Prasangka (Buruk) Yang Baik – Catatan Pilkada DKI Bagian 2

Melanjutkan dari Catatan Pilkada DKI Bagian Pertama…. Seusai Pilkada DKI, gw memperhatikan beberapa macam respon dari pihak pendukung petahana. Beberapa bersifat sportif, mengucapkan selamat dan mengakui kemenangan sang pemenang. Ada yang menolak memberi selamat, dengan berbagai alasan (umumnya karena merasa kemenangan diperoleh dengan cara-cara yang tidak etis, seperti isu agama/fitnah). Ada juga yang sifatnya memberi prediksi, dengan bunyi respon/komen kira2 seperti ini: “Mulai sekarang kita akan masuk era kegelapan dikuasai kelompok intoleran…” “Siap-siap semua pembangunan Jakarta akan mangkrak!” “Korupsi akan merajalela kembali begitu Ahok pergi” dan lain-lain dengan beberapa variasi. Kesamaan dari respon2 jenis ini adalah prediksi tentang masa depan Jakarta yang suram di bawah Anies-Sandi. Dan prediksi ini bersifat absolut, “Jakarta nanti akan [masukkan semua ramalan suram dari korupsi merajalela, intoleransi, sampai kita dijajah ras alien superior dari planet Krypton]“ Dengan kata lain, sebagian respon pasca Pilkada adalah prasangka (buruk) terhadap pemenang Pilkada. Sebelum ada yang mencaci mereka yang memiliki prasangka buruk di atas, menurut gw kita harus menyadari bahwa prasangka itu bagian normal dari kemanusiaan kita sehari-hari. Termasuk prasangka buruk. Gw jamin setiap hari kita semuanya memiliki prasangka, termasuk yang buruk. Saat baru berkenalan sama orang, kita sudah otomatis secara insting membentuk prasangka (“Meh, kayaknya orangnya basi”, “Hmm, cantik nih, pasti hatinya juga baik”, dll). Urusan milih angkot dan kursi di busway/kereta juga ada prasangka-nya (“Ewwww, cowok itu kayaknya belom mandi 3 bulan purnama, males ah duduk di sebelah dia”). Sama juga soal menilai film baru atau restoran baru. (“Transformer baru pasti katrok”, “Pasti makanan […]

Read More →

Antara Memilih Gubernur dan Calon Suami – Catatan Pilkada DKI Bagian 1

Pilkada DKI berakhir sudah. Ibukota Indonesia akan memiliki pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Gw mengucapkan selamat kepada pasangan Anies & Sandi. Dan demi semangat kekinian, rasanya kurang afdol kalau “blogger” tidak ikut menulis soal Pilkada, maka gw akan menuangkan sedikit pikiran gw, dalam dua bagian. Selain demi kekinian, juga mungkin tulisan ini kelak bisa dibaca anak gw. Sebagai catatan […]

Read More →

Review Awam Jadi Ayah di Usia 40an – Part 1

Kali ini, saya mau review awam sesuatu yang bukan gadget. Kali ini, saya mau review bagaimana rasanya jadi ayah di usia 40-an. Disclaimer review awam saya tetap sama seperti biasa. Ini hanya lah review dari seorang ayah biasa. Bukan pakar keayahan, bukan dokter obgyn, apalagi bidan. Jadi semua opini di sini harus dibaca dengan kritis, dan dibandingkan dengan masukan para pakar di bidangnya. Okay? Sebelum saya mereview tentang apa rasanya menjadi ayah, mungkin baiknya saya awali dengan keputusan memiliki anak. Jadi, ceritanya saya dan istri memutuskan untuk memiliki anak. Mungkin ada yang bertanya, kok, pake diputuskan segala? Bukannya ini sesuatu yang otomatis ya? Bukannya punya anak bagi pasangan menikah itu se-otomatis kalo beli MacBook baru harus diporotin beli segala dongle baru? Bagi kami, memiliki anak itu keputusan sadar. Jadinya harus dibicarakan sebelum menikah. Karena kami harus memikirkan apakah kami memang siap, dan tidak hanya “ingin”. Kalo menggunakan logika sepenuh tokoh Spock di Star Trek, rasanya tidak ada positifnya membawa manusia baru di planet ini. Planet yang sudah penuh sesak manusia, polusi, global warming, ancaman terorisme, Donald Tump, dan trend OM TELOLET OM di mana-mana ini. Sesudah 4 tahun menikah, kami masih tidak mendapatkan anak. Seorang sahabat sudah menganjurkan untuk mengangkat anak saja. Sebuah proposal logis. Di planet dan negeri yang sudah sesak ini, ada banyak anak-anak yatim piatu yang membutuhkan kasih sayang orang tua. Tanpa harus menambah jumlah manusia, kita masih bisa menjadi orang tua bagi yang membutuhkan. Adopsi pun kami perbincangkan sebagai opsi, sesudah kami berusaha dulu dengan “program” punya anak. Mengapa kami masih ngotot ingin punya anak […]

Read More →

Makna Namamu, Anakku.

Untuk anakku, Inilah makna namamu. Namamu sederhana, mudah diucapkan, dan hanya terdiri dari 3 huruf. (3 huruf rasanya sudah nama formal terpendek yang bisa kami orangtuamu pikirkan. Kalau 2 huruf jadinya “Po” dari Kungfu Panda!) Dari raja terkaya, sampai rakyat jelata, semua (seharusnya) mudah menyebut namamu. Ke negara manapun kamu pergi, semoga namamu mudah diucapkan (maklum, orangtuamu orang iklan/marketing, jadi […]

Read More →

Why I Love Donald Trump’s Slogan

Whether you like it or not, our view of the world will to certain extent be influenced by our profession. The economist will see life with some bias towards economics lens. The military guy will see current affairs through geopolitical power struggle lens. Me? I am just an advertising guy whose daily obsession is how to make people buy my client’s stuff. And I too will have a way when looking at the world, as my advertising background colors my lens. Now, I am not an American, and I am not following closely the American presidential election. But as an advertising guy, I can’t help noticing candidates’ slogan. And regardless of my attitude towards Donald Trump as presidential candidate, I had to say I think his choice of slogan is clever. Now this could be the typical post-rationalization thing (it is always easier to explain a success than predicting one), I know, but I just want to explain why I love “Make America Great Again” (and its derivatives). First, the slogan has a compelling structure: MAKE AMERICA [INSERT POSITIVE ADJECTIVES HERE] AGAIN I think the above structure is clever because in ONE sentence, it communicates several narratives: American was ONCE ideal, a better country than it is now. Just drop any positive word there: great, safe, strong, prosperous, peaceful, etc. Make America Great Again. Make America Safe Again. Make America Strong again. Make America Prosperous Again. Make America Work Again. Immediately […]

Read More →