‘Broken Window Theory’, Karangan Bunga, Lilin, dan ‘Invisible Good People’
Ada dua peristiwa menarik bagi gw dari negeri ini yang baru saja terjadi. Kebetulan keduanya berhubungan dengan figur Ahok. Yang pertama, fenomena karangan bunga di Balai Kota sesudah kekalahan Ahok di Pilkada DKI. Entah siapa yang memulai, tetapi kedatangan karangan bunga dalam jumlah sedikit perlahan menjadi seperti arus bah. Semuanya berisi pesan semangat kepada Ahok dan Djarot, dan banyak sekali unsur kreativitas di dalam merangkai kata-kata yang lucu. Di “generasi meme”, karangan bunga pun menjadi ajang kata2 mutiara ataupun pesan yang kocak.

Sumber: pilkada.metronews.com
Yang kedua, menyusul divonisnya Ahok sebagai bersalah melakukan penistaan agama (padahal jaksa pun tidak merasa pasal ini cocok digunakan di kasus ini). Diawali dari beberapa titik di kota Jakarta, aksi lilin terus melebar ke kota-kota lain (yang jelas tidak berhubungan dengan Ahok), bahkan sampai ke negara lain. Wacana aksi lilin menjadi lebih besar dari sekedar protes atas ketidakadilan kepada Ahok, tetapi juga keprihatinan atas kebangsaan yang terkoyak, dan hal ini mulai menarik perhatian publik dunia.

Sumber: merdeka.com
Ada beberapa suara yang menyebutkan bahwa ini adalah bentuk “Silent Majority” yang akhirnya angkat suara. Ketika selama ini jalanan dan media sosial lebih didominasi oleh satu suara saja, sampai akhirnya ada suara ‘tandingan’ yang muncul, memrotes ketidak-adilan, sampai menyatakan komitmen dukungan terhadap Indonesia yang Bhinneka.
Gw jadi teringat soal ‘Broken Window Theory’ yang pernah saya baca. Catatan: gw bukan otoritas soal ini, hanya sebagai awam yang pernah membacanya saja. Sederhananya, teori ini bicara tentang kriminalitas besar dipicu dari kriminalitas remeh yang dibiarkan. ‘Broken window’ (jendela pecah) adalah metafora, bahwa sebuah lingkungan yang dipenuhi tanda-tanda kriminalitas remeh (jendela dipecahkan pakai batu, tembok yang dipenuhi vandalisme grafiti, fasilitas publik yang dirusak) akan memberi sinyal kepada orang banyak bahwa masyarakat di situ tidak peduli dengan ketertiban, dan menjadi pemicu untuk kriminalitas yang lebih besar.
Dengan kata lain, tindak segera pelaku kriminal ringan, segera perbaiki “sinyal visual” bahwa di suatu tempat kejahatan/kenakalan ditolerir, maka niscaya hal ini membantu membuat urung perilaku kejahatan yang lebih besar.
Broken Window Theory memang masih diperdebatkan, walaupun beberapa eksperimen sosial sudah mendukung teori tersebut (untuk informasi lebih detail tentang eksperimen yang dilakukan, baca artikel The Spread of Disorder ini. Keren-keren desain eksperimennya).
Gw jadi kepikiran, apakah prinsip yang sama bisa diterapkan di luar konteks ketertiban umum, tetapi juga soal SARA bahkan pergantian dasar negara yang sedang ramai akhir-akhir ini.
Teriakan dan spanduk “Ganyang Cina!” yang sudah berani dilakukan terang2an, bagaikan jendela pecah dan graffiti di Broken Window Theory, jika dibiarkan akan menjadi sinyal kepada masyarakat luas bahwa rasisme itu lumrah dan bisa diterima. Dari sekedar teriakan dan spanduk, kemudian terus diamplifikasi di media sosial, bisa berujung menjadi penganiayaan fisik betulan (minimal penganiayaan verbal, dan ini sepertinya mulai terjadi). Dan jika ini adalah terapan kerangka Broken Window Theory, maka ini bukanlah sekedar “Slippery Slope Fallacy”, tetapi merupakan kekhawatiran beralasan.
Kita sudah mulai melihat efek ini di sekolah. Survei Kemendikbud menunjukkan 8.2% responden siswa tidak setuju Ketua OSIS beragama berbeda (artikel: Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah). Perilaku intoleransi yang ditoleransi di kalangan dewasa akhirnya bisa menginfeksi jiwa-jiwa muda juga.
Begitu juga dengan isu pembubaran organisasi HTI yang dianggap menyebarkan paham mengganti dasar negara Indonesia. Di satu sisi, gw menentang pembubaran organisasi di luar koridor hukum yang jelas, karena ini menjadi preseden buruk demokrasi (hak untuk berserikat dan berorganisasi). Dan argumen bahwa pembubaran organisasi tidak sama dengan bubarnya ideologi, itu ada benarnya. Tetapi di sisi lain, perilaku organisasi yang secara terbuka mendukung perubahan ideologi negara dan dibiarkan rasanya mirip dengan fenomena jendela pecah di Broken Window Theory. Pembiaran perilaku yang mengancam keamanan dan stabilitas negara akan menjadi sinyal visual dan verbal bagi banyak orang bahwa Republik Indonesia ini memang mungkin diganti.
Membubarkan organisasi memang tidak bisa mematikan ideologi. Tetapi perilaku organisasi bisa menyuburkan ideologi. Di sini lah dilemanya. Dan gw jadi teringat pernah membaca bahwa ironisnya, gerakan anti demokrasi akan naik dengan menunggangi demokrasi (Partai Nazi di Jerman menjadi partai terbesar di Jerman melalui pemilu 1932). Plus dapet salam dari Donald Trump.
But enough with the bad news. Gw juga jadi kepikiran, apakah Broken Window Theory ini mempunyai sisi kebalikannya, semacam “reverse” broken window theory. Bener-bener sisi lawannya. Jika Broken Window Theory bicara tentang hal-hal negatif yang kecil menjadi pemicu hal-hal negatif yang lebih besar, apakah efek yang sama bisa dibalik? Bahwa hal-hal positif yang kecil bisa menjadi pemicu hal-hal positif yang lebih besar?
Dan di sini gw mau kembali ke awal tulisan, soal karangan bunga dan aksi lilin. Kalau dipikir-pikir, apalah sebuah karangan bunga, yang akan layu dalam beberapa hari. Apalah artinya ratusan bahkan ribuan lilin, menyala sejenak dan padam bersama pulangnya peserta. Tetapi dalam kerangka “reverse” Broken Window Theory, hal-hal “sepele” ini bisa menjadi pemicu hal positif yang lebih besar. Setiap ujaran dan tindakan yang memrotes ketidak-adilan, mendukung toleransi, kebhinnekaan, dan persatuan Indonesia, sesepele apapun, bisa menjadi pemicu hal positif yang lebih besar.

