Bertahan Waras di Jakarta Dengan Teknologi

Sudah beberapa minggu terakhir ini, gw merasa kemacetan Jakarta terasa makin menggila. Rasanya, rute gw pergi ke dan pulang dari kantor semakin parah. Dan entah perasaan gw aja, atau semua proyek pembangunan berjalan berbarengan ya? Ada underpass, ada jalan layang, ada tol, ada MRT, ada jalur busway – pokoknya semuanya harus turun bareng ke lantai dansa. Rame aja. Di satu sisi, gw mikir kalo mungkin mendingan menderita banget tapi sekalian sekaligus, daripada menderita lumayan tapi panjang. Proyek jalan berjalan sekaligus memang super menderita, tapi harapannya selesainya juga (hampir) barengan, dan kemudian (semoga) lancar. Kalau proyek berjalan bertahap, efek domino dari macetnya rasanya akan sama saja, dan kita menderita lebih lama. Makanya mending nembak beberapa cewek sekaligus. Ditolak beberapa cewek serentak itu jauh lebih mendingan daripada ditolak cewek satu2 selama bertahun2. Sebentar, kenapa nyambungnya ke sini sih?

Well, itu tadi pemikiran gw sebagai warga DKI Jakarta yang awam saja sih. Tapi tetep aja macet itu banyak gak enaknya. Penggunaan hari yang tidak maksimal, salah satunya. Jika gw harus meeting menemui beberapa client di tempat berbeda, gw merasa dalam sehari hanya cukup untuk 2 meeting. 3 meeting udah dipakasin banget jika jarak antar client tersebut tidak terlalu berjauhan. Mau ke airport harus berangkat 2.5 jam sebelum keberangkatan jika ingin keluar negeri (biasanya sih emang jadi kepagian banget, sampe hafal pengumuman “CING CU I, CING CU I” yang sampe sekarang gw gak tau apa artinya).

Selain soal waktu yang habis di jalan, praktis produktivitas jadi korban. Lebih sedikit waktu yang habis di jalan artinya lebih banyak waktu yang bisa dihabiskan di kantor untuk bekerja dengan tenang atau di kantor client. Tadinya gw bukan tipe yang bisa kerja di jalan, walaupun sedang naik taksi/Uber sekalipun. (Dulu) buat gw saat di jalan itu saat mendengarkan musik, ngelamun, stalking mantan (yang gak banyak juga sih…) atau main social media. Tapi dengan waktu di jalan yang semakin panjang, keinginan itu sudah tidak realistis lagi. Mau tidak mau, kalau tidak ingin kehilangan produktivitas, kita harus bisa bekerja on-the-go.

Untungnya (ini khas Indonesia banget gak sih? Selalu ada faktor “untung”nya…), di tengah situasi jalanan DKI yang semakin menguji kewarasan ini, teknologi juga berkembang pesat untuk membantu sedikit meringankan beban. Gw termasuk yang merasa sangat terbantu oleh teknologi untuk produktivitas dan kesehatan jiwa. Teknologi ini bisa bersifat hardware ataupun software.

Contoh teknologi software yang membantu:

  • Aplikasi/layanan videoconference seperti Skype, Webex, Bluejeans, dll. Dengan kecepatan broadband yang makin baik, seharusnya temu tatap muka langsung bisa dikurangi, toh komunikasi visual bisa terjadi dari jarak jauh. Teleconference biasa memang belum cukup nendang, karena kita tidak bisa melihat ekspresi wajah (paling males lagi teleconference terus ngelempar joke yang disambut sunyi krik…krik…krik). Tapi videoconference rasanya sudah bukan hal yang teramat sulit lagi di Indonesia, minimal di kota besar.
  • Aplikasi Chatting/messenger. Gw pengguna chatting Selain (konon) kaum introvert lebih menyukai menulis daripada ngobrol, chatting juga terasa tidak mengganggu. Jika pihak yang diajak ngechat sedang sibuk, tidak bisa menerima telepon, ya sudah. Selain itu, chatting memungkinkan ada “bukti tertulis” yang bisa jadi referensi suatu saat diperlukan (ada yang udah pernah berantem sama pacar/istri/suami karena “bukti tertulis” ini? :p)
  • Social media. Selain berfungsi sebagai alat hiburan, stalking mantan, dan juga update berita, media sosial sebenarnya bisa bermanfaat untuk produktivitas. Breaking news mengenai dunia bisnis, client, kompetitor bisa ditangkap di media sosial. Belum lagi informasi praktis mengenai kondisi jalan raya, seperti adanya demo, kecelakaan, billboard tumbang dikepret Thor, sampai alien mandi di Bundaran HI – semua ini bisa didapat di media sosial.

