Review Awam: Pilkada DKI, Takut Kumis, dan Underdog

Review awam kembali lagi! Kalo biasanya gw “review awam” smartphone, kali ini gw mau “review awam” Pilkada DKI ah. Jujur gw terinspirasi tulisan Pandji “Jakarta Untuk Warga” (ini udah copy-annya di kaskus, soalnya tulisan di blog asli Pandji sering down karena terlalu banyak yang akses). Jadi gw pengen ikutan share. Kenapa penting banget gw nyebutnya “review awam”? Karena gw memang hanya orang awam. Gw gak pinter politik, ataupun membaca/menonton topik2 politik. Gw cuma warga DKI biasa, yang lebih hobi nonton infotainmen nungguin berita Anang, Syahrini, Jupe, atau Anisa Chibi, daripada nonton acara politik. (Kecuali kalo ada Ruhut Sitompul dan Hotman Paris, karena nonton mereka menghibur banget! :D). Gw cuma tahu sedikit2 aja soal cagub, sebatas kapasitas gw sebagai warga biasa pemerhati girlband pada umumnya. Artinya: “review awam” ini harus dibaca dengan mikir dan kritis, jangan diinterpretasikan sebagai tulisan kaum ahli. Silahkan baca tulisan2 mereka yang lebih ngerti situasi supaya lebih pinter. Kalo gw sih, pengen share opini awam ajah. Okeh? 🙂 Pertama2, gw pengen bilang: Gw udah pasti gak mau milih Foke. Alasan gw udah kapok sama Foke? Lebih dari sekedar banjir dan macet. Gw ngerti kalo banjir itu masalah kompleks, gak bisa cuma nyalahin Pemda DKI. Ada faktor cuaca kadang2, dan penggundulan kawasan Puncak, Bogor juga pasti ada pengaruhnya. Soal macet, emang gw kesel banget, tetapi toh gw juga ikutan kontribusi dengan memakai mobil pribadi dan tidak memakai angkutan umum (karena gw takut dicopet, dijambret, dan dicolek). Tetapi alasan gw kapok […]

Read More →

Bertemu Tuhan dengan Menghalangi Pencari Tuhan Lainnya

Jadi ceritanya malming ini gw lagi ngadmin Survey Jomblo Nasional 2012, tapi kemudian baca twitnya Om Todung Mulya Lubis mengenai penutupan 20 gereja di Aceh. Gw cari di google terus ketemu beritanya di sini Jujur gw sedih. Bukan hanya karena gw kebetulan berstatus pemeluk agama Kristen, jadi bisa berempati. Tapi juga sedih dengan kondisi negara ini. “Religious persecution”, atau ‘penganiayaan agama’, sudah bukan barang baru akhir2 ini di Indonesia. Dari kasus GKI Yasmin, Ahmadiyah, sampai kasus gereja di Aceh ini. Sering ‘dikemas’ dengan kata2 indah seperti “masalah perijinan”, “tidak sesuai dengan masyarakat sekitar”, dll, tetapi “religious persecution” ya religious persecution, dengan nama apapun. Yang bikin gw sedih adalah, trend ini benar-benar pergerakan mundur dari sebuah “civil society”. Di berbagai belahan bumi lain, di negara2 maju, hak-hak beragama dari mayoritas maupun minoritas dilindungi. Ketika dua tahun lalu sebuah mesjid akan dibangun di dekat situs 9-11, di tengah kritikan keras, Obama tegas pada pendirian bahwa mesjid tersebut berhak untuk didirikan (berita di sini). Itulah contoh sikap yang beradab abad 21. Membenci, mendiskriminasi pemeluk agama lain, bagi gw adalah sebuah perilaku yang luar-biasa purba, tidak beradab, dan harusnya tidak memiliki tempat di abad 21 ini. Ironis sekali, bahwa ketika bangsa Indonesia menikmati kemajuan ekonomi yang sangat baik, standar hidup meningkat, kelas menengah tumbuh, banyak yang punya smartphone, dan tablet,tapi pola pikirnya masih “prasasti”, alias purba. Kita membiarkan sekelompok kecil penjahat dengan agenda mereka mempertentangkan golongan2 dalam masyarakat secara horizontal. Gw udah bosen nulis ini, […]