Aksi lilin untuk Ahok di Jogja (sumber: dw.com)
Mengapa? Karena gesture2 yang kesannya sepele di atas menjadikan sebuah sikap yang “tak nampak” menjadi nampak. Sikap mencintai kebhinnekaan bangsa adalah sesuatu yang abstrak, tidak terlihat. Tetapi dengan manifestasi fisik dan visual (lilin, bunga, dll.), maka kelompok masyarakat yang pluralis dan toleran berhenti tidak nampak dan menjadi nampak. They stopped being invisible and start being visible. Dan ketika ada yang berani berhenti menjadi ‘hantu’ dan menampakkan diri, hal ini akan memberanikan yang lainnya untuk juga bergabung menampakkan diri.
Ada quote terkenal dari Edmund Burke: For evil to triumph, all it takes is good men who do nothing. Supaya kejahatan bisa menang, cukup dengan orang-orang baik yang berpangku tangan. Kalo gw boleh menambahkan: For evil to triumph, first it takes good men who are invisible. Awal dari menangnya kejahatan adalah “orang-orang baik” yang tak nampak (boro-boro bertindak).
Jika kita tidak setuju dengan kezaliman isu SARA, jika kita tidak setuju dengan Pancasila digantikan ideologi lain, maka tampakkanlah diri. Stop being invisible. Rangkul lah mereka yang berbeda, apalagi mereka yang ditindas karena perbedaan mereka. Proteslah postingan dan share kebencian dan intoleran di chat group dan media sosial. Jawablah ajakan untuk mengganti dasar negara dengan “Garuda di dadaku”. Untuk setiap seruan “Ganyang Cina/Kafir/[golongan minoritas apapun di suatu konteks]!”, nyanyikan lagu persatuan, persaudaraan, dan kasih sayang. Reverse broken window theory. Tunjukkan ke masyarakat luas, bahwa masih banyak orang yang tidak mau dihasut isu SARA atau anti Republik.
(anak-anak di atas lebih bijak – dan lebih cute – dari banyak orang dewasa)
Sebarkan terus suara dan tindakan kebaikan sekecil apapun itu, dan (mungkin) kebaikan yang lebih besar bisa terus bergulir, menenggelamkan niat jahat atas bangsa ini.
Selamat mencintai Indonesia, dan selamat menampakkan diri! 🙂
Categories: human behavior, Negeriku, Random Insight
Thank you for reminding us about this theory.. I sincerely hope that there is a reverse broken window waiting to be proven..
Reblogged this on Ririn Agustia and commented:
jangan diam.
Sebarkan terus suara dan tindakan kebaikan sekecil apapun itu, dan (mungkin) kebaikan yang lebih besar bisa terus bergulir, menenggelamkan niat jahat atas bangsa ini.
Sepakat banget sama yang ini, sekarang jadi lebih sering ngomongin soal bhinneka sama orang-orang sekeliling. Karena Indonesia itu warna-warni
re: protes,rangkul, argue, challenge
nah tapi di social media, orang justru hanya percaya pada yang se-pemikiran, mereka gak akan terima apapun dari yang beda persepsi.
makanya segala kegiatan fake news, hoax dll lancar jaya di socmed, karena mereka percaya hal itu.
sama seperti ungkapan, kebohongan yang diulang-ulang suatu saat akan diakui sebagai kebenaran. Sepakat bro, bahwa kebenaran itu harus disuarakan walaupun sekecil apa pun. Jadi ingat quotes di Film Kingdom of Heaven, ketika Godfried berpesan ke Balian sebelum dia meninggal, “Katakan lah kebenaran sekalipun itu akan membunuh mu”
Mantap, teorinya.