Netflix dan Berteman Dengan Kematian

*tiup2 debu yang menempel karena udah lama gak ngeblog*

(Gw lagi di Periode Emas di mana libur lebaran baru dimulai, tapi gw belom mulai bersih2 rumah. Jadi ada kesempatan ngeblog lagi).

Anyway, ini BUKAN tentang “13 Reasons Why”! Yeeee, salah tebak kaaaan.

Jadi semalem adalah saat jarang di mana gw sendirian aja di rumah, dan bisa binge-ing Netflix. Kesempatan ini gw pake untuk mengejar seri2 lama, dan semalam gw ‘kejar nonton’ seri Spartacus.

Saat nonton, gw sadar kelakuan gw sendiri: gw nonton gak konsen. Gw nonton sambil maen hape. Pikir gw, kalo toh ada adegan penting yang kelewat, gw tinggal rewind aja lagi ke adegan tadi. Inilah niqmatnya streaming di mana kendali sepenuhnya di tangan gw. Tetapi akhirnya gw menyadari sesuatu dengan perilaku ini:

Gw sebenarnya banyak banget kehilangan adegan/cerita dari seri yang gw tonton

Setiap ada adegan yang gw rasa ‘membosankan’ (dialog karakter misalnya), dengan entengnya gw maen hape aja, nyari2 twitwar, atau review smartphone terakhir. Saat adegan ‘kembali seru’, baru gw nonton lagi. Tapi banyak adegan yg gw lewatkan sebenarnya adalah dialog-dialog penting untuk bisa mengapresiasi ceritanya.

‘Kendali penuh’ nonton streaming ini sebenarnya kendali atau justru merampok kita dari fokus menikmati sebuah cerita ya?

Gw bandingkan dengan perilaku gw nonton bioskop. Karena menonton bioskop gak bisa di-rewind sesuka hati kita, ya gw jadinya nonton bener. Bahkan kalo adegan sangat membosankan pun palingan gw hanya ngomel ke pasangan, tapi ya tetep diliat (Btw, gw sangat sangat hampir tidak pernah ketiduran di bioskop,,,,,) “Tanpa kendali” justru membuat gw lebih bisa menikmati, minimal memperhatikan film yang sedang diputar. (Kecuali elo masuk golongan penghuni kerak neraka yang ngebuka hape di tengah film sehingga sinar dari layar mengganggu penonton lain).

Jadi kepikir, apakah kematian justru adalah sahabat kita?

Kita adalah spesies yang terobsesi dengan kematian kita sendiri, dan kita berjuang mati-matian melawan kematian dengan ilmu pengetahuan medis. Kalau bisa, imortalitas bisa akhirnya tercapai. Sejak kecil, kematian, sang maut, Death, dianggap sosok yang menakutkan, yang akan mencabut kita dari segala kesenangan dunia.

Mungkinkah kematian yang tidak bisa dikendalikan membuat kita menikmati hidup bagaikan nonton di bioskop, bisa lebih fokus? Sebaliknya, jika kematian (akhirnya) kita taklukkan, maka hidup layaknya nonton Netflix. Memang kendali di tangan kita, tetapi pada akhirnya kita tidak sepenuhnya menikmatinya karena mikir, “Ah santai, selalu bisa diulang lagi kan?”

Kesadaran bahwa hidup tidak bisa di-rewind semudah Netflix, dan bahwa hidup itu finite, ada batasannya, justru membawa manfaat fokus dan memperhatikan saat ini, the present. Harusnya.

Kebetulan gw saat ini sedang mempelajari tulisan-tulisan filsafat Yunani/Romawi kuno yang disebut “Stoicisme”. Para filsuf Stoicisme menunjukkan sikap yang berbeda terhadap kematian. Kematian sama sekali tidak perlu ditakuti, karena dianggap bagian dari hukum Alam. Dan jika ia bagian dari Alam, maka ia tidaklah buruk. Sebaliknya, pengetahuan akan adanya “akhir” membuat para filsuf Stoic sangat menekankan pentingnya hidup yang masih “dipinjamkan” ke kita. Ada urgensi untuk hidup dengan sebaik-baiknya dengan kebajikan, mumpung masih hidup.

Jika suatu hari manusia menaklukkan Sang Maut dan meraih imortalitas, gw gak yakin apakah itu berkah atau justru kutukan. Mungkin kita justru malah mengusir sahabat terbaik yang bisa membuat kita untuk benar-benar hidup, sepenuh-penuhnya. Tanpa kendali yang justru merampok kita.

(Okeh, Periode Emas berakhir, Saatnya bersih-bersih rumah dan ngurus anak lagi…)

3 Comments »

  1. om i would love to read more. anyways, been asking for book recommendations on twitter, om bales tp gak ngasih judulnya 😦 i’m currently attempting to read more non fiction books these days. do you have any book recommendations specifically about life? kayak tulisan om ini temanya interesting bgt buat q….. thanks in advance om. you’re my ideal type 😦

  2. beberapa hari lalu saya bercerita kepada bberapa orang terdekat saya perihal mati, bahkan sampai ke bagaimana saya menginginkan akan dimakamkan sperti apa. saya sudah mulai untuk tidak tabu berbicara mengenai mati, bahkan ke anak kecil sekalipun.

    saat ini, saya menganggap mati itu ya siklus. jadi, ya jalani saja. siap nggak siap.
    tetapi, entah kalau pemikiran saya ini berubah misalnya kalau saya nanti sudah menikah lantas punya anak. bisa jadi saya akan mati-matian berharap umur saya diperpanjang. Hehe..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s