar berisi tulisan ‘I Love You’ dalam berbagai bahasa. Banyak turis yang berfoto di dinding tersebut. Gw kesulitan mencari “Saya Cinta Kamu” di dinding itu, yang ketemu malah versi…..BOSO JOWO. Ya elah, orang Jawa memang ada di mana2 deh.
Walaupun kami turun di stasiun yang kata resepsionis “dekat”, tapi ternyata jalan kaki menuju Basilika itu lumayan capek karena harus naik banyak tangga. Katedral ini ada di atas bukit, jadi harus jalan menanjak untuk mencapainya. Lumayan hari Minggu pagi itu kami sudah ngos2an.
Basilika Sacre-Coeur terletak di daerah Mont-Martre yang konon adalah daerah seniman dan artis (yah, semacam Ubud-nya Paris kali ya). Jadi banyak pelukis jalanan di sini. Minggu pagi cukup ramai dengan turis maupun orang lokal yang sekedar makan pagi dan menikmati cuaca yang baik. Basilika Sacre-Coeur sendiri sangat megah hacep. Gw yang pecinta bangunan tua langsung semangat walaupun capek naik tangga.
Karena saat itu hari Minggu, Basilika dibuka untuk Misa umum. Jadi turis harus bercampur dengan jemaat yang sedang beribadah. Tentunya area untuk turis sudah dipisahkan dari jemaat yang beribadah, agar tidak mengganggu jalannya Misa. Gw dan istri sempet “nyelip” ke bagian jemaat untuk sekedar duduk dan menikmati selama beberapa saat seperti apa rasanya ibadah di Basilika tersebut.
Yang menjadi titik perhatian utama di dalam Basilika Sacre-Coeur ini tentunya kubah utama yang sangat masif dengan lukisan yang luar biasa indahnya. Kepala kita pasti tidak kuasa mendongak ke arah langit untuk menikmati lukisan relijius yang sangat mendetail dan indah. Gw tidak belajar sejarah arsitektur, tetapi gw menduga bahwa titik perhatian di kubah ini mungkin disengaja agar saat beribadah orang mendongak ke “atas”, tempat Tuhan berada. Mungkin loh ya.
Sesudah duduk sebentar bersama jemaat, kamipun bergabung dengan jalur turis untuk menikmati berbagai titik di dalam Basilika yang dipenuhi tempat berdoa, lukisan dan patung-patung kuno. Rasanya kalau tidak ingat waktu ingin berlama2 di situ, tetapi karena rencana kami sudah cukup padat, jadi kami hanya berkeliling saja dan kemudian keluar.
Dari situ kami berkeliling sebentar mengelilingi Basilika dari luar. Kompleks di sekitar Basilika nyaman untuk berjalan kaki sambil melihat2. Basilika Sacre-Coeur sendiri bisa dinikmati dari berbagai angle karena indahnya.
Ada pengalaman menarik saat kami menuruni bukit Montmartre untuk kembali menuju Eiffel Tower. Saat kami sedang asyik berfoto2 dengan latar belakang Basilika, tiba2 kami dihampiri seorang wanita bule yang sangat cantik. Dengan bahasa Inggris beraksen Perancis kental tapi masih jelas dimengerti, beliau berkata, “Please be careful with your camera, there are a lot of pickpockets in this area”. Duh baik banget. Kami pun berterima kasih kepadanya, “Merci, merci…” Udah cantik, ramah pulak! Duh pengen gw peluk. Eh.
Walaupun kami hanya turis yang tak dikenalnya, si wanita Perancis tadi mengingatkan kami agar waspada. A random act of kindness. Gw jadi mikir, apakah kalau situasinya terbalik, apakah kita saat berada di Indonesia akan mau proaktif mengingatkan turis bule agar mereka terhindar dari masalah atau penipuan?
Lepas jam makan siang kami pun bergegas menuju stasiun Metro terdekat untuk pergi kembali ke Eiffel Tower, karena kami sudah memesan tiket untuk naik ke tower sore itu. Kami membeli tiket masuk “Skip the line”, yang artinya kami tidak perlu mengantri berjam2 tetapi mendapat jalur khusus. Sebenarnya jasa “skip the line” ini gabungan “calo resmi” (kita membayar lebih karena sudah dibelikan orang lain) dan juga membayar jalur khusus express. Tentunya ada tambahan yang tidak sedikit dibandingkan jika kita mengantri biasa, tetapi bagi kami penghematan waktu (antri tiket bisa berdiri 1-2 jam!), penghematan energi (gak perlu lutut mau copot) rasanya lebih penting.
