Review Awam Jadi Ayah di Usia 40-an. Part 3!
Okay, kita lanjutkan dengan bagian ketiga. Bagi yang belum membaca dua bagian sebelumnya, sila klik link berikut ya:
Review Awam Jadi Ayah di Usia 40an – Part 1
Review Awam Jadi Ayah di Usia 40-an. Part 2.
Sampai di mana kita terakhir?
Lahir Alami vs. Caesar
Mungkin bagi banyak pasangan, mereka ada di situasi ingin memilih: apakah sang anak dilahirkan secara alami, atau secara Caesar. Berikut adalah perspektif saya sebagai pria:
Personally, saya lebih sukakelahiran alami, untuk beberapa alasan: rasanya sesuatu yang lebih alami lebih baik dari yang bukan (not necessarily true), kemudian saya pernah membaca artikel bahwa ada indikasi bayi yang lahir Caesar lebih rentan menderita alergi (karena mereka tidak terexpose pada bakteri yang ada di saluran kelahiran, sehingga sistem imunitasnya tidak terbentuk sempurna. Artikel: http://www.webmd.com/allergies/news/20041020/c-section-may-increase-kids-allergy-risks). Kelahiran alami juga identik dengan masa pemulihan yang lebih cepat. Dan tentunya, urusan biaya yang lebih besar dengan metode Caesar.
Tetapi, saya menyadari bahwa pada akhirnya, yang punya hak menentukan adalah sang calon ibu. Tubuhnya adalah miliknya. Yang telah merasakan segala perubahan bentuk, kehidupan lain selama 9 bulan, yang sudah menanggung yang merasakan sakitnya melahirkan, semua itu adalah dia. Jika tidak ada pertimbangan medis serius yang mengharuskan satu opsi, rasanya fair jika pilihan dikembalikan ke tangan sang calon ibu.C
Ada beberapa alasan di mana calon ibu menginginkan kelahiran Caesar. Ada yang udah horror duluan mendengar betapa sakitnya prosesnya. Ada yang memikirkan faktor stamina karena sudah tidak berusia muda lagi. Ada yang memikirkan faktor ‘kosmetik’ menyangkut kondisi ‘Mickey’ di bawah situ (karena blog ini mungkin dibaca mereka yang di bawah umur, saya menolak memakai kata V- atau M-). Kita sebagai pria tidak akan pernah bisa sepenuhnya merasakan kekhawatiran perempuan tentang Mickey mereka yang akan digunting untuk proses kelahiran, terus dijahit lagi, dan ketakutan mereka apakah Mickey tersebut bisa berfungsi dalam hubungan seks sebaik sebelum melahirkan.
Jadi pada ujungnya, kalo dari perspektif saya sebagai pria untuk pria, jangan memaksakan keinginan secara sepihak soal metode melahirkan. We will never know what they are going through, so it should be their decision.
Selama masa kehamilan, dari ngobrol berdua memang istri saya tidak pernah mengambil keputusan pasti soal metode kelahiran, tetapi dia cenderung memilih Caesar. Walaupun ini bukan preferensi saya, tetapi keputusan final saya serahkan kepadanya.
Di sinilah bagian terakhir dari Part 2 menjadi relevan. Ingat bahwa janin anak kami terlilit tali pusarnya di bagian leher? Keadaan itu ternyata tidak berubah seiring waktu. Setiap USG menunjukkan tali pusar yang masih membelit leher si janin (walaupun tidak membahayakan hidupnya di dalam kandungan. Tali pusar lunak dan fleksibel, bukan kayak tali rafia!) Menurut dokter, jika sampai waktunya melahirkan masih seperti itu, opsi Caesar jadinya bukan pilihan lagi, tapi sebuah keharusan.
Soal ramalan tanggal kelahiran…..
Semua calon orangtua pasti penasaran ingin tahu tanggal kelahiran anak. Untuk berbagai alasan praktikal (menetapkan tanggal cuti, menyiapkan nama, kamar, membeli perlengkapan bayi, jadwal seremoni/ritual keluarga), seperti sampai alasan spiritual (perhitungan tanggal baik, nama baik yang sesuai tanggal, persiapan cari jodoh anak yang sesuai bintang, dll). Dokter akan memberikan estimasi tanggal kelahiran (dan plus minus-nya). Tapi janganlah anda terlalu menggantungkan diri pada estimasi tanggal tersebut, karena bisa saja…..meleset…..jauh.