Read More →

“Indonesia Tanpa Kekerasan” Yang (Seharusnya) Tidak Perlu

Sore ini TL Twitter lagi ramai soal Aksi Indonesia Tanpa Kekerasan (sebelumnya sering juga disebut ‘Indonesia Tanpa FPI’). Gw salut sama teman-teman Alissa Wahid dkk. yang menggunakan haknya bersuara, untuk mewakili keresahan banyak orang Indonesia akan konflik horizontal dan kekerasan semena-mena yang dilakukan oleh ormas. Menarik untuk dianalisa adalah perubahan dari ‘Indonesia Tanpa FPI’ menjadi ‘Indonesia Tanpa Kekerasan’. Secara pribadi, gw tidak setuju dengan pembubaran FPI. Walaupun gw sangat mengerti argumen yang pro pembubaran (karena track record yang buruk, banyak sekali jumlah kekerasan yang terjadi di sekitar kehadiran ormas tersebut), secara prinsipil gw tidak setuju dengan pembubaran. Alasannya ada 2 macam: alasan pragmatis, dan alasan prinsipil. Secara pragmatis, gw tidak melihat manfaat signifikan jika FPI dibubarkan. Karena bubar satu tinggal didirikan lagi sepuluh yang baru. Ganti baju itu masalah mudah kok. Memang ada argumen “Tapi ini kan sinyal bahwa organisasi yang nakal jangan main-main, bisa dibubarkan”. Tapi argumen ini juga mudah dipatahkan dengan ‘reinkarnasi’ yang cepat dan mudah, yang justru bisa kontraproduktif (“Tuh kan rusuh itu gampang, abis dibubarin, kita bikin baru aja cyiin…”) Secara prinsipil, gw tidak setuju dengan pembubaran organisasi, karena menurut gw yang naif ini, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi muda seperti Indonesia. Jika ‘mereka’ bisa dibubarkan, maka ‘kami’ pun juga bisa dibubarkan, gampang kan? Sebagai pro-demokrasi, menurut gw hak berkumpul dan berorganisasi harus dilindungi dan berlaku untuk semua (kecuali jelas-jelas menentang ideologi negara/merencanakan makar). Sebagai seseorang yang pernah hidup di, uhuk, era Orde Baru […]

Read More →

Garuda di Timelineku!

“Jadi sekarang elu suka bola, Ring?” Beberapa kali gw dapet pertanyaan itu di Twitter, secara gw jadi sering nonton Timnas dan meramaikan timeline, padahal gw pernah bilang bahwa gw gak suka sepak bola (90 menit nonton 22 LAKI2 ngejer2 bola? Mending gw nonton K-Pop…) Well, kenyataannya, gw masih gak suka bola sih. Tapi pengecualian buat Timnas. Analisa atas diri sendiri gw sih simple aja. Gw banyak kecewa dengan negera ini, dari presiden, menteri, wakil rakyat, penegak hukum, dll, gak ada yang bener ngerjain tugasnya. Biarpun gw gak suka bola, tapi kalo TimNas tanding, apalagi sampe menang, rasanya seperti pelarian sesaat dari carut-marut pemerintahan. Tetapi selain untuk mengobati kekecewaan, TimNas juga punya ‘magic’ lain, yaitu mempersatukan kita, baik di dunia nyata maupun di dunia online. Ambil Twitter contohnya, yang sehari-hari isinya sering nyinyir atau berdebat satu sama lain, dari yang politik (partai ngehe vs. partai sompret), penyanyi (tim Geisha vs. tim Vierra – eh ini ciptaan gw doang ya? :p), yang pro dan kontra LDR (pacaran jarak jauh itu loh), sampe urusan gadget (Apple vs. Blackberry vs. Stroberi kali…) Apa juga bisa diperdebatkan, dan menciptakan kubu-kubu. Tetapi kalo TimNas lagi beraksi, tiba-tiba semua menjadi satu, mendoakan, dan bersorak-sorai buat para “local heroes” kita. Semua perbedaan dihentikan untuk 90 menit, dan semua mengutuki siapapun yang jadi lawan kita. Jadi benar kata orang, kehadiran musuh bersama (common enemy) itu mempersatukan. Kalau musuh bersamanya hilang, byar bubar semua, berantem lagi sendiri-sendiri. Begitu gak ada TimNas, para […]

