Tanya Jawab sesi Ngobrol dengan Penulis Buku Kompas

Halo, Terima kasih untuk semua yang sudah menghadiri sesi Zoom ngobrol dengan saya soal proses kreatif menulis buku. Sesuai janji kepada panitia, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab selama sesi akan tetap dijawab secara menyusul. Beberapa pertanyaan yang repetitif atau irelevan tidak dijawab ya. Berikut adalah pertanyaan dan jawabannya. sarbinder Sahi 02:08 PM  untuk Mas Henry.. bagaimana cara efektif untuk menulis kreatif? J: Banyak membaca berbagai topik yang beragam. Jangan hanya membaca satu topik saja. Keragaman topik bacaan bisa menjadi sumber ide-ide baru. Ang Tek Khun 02:10 PM  berapa lama buku ini ditulis? J: Ide muncul di akhir 2017, buku terbit Desember 2018. Jadi sekitar setahun. sarbinder Sahi 02:11 PM  Mas Henry bagaimana efisiensi waktu dalam menulis kreatif ? J: saya pikir “efisiensi” tidak sepenuhnya tepat dalam proses menulis. Bagi saya menulis itu bukan untuk mengejar waktu, tetapi mengikuti proses kreatif. Kadang cepat, kadang lambat, tidak apa-apa. Yang penting selesai. Maulana Fikri 02:11 PM  kapan nulis buku lagi om piring..?? J: Sedang nih. Cicilia Damayanti 02:23 PM  mas, bagaimana menarik minat, khususnya anak muda, untuk mau membaca? J: Saya pikir minat akan timbul jika ada bahan bacaan yang berkualitas dan menarik. Ketika Harry Potter muncul tiba-tiba banyak yang suka membaca kan? Atau saat Twilight keluar. Muhammad Sabil Oktavian 02:27 PM  Saat itu, jumlah pengikut mas Hendry di blog berapa banyak jumlahnya? 🙂 Wah, jaman dulu tidak ada “pengikut” blog setahu saya ya. Andry Adiwinarso 02:27 PM  Sampai sekarang masih nulis Blog ngga? […]

Read More →

Filosofi Teras: Stoicisme dan Emosi Negatif Kekinian

Akhirnya setelah sempat vakum selama 3 tahun, gw menulis buku lagi. Buku ini gw beri judul “FILOSOFI TERAS. Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini”. Gw mau mencoba membuat sedikit PYSD (Pertanyaan Yang Sering Ditanyakan – ceritanya “FAQ” Frequently Asked Question :D) tentang buku ini, biar lebih jelas. Apa itu “Filosofi Teras” (FT)? FT adalah sebuah buku yang memperkenalkan […]

Read More →

Netflix dan Berteman Dengan Kematian

*tiup2 debu yang menempel karena udah lama gak ngeblog* (Gw lagi di Periode Emas di mana libur lebaran baru dimulai, tapi gw belom mulai bersih2 rumah. Jadi ada kesempatan ngeblog lagi). Anyway, ini BUKAN tentang “13 Reasons Why”! Yeeee, salah tebak kaaaan. Jadi semalem adalah saat jarang di mana gw sendirian aja di rumah, dan bisa binge-ing Netflix. Kesempatan ini gw pake untuk mengejar seri2 lama, dan semalam gw ‘kejar nonton’ seri Spartacus. Saat nonton, gw sadar kelakuan gw sendiri: gw nonton gak konsen. Gw nonton sambil maen hape. Pikir gw, kalo toh ada adegan penting yang kelewat, gw tinggal rewind aja lagi ke adegan tadi. Inilah niqmatnya streaming di mana kendali sepenuhnya di tangan gw. Tetapi akhirnya gw menyadari sesuatu dengan perilaku ini: Gw sebenarnya banyak banget kehilangan adegan/cerita dari seri yang gw tonton Setiap ada adegan yang gw rasa ‘membosankan’ (dialog karakter misalnya), dengan entengnya gw maen hape aja, nyari2 twitwar, atau review smartphone terakhir. Saat adegan ‘kembali seru’, baru gw nonton lagi. Tapi banyak adegan yg gw lewatkan sebenarnya adalah dialog-dialog penting untuk bisa mengapresiasi ceritanya. ‘Kendali penuh’ nonton streaming ini sebenarnya kendali atau justru merampok kita dari fokus menikmati sebuah cerita ya? Gw bandingkan dengan perilaku gw nonton bioskop. Karena menonton bioskop gak bisa di-rewind sesuka hati kita, ya gw jadinya nonton bener. Bahkan kalo adegan sangat membosankan pun palingan gw hanya ngomel ke pasangan, tapi ya tetep diliat (Btw, gw sangat sangat hampir tidak pernah ketiduran di bioskop,,,,,) “Tanpa kendali” justru membuat gw lebih […]

