Jadi kemarin media massa, khususnya Twitter, heboh dengan kedatangan peti mati di berbagai tempat. Kebanyakan yang mendapat adalah kantor-kantor media massa, bahkan konon ada individu yang juga menerimanya. Tentunya terjadi kehebohan. Tuduhan pertama adalah ini merupakan aksi teror terhadap media massa supaya tidak ‘vokal’ bersuara. Sempat ada headline di detik.com “DPR Perintahkan Usut Teror Peti Mati”. Beberapa orang sudah curiga bahwa ini adalah publisitas marketing. Dan benar saja, di siang hari, pelakunya mengakui bahwa ini adalah sebuah promosi buku tentang advertising. Bukunya sendiri akan membahas tentang ‘kematian’ advertising tradisional dengan lahirnya word-of-mouth marketing. Dan pengiriman peti mati ini rencananya adalah contoh kekuatan “diomongin” vs. “diiklankan”. Diomonginnya sih bener kejadian. Masalahnya, kayaknya si pelaku ini gak bisa ngebedain antara sekedar “diomongin”, dan “diomongin secara POSITIF”. Dan yang kejadian kemarin, si pelaku memang “diomongin”, tapi isinya jauh dari positif. Bahkan berujung dengan dia diperiksa polisi. Peti mati bukan sembarang benda untuk dikirim sebagai mainan. Kematian adalah topik yang menakutkan secara universal, dan bagi banyak orang simbol peti mati membangkitkan banyak kenangan sedih dan menyakitkan. Karena peti mati berukuran anak kecil, banyak karyawan wanita, khususnya ibu, yang tentunya shock melihatnya. Tragisnya, di kantor Detik.com yang juga menerima peti itu, ternyata salah seorang karyawan baru saja kehilangan anaknya yang meninggal dunia di hari yang sama. Dan trik marketing yang sudah tidak lucu itu berubah menjadi tragedi yang menjijikkan. Sang pelaku mengklaim diri sebagai pionir word of mouth (WOM) marketing. Tidak hanya klaim ini menggelikan, […]
Read More →