Tiket “skip the line” ini bisa dibeli di internet. Nanti saat selesai transaksi kita akan diberikan jam dan titik pertemuan dengan si “calo resmi”. Di tempat dan jam yang ditentukan si “calo resmi” ini akan membagikan tiket dan mengarahkan kita ke pintu express. Di pintu ini masih ada antrian keamanan, tetapi sangat pendek.
Bahkan sudah menggunakan jasa “skip the line” pun perjalanan untuk menuju puncak Eiffle terhitung lama dan melelahkan. Kami harus mengantri lama untuk mendapatkan lift pertama, yang akan mengantar kita sampai di pelataran di tengah menara (belum di puncak). Sesudah itu harus menyambung lift yang lebih kecil untuk bisa naik ke puncak (sommet), dan itu pun mengantri lagi. Jadi tips untuk yang mau naik ke Eiffel Tower, siap2 stamina kaki, apalagi kalau sedang peak season.

Pemandangan Paris dari perhentian pertama di Eiffel Tower. Perhatikan bayangan Eiffel Tower yang menimpa gedung2 di bawahnya
Kalau kita bisa mencapai puncak dari Eiffel tower, maka kita akan tiba di area kecil yang penuh sesak orang untuk menikmati pemandangan dari atas. Walaupun cukup lelah karena sudah lama berdiri sejak dari bawah, semua jerih payah itu terasa worth it sampai di atas. Di sini lah kita puas berfoto dan menikmati pemandangan. Jangan terlalu sibuk berfoto sampai lupa menatap pemandangan dengan mata sendiri. Terkadang turis terlalu heboh dengan tongsis, selfie, atau memotret, sampai lupa meluangkan beberapa menit untuk menghayati pemandangan dengan mata sendiri.
Ada yang menarik di puncak Eiffel. Ternyata dahulu sekali ada unit tempat tinggal kecil milik Gustav Eiffel si arsitek Eiffel Tower. Tempat tinggal tersebut sekarang diabadikan menjadi eksibisi, lengkap dengan furnitur aslinya. Yang menarik, ternyata Gustav Eiffel pernah menerima kunjungan Thomas Edison si penemu dari Amerika Serikat. Pertemuan keduanya diabadikan dalam patung di dalam unit tempat tinggal tersebut.
Kebayang enaknya si Eiffel jaman dulu tinggal di puncak menara, menikmati pemandangan sendirian, tidak ada speaker kelurahan memutar “Sakitnya Tuh Di Sini” Cita Citata seharian. Oh enaknyaaa…..
Kami meninggalkan puncak menara sudah sore menjelang malam. Karena sudah lapar kamipun menyempatkan makan pizza dari penjual di pinggir sungai yang melintas di dekat Eiffel Tower, sambil menikmati Eiffel Tower di malam hari. Eiffel Tower di malam hari sungguh indah untuk dinikmati dari jauh maupun dekat. Saat sudah malam, di setiap pergantian jam, maka lampu flash di sekujur tbuh menara Eiffel akan menyala bagaikan bintang2. Sungguh indah.
Sesudah makan, kamipun masih berjalan2 “menurunkan makanan” (Indonesia bingits!) di sekitar Menara Eiffel. Kami menyeberang jalan ke arah Utara dan melihat2 sebuah gedung tua yang besar (sampe sekarang gak tahu itu gedung apa, hahaha). Yang pasti banyak anak muda yang hangout di sana sambil bermain skateboard, dan juga para turis yang ingin mendapat spot foto Menara Eiffel yang bagus. Kebetulan cuaca malam itu lumayan cerah untuk menghirup udara segar dan berjalan2.
Karena sudah lelah sudah bepergian sejak pagi, kami pun berjalan kaki pulang ke hotel untuk beristirahat.
Hari ketiga.
Hari ketiga, gw bangun dengan semangat. Karena hari ini adalah jadwal mengunjungi Louvre Museum! Setting awal novel terkenal Dan Brown “Da Vinci Code”! Yeah!