Contohnya ya anak kami. Diprediksi akan lahir di suatu hari di pertengahan Oktober sesuai perhitungan 40 minggu. Dan hasilnya, meleset banget sob.
Hari kelahiran yang mengagetkan
Karena kami sudah berbekal estimasi tanggal kelahiran, di hari si anak benar-benar lahir, kami jadinya tidak siap. Bahkan sesudah memberikan waktu +/- seminggu dari tanggal estimasi, kelahiran si anak tetap saja lebih cepat dari rentang waktu tersebut.
Pada saat hari kelahiran, istri saya tidak merasakan sesuatu yang spesial. Tetapi di pagi harinya, dia memang melihat ada sedikit bercak darah, tapi tidak terasa sakit sama sekali (catatan: “tidak merasa sakit” adalah hal relatif dan subyektif. Kebetulan istri saya terkenal badak urusan rasa sakit. Sangat kontras dengan suaminya….) Istri saya cukup memberitahukan dokter melalui WA, dan jawaban dokternya pun terkesan tidak ada urgensi, hanya meminta memeriksakan diri ke klinik jika sempat.
Jadi di hari itu, 2 minggu sebelum estimasi tanggal lahir, kami masih beraktivitas berdua dengan normal. Dari pagi sampai siang kami masih berkendara mobil melakukan urusan di daerah Jakarta Selatan, sempat makan Soto Kudus dulu berdua, barulah meluncur ke klinik saat hari sudah sekitar jam 3 siang.
Sampai di klinik, di bagian UGD (sesuai petunjuk dokter), suster mendengarkan penjelasan dan tentunya merekomendasikan observasi. Observasi dilakukan dengan alat canggih yang bisa mengukur kontraksi lemah yang mungkin tidak dirasakan oleh pemilik perut yang badak. Jika kontraksi terjadi dengan kekuatan dan interval waktu tertentu, maka bisa dipastikan proses kelahiran sudah terjadi, bahkan walaupun si calon ibu tidak merasa mulas sekalipun.

Istri sedang mendengarkan suster. Tampak alat yang mengukur kontraksi. Tapi lupa kenapa si suster mencekik diri sendiri ya….
Daaaaan….benar saja. Alat monitor menunjukkan sudah terjadi proses kontraksi, walau masih di awal. Yang artinya memang si ibu beneran badak karena gak berasa apa-apa. Di proses kontraksi awal ini sulit menebak kapan persisnya si anak akan lahir jika menggunakan metode alami. Dokter obgyn merekomendasikan, bahwa jika memang ingin lahir secara caesar, lebih baik dilakukan saat itu juga karena sudah memungkinkan secara media. Pertimbangan: jika toh memang ingin caesar, tidak ada gunanya membiarkan ibu melewati masa kontraksi yang lebih berat dan sakit. Yang ada malah “rugi”, udah sakit, toh akan di-caesar juga. Yaaah, masuk akal juga sih.
Akhirnya keputusan pun diambil untuk melahirkan secara caesar sore itu juga. Kami bener2 tidak ada persiapan saat meninggalkan rumah. Bahkan kami tidak sempat packing membawa baju ganti saat berangkat pagi hari, eh, tiba-tiba sore itu juga harus ketiban bayi.
Istri saya pun dipersiapkan untuk prosedur Caesar. Saya dijelaskan bahwa prosedur Caesar sendiri hanya memakan waktu sekitar….10 menit. Dalam hati, buset, lebih lama ngantri di bank BUMN daripada menghasilkan bayi yak. Saya dipersilakan mengikuti proses, jika memang mau. Tentunya saya mau lah! Gak akan saya melewatkan kesempatan ini. Saya pun harus berganti baju operasi dan penutup kepala yang steril, dan masuk ke dalam ruang operasi.