Read More →

17 Agustus Bukan Kemenangan Atas “Penjajah”

Hari ini 17 Agustus, HUT RI ke 66th (kebetulan HUT gw juga sih, tapi gak perlu membuka umurlah, ihiy) 17 Agustus seringkali diidentikkan dengan kemenangan atas penjajah. 3.5 abad oleh Belanda dan 3.5 tahun oleh Jepang, dan akhirnya kita berhasil “mengalahkan” mereka semua. Biasanya lengkap dengan retorika bambu runcing melawan senjata lengkap penjajah. Tapi di hari ini, gw mau mengambil posisi yang mungkin “kurang populer”. Gw mau bilang, 17 Agustus BUKANLAH hari kemenangan atas penjajah. Sebelum gw dimaki2, (atau worse, diunfollow di Twitter :p),  ijinkan gw menjelaskan posisi gw. Ada 2 alasan kenapa gw gak merasa 17 Agustus itu momen menang atas penjajah. Alasan pertama adalah common sense, alasan kedua nanti gw bahas. Menurut gw sih, 17 Agustus 1945 itu kita tidak “mengalahkan penjajah”, karena kita mendeklarasikan kemerdekaan dalam “window of opportunity” Jepang yang sedang babak belur dibom atom, dan sekutu yang belum terlalu mikirin kita. Ingat gw hanya komentar soal 17 Agustus-nya ya, bukan pertempuran2 sebelum dan sesudah-nya. Intinya, 17 Agustus tidak diperoleh karena kekuatan militer kita memukul mundur penjajah secara telak. Tapi alasan di atas buat gw sepele, bukan utama. Alasan kedua gw bahwa 17 Agustus itu bukan kemenangan atas “penjajah”, adalah justru karena hari itu adalah kemenangan atas hal-hal lain, yang jauh lebih besar. 17 Agustus 1945, adalah satu titik kulminasi dari proses panjang sebelumnya, dan di dalam proses panjang ini, kita berhadapan dengan musuh-musuh yang jauh lebih berat dari semua penjajah dan persenjataannya. Di tanggal 20 […]

Read More →

Garuda Di Dadaku, Bendera Malaysia Di Tanah Airku

Kemarin ada berita agak mengejutkan di TV. Seorang kepala desa (Desa Mungguk Gelombang) di Kalimantan Barat yang tinggal di perbatasan mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia. Alasannya: pemerintah pusat tidak memperhatikan nasib mereka. Jalan darat penghubung ke kota yang penting untuk penghidupan mereka sudah lama rusak berat. Selain itu, pemerintah Malaysia sering memberikan bantuan dan rayuan manis manja (halah…), sampai membangun sarana air bersih bagi mereka. Mungkin dulu saat lebih muda (uhuk), gw akan cepat marah terhadap ancaman kepala desa itu. “APA? PENGKHIANAT! KIRIMKAN PESAWAT TEMPUR, TANK, & IVAN GUNAWAN UNTUK MENUMPAS MAKAR!!” Tetapi sekarang, gw mencoba melihat masalah ini tidak secara hitam-putih lagi. Jangan salah, gw tetap fanatik NKRI. Menurut gw Indonesia ini negara besar dan kaya, yang kalau bersatu dan dijalankan oleh pemerintah yang ‘bener’ bisa menjadi kekuatan ekonomi besar di regional Asia Tenggara. Dan gw mencintai negeri tempat gw dilahirkan ini. Hanya saja dalam kasus Kepala Desa Mungguk Gelombang di atas, gw mencoba empati dengan situasi yang dihadapi. Kalau gw di posisi mereka, di mana gw jarang (atau bahkan tidak pernah) merasakan perhatian atau pembangunan dari pemerintah, maka wajar gw bertanya, “Buat apa pemerintah?” Apalagi ada pemerintah “lain” yang memberikan bujuk rayu manis, semanis Upin & Ipin (dengan asumsi Upin & Ipin bisa dibilang manis. Gw bilang sih kayak oversized Tuyul. Dan kenapa juga pembahasan jadi melenceng ke sini….) Dan gw jadi memikirkan ulang konsep “Nasionalisme”. Nasionalisme, dalam perspektif sempit, seringkali diartikan sebagai “cinta satu arah seorang warga negara kepada negerinya”. […]