Kami pun bergegas berangkat pagi karena mengetahui antrian masuk ke Louvre biasanya gila2an. Gw mending bangun pagi banget demi cepet masuk tujuan wisata daripada bangun telat terus menderita karena mengantri. Saat tiba, pagi masih dingin dan berkabut, dan itu pun sudah ada antrian panjang di luar museum. Gw sempet terpesona di pelataran museum dengan indahnya gedung Louvre yang GUEDE dan artistik, tetapi gw memutuskan untuk menikmati gedung ini dari luar nanti saja sesudah selesai di dalam.
Ingat Museum Pass yang di atas? Memiliki Museum Pass tadi pun bisa dibilang memberikan akses “ekspres” karena tidak perlu mengantri dulu membeli tiket. Begitu sampai, kami langsung cus! ke antrian pintu masuk.
Tujuan pertama, dan rasanya juga merupakan rencana sejuta umat adalah, Mona Lisa! Kayaknya semua orang yang tiba di pagi itu juga memiliki rencana yang sama. Bahkan ketika gw bertanya kepada Information di sayap mana letak Monalisa, si penjaga seperti sudah bosan dan segera menunjukkan arah.
Sekedar catatan, Museum Louvre itu BESAR. Bener2 BESAR. Percayalah bahwa kalau kita ingin menghabiskan seharian penuh dari jam buka sampai tutup untuk menikmati semua exhibit di sana, itu pun masih belum selesai. Jadi memang harus membuat conscious decision untuk hanya memilih apa yang ingin dilihat. Sedih sih, tapi ya gimana, massive banget museum ini, yang terdiri dari beberapa sayap kompleks. Museum dibagi berdasarkan kategori exhibit. Patung2, lukisan, artefak2 lain. Koleksi lukisan sedemikian masifnya sehingga harus dibagi lagi berdasarkan “pelukis Itali”, “pelukis Spanyol”, “pelukis Perancis”, dll.
Kami berjalan cepat setengah berlari menuju Monalisa, karena kami tidak ingin keburu terhalangi kerumunan orang. Kami pun sampai di lokasi exhibit Monalisa. Jantung gw berdebar keras dengan antisipasi. Gimana gak deg2an, selama ini masterpiece Leonardo Da Vinci ini cuma bisa gw baca atau tonton di TV. Untuk bisa menatapnya langsung rasanya akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Dan sesampainya gw di sana…..
YAH CUMA SEGINI AJA NEH???!!
Lukisan Monalisa aslinya tidak besar. Kita tidak bisa melihat dari dekat, karena area di sekitar lukisan diberi tali pembatas sekitar 7-10 meter. Penjaga memelototi seluruh pengunjung untuk memastikan gak ada orang tolol yang akan memotret dengan lampu flash. Jadi kita hanya bisa menikmati dari agak kejauhan. Sejujurnya, gw kok…..merasa gak terlalu spesial lagi. Ya, gitu aja sik, lukisan wanita.
Yah inilah sindrom kalo udah kelamaan ngebet sama sesuatu, ketika ketemu realitanya gak sesuai harapan jadinya kuciwa. Biasa kan, kayak dulu gw pernah naksir belasan tahun sama seorang seleb. Ketika akhirnya ketemu orangnya dan ngobrol malah mikir “Yah begini doang?”.
Sesudah puas melihat Monalisa, yah pokoknya udah pernah sekali seumur hidup, kamipun melanjutkan dengan melihat2 lukisan2 karya pelukis2 besar Eropa lainnya. Ini bener2 pengalaman menakjubkan, dan ada begitu banyak lukisan lain yang lebih cetar membahana daripada Monalisa. Banyak sekali lukisan2 yang kayaknya gedenya ampir separoh lapangan basket. Gilak sih para seniman jaman dulu. Dan kalau di sana harus memperhatikan detail anatomi tubuh, karena para pelukis besar ini sangat bangga dengan keakuratan mereka dalam melukis anatomi manusia.
Contohnya lukisan “Yesus di Kana” di atas. Lihat deh betapa kecilnya badan gw di depan lukisan tersebut. Bahkan beberapa figur di lukisan tersebut lebih GEDE dari badan gw. Parah sih emang.
