“Saya Minta Maaf Kepada Indonesia”

Akhirnya proses Pemilihan Presiden negeri kita selesai juga kemarin, 22 Juli 2014. (Oke, tergantung definisi “selesai” apa sih, karena ada yang belum mau menerima hasil kayaknya. Tapi “selesai” di sini adalah sampai tahap pengumuman resmi KPU). Mau share sedikit aja perspektif pribadi gw selama proses pilpres ini. Gw mendukung dan memilih Jokowi, dan mungkin banyak teman yang sudah tahu. Tetapi yang mungkin tidak banyak tahu, gw aslinya bukan “fans” Jokowi beneran. Sewaktu pilgub DKI, gw memilih beliau simply karena gw udah bete dengan incumbent Foke dan gak mau dia lanjut lagi. Dan di pilpres ini, yang “mendekatkan” gw kepada Jokowi justru adalah majunya Prabowo sebagai kandidat capres. (Untuk alasan lebih detail, ada di blog post gw sebelumnya “We Get The Leader We Deserve”) Tetapi yang lebih sedikit lagi orang tahu adalah, bahwa menjelang hari pemungutan suara, gw sudah pesimis bahwa Jokowi akan menang. Gw hanya berani ngomong ini ke beberapa teman dekat saja. Pesimis? Kok bisa? Bisa banget. Gw sudah putus asa melihat gempuran black campaign yang sudah absurd, dengan segala isu SARA, sampai PKI segala. Pikir gw, pasti banyak rakyat yang akan termakan fitnah seperti ini, seberapa absurd sekalipun. Apalagi setelah gw mendengar banyak kisah orang sekitar yang percaya dengan fitnah-fitnah tersebut. Gw sudah putus asa melihat koalisi parpol raksasa yang berkumpul di belakang Prabowo-Hatta. Semuanya “petinju kelas berat” semua. Ketika mendengar bahwa Partai Demokrat pun bergabung, tambah putus asa-lah gw. Mana mungkin ada kans melawan gabungan mesin partai […]

Read More →

“We Get The Leader We Deserve”

Dulu gw pernah baca sebuah quote: “In a democracy, people get the leader they deserve” (terj.: dalam sebuah demokrasi, rakyat mendapatkan pemimpin yang memang layak bagi mereka). Karena dalam negara demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat (dengan asumsi pemilu bersih dan fair). Mungkin kalo bisa gw rephrase, quote tadi bisa dibaca: “In a democracy, the elected leader reflects the people” Jadi […]

Read More →

“Marketingnya Jokowi Payah!”

Sebagai pelaku dunia advertising, namanya iklan dan kampanye merek apa aja pasti dlilihatin dan dibahas. Bahkan iklan Mastin sekalipun, walaupun akibatnya jingle sialan itu nempel di kepala (“KABAR GEMBIRA UNTUK KITA SEMUA…KULIT MANGGIS, KINI ADA EKSTRAKNYAAAA….” Aaaaaaaargghhh!!!) Kampanye capres pun tidak luput dari perhatian gw. Dan salah satu yang bikin gemes adalah kampanye capres Jokowi-JK. Kenapa? Karena menurut gw kampanye […]

Read More →

Memilih, Golput, dan “Jalan Ketiga”

Pemilu legislatif sudah tinggal beberapa hari lagi. Di social media pun ramai memperbincangkan apakah golput atau nggak. Yang pro golput nafsu dan berapi2 menolak memilih. Yang mengajak agar tidak golput pun juga sama napsunya. Pokoknya bulan ini bulan penuh hawa napsu. Loh. Mari kita mendengar argumen untuk golput. Sebagian besar argumen golput adalah skeptisisme terhadap partai, atau bahkan keseluruhan dunia politik di Indonesia. Semua partai dan caleg dianggap kacrut, korup, dan rampok. Jadi what’s the point memilih? Sebaliknya mereka yang mengajak untuk memilih berusaha meyakinkan, masih ada caleg yang baik, masih ada “orang baik” yang bisa dipilih. Bahkan ada yang bernada intimidatif, “Kalo golput gak usah komen soal pemerintah nanti!”. Galak cuuy…. Saya pernah menganalogikan bahwa memilih di antara semua pilihan yang jelek ibarat mau menikah. Kalau semua calon suami jelek, masak memaksakan menikah? Harusnya menikah karena memang bertemu calon yang beneran dianggap oke, iya kan? (Eh maaf kalo analogi ini menyinggung, ada yang berasa. Jeng jeng…) Ketika gw mengutarakan analogi di atas di Twitter, ada jawaban follower yang menarik. Kira2 dia berkata seperti ini: “Analoginya gak pas, mas. Kalau di Pemilu, biarpun kita gak memilih, TETEP AJA KITA DINIKAHKAN” Okeh. Doi bener juga sik. Ahaha aha ha. (Ketawa getir). Di pernikahan pada umumnya, kalau memang kita tidak mau, ya tidak jadi menikah. Di Pemilu, kita nggak mau memilih pun, ya ujung2nya “tetep menikah”, karena toh kita akan hidup di bawah pemerintahan yang baru. (Kecuali kita niat banget hijrah ganti […]