Read More →

Ibu Siami, dan Kejujuran Yang Terusir Itu

Shock membaca, dan menonton, berita tentang Ibu Siami. Seorang ibu yang berani menentang dan mengungkapkan ketika sekolah putranya malah menganjurkan melakukan “nyontek massal”. Alih-alih dibela, justru Ibu Siami dicerca oleh warga sekitar, dan bahkan sampai DIUSIR dari tempat mereka tinggal. Dalam wawancara dengan MetroTV, Ibu Siami berkata bahwa ia terpaksa mencari kontrak atau kosan karena tidak berani kembali ke rumahnya. (Buat yang belum tahu: klik di sini: Nasib Ibu Siami) Bagi gw, pejabat, aparat, atau wakil rakyat korupsi, mencuri, bertindak tidak etis – itu sudah hal biasa. Juga sudah biasa kalau mereka berusaha membungkam pihak-pihak yang mau membongkar kebusukan itu. Namanya juga penjahat, ya wajar tidak mau ketahuan. Tetapi yang membuat gw shock adalah, bahwa WARGA SETEMPAT justru mendukung tindakan mencontek massal tersebut, dan bahkan menganiaya pihak yang mau menyuarakan dan memperjuangkan hal yang benar. Ini baru luar biasa. Selama ini kita terbiasa dengan dikotomi Kebaikan vs. Kejahatan, dengan meletakkan masyarakat sebagai “Kebaikan”, dan para koruptor, wakil rakyat penjahat, teroris, pengusaha hitam, dan pemerintah zalim sebagai “Kejahatan”. Masyarakat adalah korban, kaum teraniaya, melawan sekelompok setan  jahat. Maka gw pun shock berat kali ini, ketika justru “masyarakat” terang-terangan berusaha menindas suara jujur, suara yang melawan praktik yang salah. Ada apa dengan “masyarakat”? Teori pertama berkata, ini semua salah pemimpin. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Karena rakyat hanya meneladani pemimpinnya. Pemimpinnya korup moral, maka wajar kalo rakyatnya korup moral juga. Gw percaya bahwa ada efek “teladan pemimpin”, tapi menurut gw ini […]

Read More →

Calon Pemimpin Impian – Sebuah Rekaan Perjalanan

Punya presiden yang tidak decisive, ribet dengan citra diri sendiri. Bendahara partai yang katanya hobi ninggalin amplop. Menteri yang gak becus dan hanya menjalankan agenda partai/pribadinya. Calon bupati yang ‘murah hati’ bagi-bagi uang sedekah menjelang pilkada. Ah, hanya serangkaian kecil dari begitu banyak masalah politik sehari-hari di negeri ini. Berhubung melihat realita negeri ini hanya bikin kheki (eh, kalian yang muda masih tau kata “kheki” gak sih? :D), mendingan gw berkhayal aja deh. Gw mau mengkhayalkan seorang politisi yang asik dan ideal, seorang politisi “impian” menurut standar gw. Dan karena gw bego politik, tentunya ini hanya rekaan asal saja, tidak perlu dibahas serius 🙂 Si politisi impian ini (gimana kalo kita kasih nama “Mas Boy”? :D) termotivasi masuk politik karena gabungan semua emosi negatif: SEDIH, KECEWA, MARAH, DAN IRI-HATI. Mas Boy sedih, karena melihat bangsa ini begitu besar, begitu banyak potensi, tapi justru lebih lemah dibanding tetangga-tetangganya. Kecewa, kecewa dengan pemerintahan sekarang yang tidak berpihak pada rakyat. Marah, dengan korupsi yang semakin tidak tahu malu, dengan wakil rakyat yang sibuk jadi calo dan jalan-jalan ke luar negeri. Iri hati, dengan para bapak/ibu bangsa, yang lebih muda dari Mas Boy tapi sudah berkarya begitu banyak untuk negeri. Mas Boy masuk dunia politik karena terusik. Bukan karena melihat kesempatan mengejar duit dan takhta. Mas Boy datang dari keluarga yang mengajarkan anak-anaknya sejak kecil tentang pentingnya memberi sesuatu ke dunia, bukan bagaimana mengambil sesuatu dari dunia. Materi penting, tetapi reputasi dan hati nurani […]

Read More →