Lukisan raja Leonidas (inget film ‘300’?) di atas adalah bukti kehebatan para pelukis jaman dulu dalam menggambar tubuh manusia. Lukisan2 masterpieceyang ada di Louvre ini rasanya bisa dinikmati berjam2 saking indahnya, tetapi keterbatasan waktu sayangnya mengharuskan kami untuk bergerak agak cepat. Tidak ada waktu untuk berlama2 menatap sebuah lukisan. Hiks.
Oh iya, jalan2 di dalam museum aja perlu stamina. Asli, saking gedenya kaki sampe senut2. Kalau mau diturutin dikit2 duduk sih kita akan kehabisan waktu. Jadi jangan pikir mengunjungi museum tidak perlu stamina yang prima. Kayaknya kami membakar banyak kalori selama di sini deh.
Selain lukisan, Louvre juga memiliki koleksi patung kuno yang masif. Ada patung dewa Jupiter, patung Kaisar Roma, ataupun mahluk2 mitologi lainnya.
Sedih sekali karena kami memiliki waktu terbatas untuk melihat tujuan lain, sehingga kunjungan ke Louvre harus diakhiri di siang hari. Suatu hari kalo ada waktu dan rejeki ingin lebih lama menjelajahi Louvre, karena masih banyak artefak yang belum dilihat.
Keluar dari museum, kami menyempatkan menikmati kompleks museum yang tidak belum sempat kami lihat dari luar. Di siang hari cerah dengan sinar matahari, kompleks Louvre sungguh indah. Yang mengundang kagum dari gedung ini, dan juga banyak gedung tua lain di Paris, adalah detailnya. Bahkan untuk sisi luar pun mereka menaruh banyak detail, ukiran, relief, patung yang sungguh kompleks. Seolah2 pembuat gedung ini menyadari bahwa gedung ini akan dinikmati dari luar sebanyak dinikmati dari dalam. Kamipun menghabiskan waktu berfoto2 di luar gedung Louvre museum ini.
Obyek yang menarik dari luar museum Louvre ini tentunya si piramid kaca. Ada dua piramid kaca di kompleks ini. Yang besar berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam museum, tetapi ada satu lagi yang merupakan piramid terbalik. Gw tahu ini karena menonton film Da Vinci Code, dan jadinya gw ngotot mencari di mana piramid terbalik itu. Dilihat di google map ada, tetapi karena dia terbalik, maka ujungnya ada di bawah tanah kan. Nah, ada di mana sih ujungnya?
Istri sudah kesal karena sudah saatnya berangkat. Gw pun akhirnya menyerah mencari si piramid terbalik itu, dan melangkah kembali ke stasiun Metro. Stasiun Metro itu kebetulan terletak di bawah tanah, bergabung dengan semacam mal kecil. Karena kebelet, gw memutuskan mencari toilet di mal tersebut. Dan tanpa disengaja, ternyata gw menemukan si piramid terbalik tersebut! Yaaay. Ternyata pucuknya ada di tengah area mal tersebut. Asik, bisa foto di adegan film Da Vinci Code!
Karena sudah puas menemukan si piramid terbalik, maka lanjutlah kami menuju Notre Dame.
Dengan menggunakan aplikasi Metro Paris tadi, kami pun turun di sebuah stasiun yang masih mengharuskan berjalan kaki beberapa ratus meter menuju Notre Dame. Untung cuaca sangat baik, tidak terlalu dingin, matahari bersinar, sehingga berjalan kaki menjadi menyenangkan.
Notre Dame adalah katedral terbesar di Paris. Mungkin ada yang ingat film animasi Disney “Hunchback of Notre Dame” yang didasarkan atas karya sastra Victor Hugo. Berjalan kaki menuju Notre Dame adalah pengalaman tersendiri karena kami secara perlahan menyadari betapa besarnya katedral ini. Katedral tersebut saat dihampiri dari jauh seperti bertambah besar gak habis2 sampai kita tiba di tempat.
Total waktu pembangunan Notre Dame ini hampir 200 tahun! Dimulai dari 1163 dan dibuka 1345. Kebayang gak sih, dari waktu dibuka pertama kali saja sudah 650 tahun lebih!!