Di dalam ruang operasi, saya mengambil kursi dan duduk persis di belakang kepala istri. Ada semacam tirai kain yang memisahkan kepala istri dengan perut yang akan dibelek. Jadi sebenarnya kami tidak bisa melihat proses operasi Caesar itu. Sebenarnya kayaknya saya bisa sih kalo mau, cukup berdiri dan mengintip. Tapi mengingat saya tidak pernah tahu reaksi saya kalo melihat perut dibelek, dibuka, dan ada darah di mana-mana, saya tidak mau menambah pasien si dokter di saat itu juga.

Tetep selfie. Perhatikan ada semacam tirai kain yang menghalangi pandangan kami.
Bagaimana rasanya menunggui proses Caesar (walaupun terbatas)? Percaya lah, cukup menegangkan. Bukannya apa-apa. Kami masih bisa melihat gerakan tangan si dokter obgyn, dan gerakannya tidak seperti yang kami harapkan. Tadinya kami pikir gerakan tangannya akan halus, luwes, melodik bagaikan Addie MS memimpin orkestra – kan ini ngeluarin anak, masak kasar? Ternyata sebaliknya, gerakan tangan dokter tampak heboh, penuh tenaga, violent, dan lebih mirip gerakan tangan montir saat mau ganti tali kipas mesin.
As if gerakan tangan heboh si dokter gak cukup bikin kami gigit jari (jari sendiri, bukan jari suster), di tengah proses dokternya masih berseru, “Waaah, lehernya kebelit tali pusar sampai DUA KALI ini….harus dibebaskan dulu…” Dan ini diikuti dengan gerakan tangan yang lebih heboh (kali ini lebih menyerupai gerakan tangan montir yang sedang spooring balancing ban). Bohong banget, kalo saya tidak cemas (istri malah tampak lebih tenang, atau mungkin doi setengah giting efek bius lokal).
Dan tiba-tiba, dokter memanggil saya, “Pak, ini sudah mau lahir…” Barulah saya memberanikan diri berdiri dan mengintip dari balik tirai. Tampaklah sih bayi merah masih berlumuran darah sudah dipegang si dokter dan diangkat keluar, lehernya sudah terbebas dari tali pusar. Maka resmilah anak kami lahir di dunia.
Tentunya saya tidak bisa langsung memegang bayi kami untuk diajak fistbump. Bayi ini segera dialihkan ke tim perawat yang segera membersihkan dia, baik dari luar maupun sisa cairan di dalam kerongkongan. Si bayi juga harus diukur dan ditimbang, dan dicek tanda-tanda vital seperti warna, pernapasan, dan detak jantung. Saya menyempatkan diri mengecek jam tangan untuk mengingat jam lahir. Bayi juga diberi tanda pengenal berupa tag di tangan. Bayi yang sudah dibersihkan kemudian dibawa ke sang ibu untuk inisiasi kontak kulit, di mana si bayi ditempelkan ke payudara si ibu (tapi tidak sampai menyusui).

Panjang tubuh, lingkar kepala, berat badan segera diukur.
Selesai dari proses ini, saya masih tidak bisa memegang si bayi. Sesudah inisiasi kontak ibu, si bayi dipindahkan ke semacam kotak kaca steril dengan penjaga temperatur untuk dipindahkan ke kamar anak di bagian lain rumah sakit. Si kotak kontainer ini agak mengingatkan saya pada gerobak roti Tan Ek Tjoan, entah mengapa. Saya hanya bisa sekedar mengawal si anak dari ruang operasi sampai ke kamar anak untuk memastikan dia tidak menjadi sekuel Putra Yang Ditukar.
Sesampainya di kamar anak, masih ada prosedur lagi yang diberikan. Seperti pemberian obat mata dan pembersihan tambahan. Saya pun ditanya siapa nama anak kami, dan untungnya kami sudah punya nama yang siap. (Belakangan saya baru tahu cukup umum sampai di tahap ini ada bayi yang belum bernama. Saya melihat bayi lain yang papan namanya masih kosong – hanya berisi nama orangtuanya. Atau mungkin namanya “He-who-must-not-be-named”….) Kemudian akhirnya perjalanan panjang si bayi datang ke dunia ini berakhir ketika dia akhirnya bisa “diparkir” dengan tenang di pinggir kaca, siap “dipamerkan” ke penonton, walau masih di dalam semacam kotak penyimpanan.