Read More →

Antara Perintah Atasan, Leonidas, dan Nuremberg Principles

Dalam beberapa kesempatan, gw sering bertanya kepada teman/keluarga, apakah punya masalah jika ada pejabat pemerintahan yang tersangkut dengan pelanggaran HAM. Yang menarik, banyak yang menjawab: “Ya nggak apa2. Toh pelanggaran tersebut dilakukan bisa jadi karena taat pada perintah atasan“. Gw jadi mikir soal “taat perintah atasan” ini. Banyak orang yang tampaknya bisa memaklumi pelanggar HAM ketika dibungkus dengan dalih ini. Kita semua mengerti bahwa dalam dunia militer, ketaatan pada atasan adalah fondasi penting. Militer bukan demokrasi. Chain of command harus dijaga. Kalau setiap perintah atasan militer harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, bisa keburu dibom sama musuh. Bahkan sejak jaman Sparta gw yakin kejadiannya gak kayak gini: Raja Leonidas pada 299 pendekar Sparta six-pack lainnya: “Eh guys, kita diancem sama Raja Xerxes nih. Baiknya gimana ya bro menghadapi ini?” Pendekar Sparta no. 129: “Das, kita obrolin dulu antar kita2 sambil ngupi2. Ke Sevel dulu kita?” Pendekar Sparna no. 65: “Bentar, kenapa kita gak musyawarah dulu mau ngupi2 di mana?” Kagak kan? Raja Leonidas langsung nendang si utusan Xerxes malang ini ke lobang galian Pemda, dan menyatakan perang: INI SPARTAAAAAA NYEEEETTTT, dan doi langsung didukung pasukan six-packnya tanpa ragu. Itulah rantai komando, yang didasari pada ketaatan akan otorita di atasnya. Jadi bagaimana dengan seorang pejabat/militer yang melakukan pelanggaran HAM karena disuruh atasannya? Apakah berarti dia bisa dimaklumi? Kan dia hanya menjalankan perintah atasan? Gw jadi inget soal Pengadilan Nuremberg (The Nuremberg Trials – artikel Wikipedia di sini). Ini adalah seri pengadilan yang mengadili […]

Read More →

Mengapa Gw Terusik Dengan “Tes Keperawanan”

Kemarin saya membaca berita tentang rencana melakukan tes keperawanan di SMA (link berita di kompas.com: http://regional.kompas.com/read/2013/08/19/2212178/Siswi.SMA.di.Prabumulih.Wajib.Tes.Keperawanan). Alasannya karena marak praktik mesum atau prostitusi oleh siswa. Bahwa pemerintah (pusat atau daerah) sering mengeluarkan ide-ide absurd dan bodoh mungkin bukan sesuatu yang baru. Ada ide-ide aneh yang memang lahir dari keterbatasan fungsi otak pejabat tertentu. Tetapi ada juga ide-ide yang sebenarnya sangat “logis” dari perspektif mereka (misalnya, bisa memperkaya kantong sendiri atau kantong partai). Saking seringnya mendengar soal ide-ide kebijakan bodoh atau licik ini, gw sampai udah terbiasa. Dengan kata lain, sudah kebal/baal, sampai tidak merasakan apa-apa lagi. Tetapi entah mengapa untuk wacana yang satu ini, jujur gw merasa terusik. Mengapa? Beberapa alasan: Asimetri gender. Lagi-lagi, wanita berada dalam posisi dipojokkan. Mengapa hanya status keperawanan yang harus diuji? Mengapa tidak keperjakaan? Mengapa wanita wajib menjaganya, tetapi pria tidak? Gw yang pria aja merasa marah mendengarnya. Ini hampir sama dengan kasus perkosaan tetapi yang disalahkan wanita (dengan alasan: karena busananya “mengundang”, atau gerak-geriknya “genit”). Wanita ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah karena dia wajib menjadi obyek “pemeriksaan”, tetapi pria tidak. “Tetapi pria kan tidak bisa dites keperjakaannya?” Betul! Supaya fair, jangan juga mengetes keperawanan wanita dong? Violation (gw gak ketemu terjemahan yang pas buat kata ini) dari bagian terprivat wanita. Keperawanan dan kemaluan wanita adalah hal terpribadi milik wanita tersebut, dan tidak selayaknya dilihat, diobok-obok oleh orang lain tanpa seijinnya. Jika ini dilakukan oleh agen negara, maka seharusnya sudah masuk pelanggaran HAM. Terkait […]