Kami menyempatkan masuk ke dalam Notre Dame. Kita bisa duduk di kursi2 jemaat karena saat itu bukan hari Minggu dan tidak ada misa. Kami pun duduk sambil mengistirahatkan kaki dan mengambil foto. Saah satu highlight dari Notre Dame adalah jendela mozaik raksasa yang menghiasi sisi-sisi gedung.
Tadinya kami ingin menaiki menara Notre Dame, karena ingin melihat lonceng2 Notre Dame yang terkenal itu dari dekat, sekaligus melihat pemandangan Paris dari atas. Tetapi begitu kami melihat panjangnya ANTRIAN yang ingin naik ke menara, kami jadi lemes. Mana emang lemes beneran karena sudah lapar. Akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk makan saja di sebuah cafe terdekat sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya.

Karena antrian panjang, jadi tidak naik ke menara, dan berfoto saja di depan pintu samping yang penuh detail ini.
Dari Notre Dame, mencoba meng-cover jadwal ambisius kami, kami pun mengunjungi Jardin Du Luxembourg. Sebuah taman terbuka untuk umum. Tadinya kami tidak berharap banyak dari sebuah park umum, tetapi ternyata taman tersebut CANTIIIIK sekali. Ditambah cuaca cerah dan langit biru, banyak sekali penduduk Paris yang bersantai di taman tersebut, duduk2 membaca buku ataupun sekedar berjemur menikmati matahari. Surprisingly kami sangat senang menghabiskan waktu di taman tersebut. Di musim gugur menjelang musim dingin saja taman ini masih terlihat cantik dengan bunga2. Terbayang seperti apa taman ini indahnya kalau di musim semi.
Dari Jardin Du Luxembourg, kami pun lanjut menuju Pantheon. Pokoknya jadwal hari itu super ambisius deh, banyak yang ingin dikejar, sampai pontang panting naik turun Metro. Tapi karena Paris ini lebih jauh sedikit dari Bekasi, ya mumpung di sini harus dibela2in melihat banyak hal, supaya gak berasa rugi.
Pantheon adalah museum yang juga makam orang2 besar. Walaupun tidak terlalu “besar” (relatif dibandingkan Notre Dame atau Louvre), bangunan ini tetap impresif, dengan patung2 dan lukisan2 bertema nasionalistik. Gedung ini memiliki dome raksasa yang sayangnya saat kami kunjungi masih dalam proses restorasi.
Kami di Pantheon hanya sebentar saja. Waktu sudah menunjukkan hampir jam 4 sore. Dan kami masih saja ambisius mencoba SATU tujuan lagi: Musee De L’Armee (National Military Museum). Kebetulan lokasinya dekat dengan hotel tempat kami menginap, jadi mikirnya sekalian pulang.
Kami tiba di Musee De L’Armee menjelang jam tutup sebenarnya. Tapi ya udah paksain aja deh, toh masih memakai tiket terusan Musee Pass. Kayaknya kami masuk dari pintu belakang, soalnya bukannya menemui museum, kami malah menemukan…..makam Napoleon. Jadi kami sedikit nyasar.
Sebenarnya ini adalah kejutan menyenangkan, karena kami tidak berencana menemukan makam Napoleon di sini, Jadi enjoy aja deh.
Bagian makam Napoleon ini sangat masif. Yah, memang sesuai dengan tokoh besar di dalam sejarah ini. Saat baru masuk kita akan disambut semacam altar besar, dan kita bisa melihat peti mati raksasa Napoleon. Peti ini benar2 BUEESAAARRR. Kami termangap2 melihatnya, Makam dan peti mati ini seolah2 sengaja dibuat untuk membuat siapapun yang datang merasa segan terhadap sosok Napoleon. Kita bisa melihat betapa menghormatinya bangsa Perancis terhadap sosok Napoleon di masanya, sehingga sesudah akhir hayatnya pun monumen bahkan makam untuknya pun begitu megah.
Sesudah melihat makam Napoleon, barulah kami bergerak ke depan ke arah museum. Kami melihat banyak benda2 perang dari berbagai era. Karena kami masuk dari belakang, kami langsung tiba di jaman Perang Dunia II. Banyak persenjataan, uniform, poster, sampai film dokumenter di dalam museum. Untuk para pecinta segala hal yang berkaitan dengan militer dan sejarah perang wajib mengunjungi museum ini.