Read More →

Bertahan Waras di Jakarta Dengan Teknologi

Sudah beberapa minggu terakhir ini, gw merasa kemacetan Jakarta terasa makin menggila. Rasanya, rute gw pergi ke dan pulang dari kantor semakin parah. Dan entah perasaan gw aja, atau semua proyek pembangunan berjalan berbarengan ya? Ada underpass, ada jalan layang, ada tol, ada MRT, ada jalur busway – pokoknya semuanya harus turun bareng ke lantai dansa. Rame aja. Di satu […]

Read More →

High Cost Economy dan Mahluk Halus

Pernah denger istilah “High Cost Economy”? Kalo gw gak salah dan gak sok tahu, gampangnya adalah roda perekonomian menciptakan biaya tinggi karena inefisiensi, atau praktik korupsi. Contoh, perusahaan manufaktur yang harusnya biaya bahan bakunya misalnya hanya Rp 1,000 per unit, harus menambahkan biaya produksi karena dipalak di berbagai level: dari level pejabat pusat, pejabat daerah, ormas resek, sampe preman pengkolan. Akhirnya biaya produksi membengkak menjadi Rp 3,000 per unit.Yang rugi akhirnya konsumen, karena harganya jadi lebih mahal dari yang semestinya. High cost economy juga bisa disebabkan oleh inefisiensi, misalnya infrastruktur yang buruk. Misalnya jalan antar propinsi yang buruk, sehingga biaya transportasi komoditi menjadi lebih lama, sehingga harus membayar jasa shipping lebih tinggi, atau upah driver dan kenek yang lebih besar, atau tambahan asuransi. Begitu juga dapet gebetan yang banyak tuntutan, seperti kalo ngedate harus memakai BBM non-subsidi beroktan tinggi (ini pacar ato pembalap), atau bapaknya yang selalu harus dikasih upeti Dji Sam Soe kalo pulang malem, ini merupakan high cost economy, eh, gebetan. Jadi, singkatnya, definisi sok tau gw, high cost economy adalah aktivitas ekonomi menjadi mahal secara tidak perlu karena praktik-praktik korup, kolusi, nepotisme, etos kerja/layanan publik buruk, atau infrastruktur buruk. Yang rugi akhirnya konsumen (karena harusnya bisa membeli lebih banyak jika harganya lebih rendah), produsen (karena tidak bisa menjual sebanyak jika ongkos produksi lebih rendah sehingga harga lebih rendah), dan juga pemerintah (transaksi yang lebih sedikit artinya pemasukan pajak lebih rendah, pertumbuhan ekonomi tidak optimal). Gitu lah penjelasan awam gw. (Monggo kalo ada ekonom yang lebih berwenang mau menyanggah […]

Read More →

Mengapa Hanya Gen-X Yang Akan Selamat Dari Zombie Apocalypse

Hari ini gw menyadari bahwa jika zombie apocalypse melanda, bisa dipastikan hanya Gen-X (lahir dari tahun 1960-1980) dan MUNGKIN, SEBAGIAN dari Millenial (lahir dari tahun 1980-2000), yang akan survive. Oke lah, tambahkan Baby Boomer yang relatif sehat. Kalo Gen-Z rasanya sudah pasti punah. Jadi ceritanya, saat beres-beres untuk pindah rumah, gw menemukan sebuah radio. It’s a good ‘ol radio, masih bisa nangkep radio FM dan AM. Bahkan masih menyisakan tempat kaset. Yang penting, radio ini masih berfungsi sangat baik. Kebetulan karena kami memiliki ART (Asisten Rumah Tangga) baru yang berasal dari Pemalang (dengan usia Millenial muda), gw pikir radio ini akan gw pinjamkan saja ke dia. Lumayan kan, kalo malem2 di kamar dia bisa dengerin Wednesday Slow Machine (masih ada gak sih acara ini?), minimal update harga cabe kriting. Percakapannya seperti ini. Gw: “Nur, sinih” Nur: “Iya pak” Gw: “Ini saya ada radio tidak terpakai. Kamu bawa saja ke kamar, untuk hiburan” Nur dengan ekspresi bingung: “Makasih pak. Tapi, SAYA TIDAK TAHU CARA PAKAINYA PAK” (penekanan caps lock dari penulis blog ini) Gw: (butuh tiga detik untuk mencerna ini semua) Gw lagi: “GIMANA GIMANA?! KAMU GAK TAHU CARA PAKAI RADIO?! EMANG KAMU DENGER LAGU GIMANA CARANYA??” (Penekanan caps lock masih dari penulis blog ini) Nur: “Saya download lagunya pak, pake hape” Gw: *berkunang-kunang* Masih gw, sambil memunguti serpihan harga diri yang berceceran: “Ya udah, sinih saya ajarin cara memakai radio. Kan lumayan buat dengerin lagu, dan um, orang ngobrol….” (apa kabar dijeeeee….) Maka gw menghabiskan tiga menit berikutnya mengajarkan konsep tombol “on/off” […]