Read More →

Perjalanan ke Batu – Bagian 2

Oke, ini lanjutan sharing kisah perjalanan ke Batu, Jawa Timur dari posting sebelumnya. (klik di sini untuk Perjalanan ke Batu – Bagian 1) Hari kedua. Terbangun bukan hanya karena sinar matahari yang menyusup masuk ke kamar, tetapi karena mendengar suara-suara lenguhan aneh yang belom pernah gw dengar sebelumnya. Lenguhan aneh itu tidak datang dari kamar sebelah, tetapi dari luar. Inilah […]

Read More →

Tentang Menulis Dan Cibiran Itu [Lanjutan]

Mau melanjutkan postingan yang sebelumnya ah…. Gw memperhatikan fenomena maraknya penulis-penulis baru yang lahir seiring dengan populernya media sosial, khususnya Twitter. Dari timeline yang gw ikuti, banyak yang sudah menerbitkan buku sendiri, baik itu perorangan, maupun secara kolaborasi. Kalau gw jalan-jalan ke toko buku, gw melihat beberapa buku dengan cover yang menunjukkan bahwa penulisnya berangkat dari Twitter (biasanya ada gambar burung. Burung Twitter ya, bukan burungnya penulis…) Pendapat gw pribadi soal fenomena ini? BAGUS BANGET. Bahwa semakin banyak penulis muda menerbitkan buku, dan banyak penerbit yang mau mendukung mereka, adalah hal yang sangat positif. Menulis terkait dengan kebiasaan membaca, dan yang satu mempengaruhi yang lain. Semakin bersemangat kegiatan menulis, seharusnya mendorong juga kebiasaan membaca. Dan sebaliknya. Apalagi gw pernah membaca bahwa kebiasaan bangsa Indonesia membaca buku masih sangat rendah. Jadi kalau ramainya Twitter menghasilkan penulis-penulis muda baru, bagi gw ini adalah hal yang menggembirakan. (Walaupun gw pribadi tidak menyukai buku yang isinya ‘plek ketiplek’ hanya copy paste dari Twitter. Mungkin gw old-fashioned, tetapi bagi gw sebuah ‘buku’ adalah medium untuk bertutur yang lebih panjang, elaborate, dan lebih dari sekedar kumpulan ‘kicauan 140 karakter’. But that’s just me). Yang bikin gw heran adalah adanya sikap sinis terhadap fenomena di atas. Gw inget sebelum akhirnya ‘Cinta Tidak Harus Mati’ terbit, gw sempet woro-woro di Twitter bahwa gw akan mengeluarkan buku. Walaupun banyak yang memberikan support, gw juga mendapatkan beberapa komentar sinis. “Ah, ternyata oom Piring gak beda dengan yang lain, ikut-ikutan bikin buku juga” adalah […]

Read More →

Tentang “Meremehkan”

Akhirnya Pilkada DKI selesai sudah. Hari pemilihan bagi gw terasa seru. Bagaikan perang besar Bharatayudha, dua kelompok besar yang sama kuatnya (minimal menurut survey Tempo) bertarung. Dan sampai saat ini, hasilnya pun terasa mengejutkan. Pasangan challenger Jokowi-Ahok menang atas incumbent Foke-Nara, walaupun tidak terlalu jauh. Gw gak bakal menganalisa penyebab kalah-menang. Toh dalam hitungan detik ketika Quick Count mulai berjalan, ratusan analisa mengalir dengan derasnya di berbagai media. Dari yang becandaan (“Ahok menang soalnya kiyut!”), sampai yang serius (“Gara-gara swing voters di menit terakhir mendukung Jokowi. Ngomong-ngomong, swing voters itu apa?”). Gw lebih tertarik dengan fenomena di antara banyak orang. termasuk gw sendiri, yaitu “meremehkan”. Waktu putaran pertama, gw jujur sudah agak pasrah bahwa Foke akan menang lagi. Kenapa tidak? Doi adalah incumbent, sehingga namanya jauh lebih dikenal. Doi juga punya budget yang kencang (yang sayangnya disalurkan dalam bentuk lagu + videoklip terkutuk “Fokelah kalau begitu”. Eh, mungkin itu penyebab kalah ya?) Tapi di balik sikap “pasrah” ini, justru tersembunyi sikap meremehkan. Gw meremehkan begitu banyak orang yang menginginkan perubahan. Dan hasilnya: Foke gagal menang satu putaran. Foke kaget. Dan gw pun ikutan kaget. Jokowi-Ahok mampu mengalahkan Foke-Nara, dan pilkada harus lanjut ke putaran kedua. (ada satu kaget “kecil” gw yang lain, yaitu bahwa pasangan Faisal-Biem dengan dana iklan/promosi yang begitu minim, bisa mengalahkan pasangan Alex-Nono yang gencar beriklan. Tapi ini topik lain lagi) Menjelang putaran kedua, mendadak berhembus kencang isu SARA. Terdengar himbauan agar jangan memilih pemimpin yang non-Muslim, atau […]

Read More →