Ada satu bagian yang menyedihkan di museum tersebut, yaitu sebuah pojok yang menunjukkan kekejaman kamp konsentrasi Nazi untuk orang Yahudi maupun kaum2 yang “tak diinginkan” lainnya. Ditampilkan seragam tahanan kamp konsentrasi untuk pria dan wanita, foto dan film dokumenter asli dari kamp konsentrasi, sampai benda2 bekas milik tahanan seperti kaca kecil, atau sisir. Lokasi exhibit ini sengaja dibuat reduh dengan mood sedih. Ada peringatan agar anak kecil tidak memasuki bagian ini karena ada video yang menunjukkan mayat2 dan kekejaman Nazi. Buat gw ini adalah bagian penting dari museum untuk mengingatkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejamnnya terhadap manusia lain.
Yang gw sesalkan dari mengunjungi Musee De L’Armee ini adalah karena sudah mepet dengan jam tutup, kami pun tidak bisa melihat seluruh museum ini. Gw membaca bahwa obyek militer di museum ini mencakup jaman pertengahan, yang tentunya dipenuhi baju2 zirah (armor) yang sangat keren. Sedihnya gw gak bisa dapet ini karena museum sudah harus ditutup. Hiks. Maybe next time.
Kunjungan ke Musee De L’Armee ini menutup rangkaian acara kami di Paris di Hari Ketiga. Kamipun memutuskan pulang dan beristirahat karena di hari keempat kami harus ke luar kota Paris untuk mengunjungi Istana Versailles! Yay!
Hari Keempat.
Sejak merencanakan perjalanan ke Paris ini, gw sudah bertekad HARUS datang ke istana Versailles. Tidak hanya saya menyukai istana raja2 Eropa sejak dahulu, tapi juga saya tahu di situlah perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia I ditandatangani. Jadi makna historisnya banyak.
Browsing2 di Internet gw menemukan anjuran untuk pergi ke Versailles se-PAGI mungkin, karena begitu banyak orang yang ingin memasukinya. Versailles membutuhkan perjalanan kereta kira2 sejam dari kota Paris. Jadi kami niat banget bangun di pagi hari untuk bisa bergegas ke stasiun kereta (bukan subway).
Waktu ke stasiun pagi2 kami sempat bingung mencari platform dan kereta mana yang menuju Versailles. Tetapi ada seseorang yang sangat ramah membawa akordion yang memberitahu kereta mana yang benar. Gw pikir, ini orang baek banget ngasih tahu orang2. Belakangan gw baru mengetahui ternyata doi pengamen di dalam kereta menuju Versailles. Kampret. Tapi musik yang dibawakan doi bagus sih, beneran profesional.
Tiba di stasiun Versailles sejam kemudian, kami pun mampir di McDonald untuk pipis dan beli kopi. Saat antri untuk memesan kopi, ada seorang bule yang antri di depan gw menoleh bertanya, “Do you speak English?” Ketika gw iyakan ternyata doi orang Amerika yang udah nyerah berusaha mengerti bahasa Perancis di menu kopi. Gw hanya bisa menjelaskan kalo mau yang ada susu cari aja yang ada tulisanya “au lait”, udah itu aja, hahaha.
Istana Versailles terbagi atas dua tujuan: istananya sendiri, dan tamannya. Ini adalah kompleks istana raja Louis yang dahsyat cetar deh guede dan indahnya. Saking gedenya, tiket untuk masuk taman dan istana dibedakan. Waktu gw baca di internet ada yang ngasih tips untuk jangan maksa masuk istana dulu, karena antriannya akan panjang dari pagi. Lebih baik datang ke tamannya dulu. Dan bener aja, pas gw sampe, masih pagi pun antrian masuk istana sudah mengular gak keru2an, padahal ini hitungannya masih low season. Kebayang deh saat peak season di musim semi.
Maka pergilah kami ke taman Versailles. Astaga, taman ini bener2 besar. Gw gak bisa menjelaskan seberapa gedenya taman istana ini. Kami sudah mengalokasikan sehari penuh untuk mengunjungi Versailles ini dan tetap saja kami tidak sempat menjelajahi seluruh taman. Selain itu, karena kami datang menjelang musim dingin, cuaca mendung jadi kurang bagus, plus kami KEDINGINAN. Tapi tetap saja kami terpesona dengan taman ini. Siap2 kaki gempor saking gedenya. Ada sih penyewaan mobil golf untuk yang malas jalan, tapi kok ya mahal sekali.