Tempat terakhir di hari kelahiran. Matanya terbuka lebar tapi kayaknya belom bisa melihat.
Selama proses ini, istri saya sendiri terus lanjut dengan prosedur menjahit tutup perutnya yang dibuka, dan kemudian dia harus beristirahat dulu di ruang pemulihan. Seingat saya, dia cukup lama menghabiskan waktu terpisah di ruang pemulihan, mungkin sekitar 3 jam. Sepanjang waktu itu saya hanya mondar mandir menemani si bayi di ruang anak, sambil sibuk berkomunikasi dengan orang tua dan mertua.
Saat saya menunggui bayi kami, barulah reality sinks in. Kalau sebelumnya saya begitu sibuk dengan segala proses kelahiran dan kehebohannya, ketika semua proses itu sudah selesai, dan saya menatap anak saya sendiri, barulah kesadaran itu datang. Oh my God, I’m a father now. My life will be totally different from now on. Mertua saya pun akhirnya tiba di rumah sakit. Ada rasa bangga dan bahagia tak terkira saat saya bisa menunjuk anak saya kepada ayah mertua saya, “Itu loh pa, anak kami” (yang kebetulan juga menjadi cucu pertama bagi mereka).
Barulah sekitar jam 10 malam istri saya bisa masuk ke kamar inap, dan bayi kami dibawa ke kamar untuk dipertemukan dengan ibunya, dan mencoba inisiasi ASI. Saat itu kami tentunya sudah merasa lelah sekali, walau bahagia juga. Kami hanya bersyukur bahwa seluruh proses dari program kehamilan, kehamilan 9 bulan, sampai lahir akhirnya berakhir dengan lancar. Kami juga mensyukuri ada begitu BANYAK pihak yang memungkinkan peristiwa ajaib ini terjadi. Tidak hanya “dokter” obgyn yang menangani program kehamilan dan mengawal proses kehamilan, tapi juga para suster yang membantu sejak administrasi sampai tindakan, teman2 pendukung, sampai keluarga yang mendoakan. Di balik kelahiran anak kami, kami tahu hal ini tidak akan terjadi tanpa dukungan banyak pihak…
BUSET, KIRAIN SERI REVIEW AWAM JADI AYAH USIA 40-AN INI AKAN BERAKHIR DI PART 3, TERNYATA BELOM JUGA!
Okay, saya berjanji bahwa cerita ini HARUS selesai di Part 4. Berikutnya saya akan fokus bagaimana rasanya menjadi ayah di usia 40-an selama 3 bulan pertama. Dan hal-hal apa yang saya pelajari dari seluruh pengalaman hidup yang satu ini. Tunggu yaks.
Categories: man and woman, Random Insight, Uncategorized
hahahaha, badak ya om, wkwk
Iya saya juga badak oom.
Bulan ke 5 kehamilan, saya pendarahan tanpa rasa sakit. Langsung ke rumah sakit dan disuruh opname. Seminggu ditahan, babynya tetap keluar normal. Meninggal 5 jam kemudian.
Duh Laura, turut berduka dengernya 😦
“He-who-must-not-be-named” ngakak parah om 😂. Anyway, congratz om piring.
Kirain slm ini Om Piring uda punya anak 2. Tp bukan golong pahmud, ya Om? Just hot daddy yak? :))))
“kalo dari perspektif saya sebagai pria untuk pria, jangan memaksakan keinginan secara sepihak soal metode melahirkan”
Bener banget, om! Saya waktu melahirkan udah kontraksi sampai bukaan penuh, ngeden sejam, bayi ga keluar2 akhirnya harus caesar. Sakitnya ampun2an, sampai gigit2 suami. Kalau ada yg mau lahiran langsung caesar, kenapa harus dimasalahkan….
Di akhir akhir paragraf aku terharuuuu :’)
I still remember those feeling tho’.