Itu tadi yang sifatnya lunak-lunak enak (software). Bagaimana dengan yang “keras” (hardware)? Berikut adalah beberapa barang keras wajib gw:

  • Smartphone. Gw sampe memakai dua biji: pribadi dan milik kantor (penting supaya gak salah kirim….) Gak perlu dijelasin panjang lebar lagi sih. Si kotak kecil ini sudah menguasai banyak aspek hidup gw. Dari sekedar komunikasi dengan keluarga dan orang terdekat, komunikasi untuk pekerjaan, alat hiburan browsing, nonton video atau main game, fotografi dan videografi, media sosial, pesen taksi/gojek, cari jodoh, dan sejuta aktivitas lain. Tetapi seberapa pintarnya ­si smartphone, masih saja ada keterbatasannya. Yang pertama, soal durasi baterai yang tidak bertahan lama selama 24 jam dengan pemakaian berat. Dan ini menyebabkan gw harus membawa….
  • Powerbank bagi gw adalah sesuatu yang menyebalkan. Bentuknya jelek, ganggu, bikin repot, unfortunately, juga sesuatu yang gw harus andalkan untuk smartphone yang unibody (baterai permanen). Gak ada yang merasa smartphone yang sedang dicolok powerbank itu jelek banget ya? Kayak ngeliat dua gadget sedang kawin gitu. Jika memakai smartphone yang masih bisa dibuka case belakangnya, gw lebih memilih punya baterai ekstra. Selain smartphone gw gak perlu “kawin” dengan powerbank, mengganti baterai smartphone rasanya seperti lagi reload pistol aja. Halah.
  • Laptop (pribadi). Lho, kok laptop? Bukannya smartphone sudah digdaya dan bisa semuanya? Well, untuk blogger atau penulis buku, smartphone belum bisa melakukan segala-galanya. Untuk menulis panjang atau membuat presentasi, gw masih perlu laptop untuk kenyamanan mengetik. Tetapi tentunya bukan sembarang laptop yang berat. Gw memilih laptop yang ringan yang gak bikin bahu penyok, dengan baterai memadai. Saat ini gw memakai HP Envy 13 yang enteng, kenceng, tampangnya gak kebanting sama tampang gw, dan baterainya kuat menghadapi jalanan Jakarta (review awam gw di (https://henrymanampiring.com/2016/12/17/review-awam-laptop-hp-envy-13/).

Itu tadi adalah gabungan software dan hardware andalan gw dalam menembus keseharian di Jakarta. Bukan solusi sempurna, tetapi cukup meringankan tantangan untuk tetap produktif di tengah kondisi jalanan Jakarta yang tidak mendukung. Tetapi gw sadar, gw termasuk yang beruntung untuk bisa memiliki/membeli layanan dan barang-barang di atas.

Karenanya harapan gw kepada siapapun yang akan menjadi Gubernur DKI berikutnya, mohon kemacetan dan sarana transportasi publik bisa diperbaiki secepatnya. Karena kemacetan bukan sekedar soal pemborosan bahan bakar, waktu, dan tenaga – tetapi juga produktivitas warga. Jangan sampai ada kucing gegar otak ketiban tas warga yang keberatan powerbank…

Solusi lain bisa berupa kebijakan perusahaan yang lebih mengakomodir remote working, dan mengurangi keharusan “absen” fisik di kantor. Beberapa perusahaan di industri tech dan creative industry lebih familiar dengan cara kerja seperti ini. Karena sepanjang karyawan EFEKTIF, menghasilkan output yang diharapkan, sebenarnya peduli amat dia kerja dari mana, ya gak sih? Ekstrimnya, mending karyawan “tak terlihat” tapi menghasilkan (ini karyawan ato tuyul/jin), daripada karyawan yang selalu terlihat di meja, tapi ngegosip atau download drama Korea dong – iya kan? Selain itu, lebih sedikit waktu yang habis di jalan, lebih sedikit stress dan waktu terbuang, dan si karyawan pun lebih happy. Dan karyawan happy adalah kunci kinerja organisasi yang mumpuni. Tsah. Dan teknologi saat ini sudah sangat memungkinkan kok. Jadi mari memanfaatkan teknologi demi kewarasan bersama!

 

Categories: Uncategorized

1 Comment »

  1. Om Piring, “Cing Cu I” itu tulisan yang benernya “請注意”. Artinya “mohon perhatian”, om, hehehe.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s