Yang gila dari taman Versailles ini adalah banyaknya “taman dalam taman”. Jadi di dalam taman raksasa ini ada taman2 kecil lain yang tertutup. Kamu harus “memasuki”nya untuk menemukan isinya. Taman dalam taman ini berbeda2 temanya, tidak ada yang sama. Jadi seru untuk ditemukan sendiri, ada patung atau arrangement tanaman apa di setiap taman.
Karena terlalu besar, kami hana menjelajah taman dimulai dari pintu masuk dan terus lurus ke Utara ke ujung taman. Di ujung taman, kami menemukan jalan yang menuju rumah musim panas untuk ratu Marie Antoinette, semacam “istana kecil”. Disediakan shuttle bus kecil untuk ke sana dari ujung taman. Tapi karena kami pelit dan sok tahu, kami memilih untuk jalan kaki. Dan ternyata….JAUH YA CUY. Jadi siapin bekal dan cemilan aja deh kalo mau main2 ke Versailles, apalagi saat musim dingin.
“Istana kecil” Marie Antoinette ini ternyata sudah lumayan besar. Lengkap dengan taman sendiri juga. Gilak ini ratu jaman dulu, pikir gw. Rumah musim panas-nya aja udah segede hoha gini, apalagi istana aslinya. Bagian dalam rumah musim panas ini semua furnitur masih dilestarikan dengan baik.

Ruangan di rumah musim panas ini disebut ruang kaca. Bedakan dengan “rumah kaca” yang menyangkut Abraham Samad
Setelah kami puas melihat2 rumah musim panas ini, jam sudah menunjukkan lewat tengah hari. Kami pikir ini sudah waktu yang tepat untuk memasuki istana Versailes. Kali ini kami kapok tidak mau berjalan kaki lagi, jadinya kami menaiki mobil shuttle dan membayar tiket dengan agak gak ikhlas.
Shuttle car ini hanya kembali ke titik ujung taman, jadi untuk kembali ke istana, kami harus berjalan kaki lagi. Ampun deh. Istri sudah ngomel karena capek, plus angin dingin yang sadis. Tetapi ya tetap saja kami terpesona dengan keindahannya. Taman Versailles juga diisi patung2 antik keren di berbagai sudut. Suatu hari, ingin kembali di musim yang lebih baik. Semoga masih ada rejeki dan kesehatan.
Seperti anjuran di internet, antrian masuk istana Versailles sudah lebih pendek melewati jam makan siang. Yay!
Jadi ada apa di dalam istana Versailles? Sulit diceritakan satu persatu di sini, karena bisa2 perlu satu blog entry sendiri. Tapi cukup gw katakan bahwa keinginan gw untuk memasuki ISTANA RAJA ya bener2 terpenuhi. Semua fantasi gw tentang istana Eropa terpenuhi di sini. Setiap sudut lantai, kusen pintu, sampai sudut atap semua dipenuhi ornamen indah. Mungkin satu2nya yang kurang enak adalah kita harus berjejal2 dengan begitu banyak pengunjung lain, bahkan sesudah jam makan siang.

Liat ukuran kusen pintu, bandingkan dengan orang di bawahnya. Ini tukang kayunya ngecharge berapa coba?
Namanya istana, bukan hanya gedungnya yang indah, tapi juga perabotannya. Obviously, isinya bukan barang2 IKEA, tapi masih barang2 jaman dahulu. Benda2 seni yang disimpan di sini tidak kalah dengan yang ada di Louvre. Banyak lukisan2 keren abad pertengahan di sini.
Gw membaca keterangan di pamflet bahwa istana Versailles didesign untuk memamerkan kedahsyatan Perancis kepada raja2 dari bangsa2 Eropa lain. Ratusan tahun sesudahnya, efek “pamer kekuatan” ini masih terasa. Berada di dalam situ kita merasa seperti kecil, dan seperti terintimidasi oleh kekuasaan raja Perancis di jamannya.