Read More →

Pahlawan (Di) Lembaran Uang

Alkisah, di suatu titik dalam sejarah, sekelompok pejuang kemerdekaan harus berjuang melawan penjajah. Para pejuang ini datang dari berbagai latar belakang, warna kulit, bahkan kepercayaan. Tetapi mereka tidak mempersoalkan perbedaan di antara mereka. Yang mereka tahu ada sesuatu yang lebih besar yang mereka perjuangkan. Kemerdekaan menentukan nasib sendiri, kemerdekaan dari tirani. Dan hal ini jauh lebih penting dari perbedaan di antara mereka, bahkan perbedaan keyakinan sekalipun. Apakah saya sedang membicarakan pahlawan Indonesia? Oh, bukan. Saya sedang membahas film Rogue One, sebuah cerita yang mengambil setting di semesta Star Wars. Saya senang dengan ceritanya yang menggambarkan berbagai penghuni galaksi yang dijajah Empire bersatu. Bentuknya macam2, ada yang manusia, ada yang mirip cumi, warnanya juga macam2. Ada yang relijius, ada yang agnostik. Tapi semua berjuang bersama untuk common goal. Mereka meneteskan darah, keringat, bahkan mengorbankan nyawa untuk melawan tiran. Ini memang hanya fiksi, yang seringkali menjadi potret ideal yang jarang ditemui di dunia nyata. Tapi, Indonesia rasanya memiliki sejarah yang tidak jauh berbeda dari kisah Rogue One. Dalam masa penjajahan Belanda dan perang revolusi, bangsa ini pernah melahirkan anak-anak perjuangan yang mengesampingkan perbedaan. Ada yang bersuku Aceh, Jawa, Manado, Ambon, Tionghoa, dan lain-lain. Ada yang beragama Kristen, Muslim, Buddha, Hindu, Katolik. Ada yang intelek, ada yang dokter, ada yang pendekar. Rasanya disbanding para protagonis Rogue One, kisah pejuang Indonesia tidak kalah heroik dan menginspirasi. Bahkan lebih dahsyat, karena ini kisah nyata, bukan rekaan pujangga Hollywood. Maka ketika uang baru Republik ini menciptakan […]

Read More →

Why I Love Donald Trump’s Slogan

Whether you like it or not, our view of the world will to certain extent be influenced by our profession. The economist will see life with some bias towards economics lens. The military guy will see current affairs through geopolitical power struggle lens. Me? I am just an advertising guy whose daily obsession is how to make people buy my client’s stuff. And I too will have a way when looking at the world, as my advertising background colors my lens. Now, I am not an American, and I am not following closely the American presidential election. But as an advertising guy, I can’t help noticing candidates’ slogan. And regardless of my attitude towards Donald Trump as presidential candidate, I had to say I think his choice of slogan is clever. Now this could be the typical post-rationalization thing (it is always easier to explain a success than predicting one), I know, but I just want to explain why I love “Make America Great Again” (and its derivatives). First, the slogan has a compelling structure: MAKE AMERICA [INSERT POSITIVE ADJECTIVES HERE] AGAIN I think the above structure is clever because in ONE sentence, it communicates several narratives: American was ONCE ideal, a better country than it is now. Just drop any positive word there: great, safe, strong, prosperous, peaceful, etc. Make America Great Again. Make America Safe Again. Make America Strong again. Make America Prosperous Again. Make America Work Again. Immediately […]

Read More →