Ada satu hall panjang di dalam istana Versailles yang hanya berisi lukisan2 besar perang2 penting penguasa Perancis, dari jaman raja2 sampai Napoleon. Pecinta perang dan militer akan menikmati hall ini. Gw pun jadi menyadari betapa panjangnya sejarah Eropa saking banyaknya perang2 di Eropa di jaman dahulu yang tidak pernah gw ketahui. Sekali sayang, sayang kami tidak bisa terlalu lama mencermati lukisan2 di sini satu persatu, bisa habis waktu kami.
Satu ruangan “utama” di Versailles adalah Hall of Mirrors. Sebuah hall yang diisi penuh dengan cermin, tempat raja Perancis menjamu dan meng-impress tamu2nya jaman dahulu. Kebayang sih tamu2 Raja jaman dahulu, kalo dibawa ke sini pasti terkencing2 kagumnya. Gw aja selama di sana juga terkencing2. Pertama, karena udara dingin, kedua karena gw emang orangnya beser melulu….
Sesudah puas mengelilingi berbagai ruangan yang ada di Istana Versailles, yang terlalu panjang untuk diuraikan satu persatu di sini, kami pun memutuskan untuk kembali ke Paris dengan mengejar kereta sore.
Kami kembali dengan senang, karena seharian sudah menjelajah Istana Versailles dan tamannya. Harapan kami bener2 bisa kembali lagi di musim berbeda. Musim semi saat bunga2 bermekaran pasti bagusnya luar biasa deh.
Kami kembali ke Paris, tetapi tidak langsung pulang ke hotel. Karena itu akan menjadi malam terakhir kami di Paris, gw ngotot untuk kembali ke Arc de Triomphe, karena kami belum berkesempatan naik ke atasnya. Pikir2, sekalian melihat pemandangan Champs-Elysees di malam hari dari atas.
Perjalanan menuju atap Arc de Triomphe sangat melelahkan dan SERAM, karena tangganya sempit. Beneran deh, sebaiknya stamina kuat selama di Paris, karena banyak menggunakan dengkul untuk naik ke sana ke mari. Tetapi sampai di atas kita bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan kota. Bahkan Eiffel Tower pun bisa terlihat di situ.
Itulah malam terakhir kami di Paris, dan juga malam terakhir di Perancis. Keesokan harinya, kami akan berangkat ke….MILAN, ITALI!!
Perjalanan ke Itali akan dilanjutkan di post berikutnya ya. Capek nih. *lap keringet*
Categories: Random Insight, Travel
“Rumah musim panas-nya aja udah segede hoha gini”
Hoha tuh apaan sih om? : )))))
But anyway, Je t’aime Paris! Dulu pernah ke sana naik bis malem 7jam an dari Belanda (tiket pp cuman 25euro), nginep di motel budget yang.. persis banget kata om Piring, toilet+kamar mandinya kiri kanan mentok (segini aku pendek banget). But it was all worth it, Paris nyenengin banget karena di setiap pojok kota selalu aja ada yang bisa diliat dan dikagumi (emangnya Belanda hih). Emang berasa agak lusuh karena banyak imigran, sih, tapi bener banget om, ngeliatin orang-orangnya tuh ngga ngebosenin, model berjalan semuaaaaaa… ngga melulu harus bule pirang dan bermata biru.
Ngga kena palakan orang India di Eiffel? : ))))
Om piring hobi banget deh pake kata2 masif *itungin* :’D
Om Piring, kali ya mau balik lagi ke Paris terus mau ke Basilika Sacre-Couer lagi, daripada cape2 naek tangga ada keretanya loh, tinggal pake tiket metro yang masih berlaku. Terus ya jalan deh ke belakang klo dari arah masuk ke kiri itu ada trio negro yang suaranya…kalo katanya ikutan The Voice itu bikin pelatihnya berebutan deh hehehe.
iya bener,,, cakepan istrimu dari Monalisa! 😀
hoaaaaahhhhhhhh, bahkan gw ikutan pegel pdhl gak ikutan jalan x_x
oom…lanjutan jalan2nya manaa?
Om tyt tinggi banget yak 180..dan istrinya cantik sekali 🙂
Aduh, sabar dooong. Nyari waktu nulisnya susah neeeh. Trims ya. 🙂
Ditunggu yg cerita perjalanan ke Italy juga donk, om =)
Please share perjalanan kaliam ke email say..kerenn banget dan sangat berguna info2nya .Trimakasih 😊🙏
Om mana lanjutan yg Itali Om