Memaknai Corona Secara Stoa

(foto: Liputan6.com)

Saya akan membagikan cara saya memaknai peristiwa epidemi (pandemi?) Corona (COVID-19) ini dari perspektif praktisi Stoa. Karena saya pun MASIH BELAJAR, maka saya tidak bisa mengklaim pemaknaan Stoa saya sebagai yang paling benar menurut perspektif ajaran Stoa. Teman2 Prokopton (istilah dalam Stoa, artinya “Orang yang berusaha menjadi lebih baik”) lain bisa saja memiliki pemaknaan pribadinya sendiri.
MENGAPA CORONA BISA TERJADI?
Dalam perspektif Stoa yg memandang segala sesuatu di semesta ini saling terkait, maka tidak ada yang “kebetulan”. Segala peristiwa terjadi di alam semesta ini adalah akibat aksi reaksi yang panjang dari semua peristiwa sebelumnya.
  • Kok bisa ada virus Covid-19? Ya biasa saja. Virus secara kodratnya akan terus bermutasi. Kebetulan saja mutasi kali ini membahayakan manusia.
  • Kok bisa menulari manusia? Ada hipotesa bahwa ini datangnya dari binatang yang kemudian pindah ke manusia, mungkin via makanan. Jika benar, maka ini adalah konsekuensi sebab-akibat saja.
  • Kok bisa menyebar? Ya banyak faktor. Karena ini virus baru dan penyakit baru, tentu kita tidak siap mendeteksinya. Sesudah mendeteksinya pun, reaksi pemerintah dan masyarakat beragam. Apapun yang sudah terjadi, kombinasi kesigapan pemerintah, masyarakat tidak berhasil membendung Corona sehingga akhirnya menyebar luas.
Intinya, dalam Stoa fenomena Corona ini dilihat sebagai wajar, tidak mengherankan, dan hanya satu mata rantai dari banyak kejadian lain sebelumnya. Dan wabah ini tidak dianggap sebagai “azab”, “hukuman Tuhan” yang ujug2 terjadi.
Respon yg ideal? PENERIMAAN. Tidak perlu disesali, diratapi. Ini sudah ketetapan Semesta yang harus terjadi. Kita sebagai bagian dari Semesta harus ikhlas dan menjalaninya. Walau tidak perlu disesali, kita perlu BELAJAR ke untuk masa depan harus bagaimana jika ini terulang kembali.
DIKOTOMI KENDALI
Virus dan penyakit adalah hal di luar kendali kita. Kaum Stoa mengkategorikannya sebagai “indifferent” (tidak buruk tidak baik), tapi “unpreferred” (tidak diinginkan). Karena kaum Stoa percaya baik dan buruk itu harus dari hal di bawah kendali kita, maka wabah Corona ini bukan hal “baik” atau “buruk”, netral saja, bagian dari alam, hanya tidak diinginkan.
Yang lebih penting apa yang ada di bawah kendali kita, yaitu pikiran dan respon kita. Apakah wabah ini membuat kita jadi cemas berlebihan? Menjadi egois dengan menimbun barang? Menjadi bersikap tidak adil pada orang lain? Ini semua lebih buruk dari wabah Corona karena masih di bawah kendali kita.
Tubuh dan nyawa di luar kendali kita. Tanpa harus melonggarkan kewaspadaan (nanti di bawah dibahas lagi), kita harus menerima bahwa tidak mungkin kita sepenuhnya mencegah tidak terkena Corona atau selamat jika terkena. Dengan belajar mengikhlaskan hal ini, justru kita bisa lebih tenang dan fokus pada hal-hal yang bisa kita lakukan.
TETAP UTAMAKAN NALAR DAN KODRAT SOSIAL KITA.
Filsafat Stoa percaya bahwa “desain” dasar manusia ada 2: makhluk nalar dan makhluk sosial (harus hidup dengan harmonis dengan manusia lainnya).
Konsekuensi: tetap rasional. Tidak merespon peristiwa ini dengan emosional. Kalau kata Cak Lontong: MIKIR! Konsekuensi lain: tidak berubah jadi manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Tetap memikirkan orang lain. Secara logika, menghadapi ancaman seperti Corona ini tidak mungkin sendiri2. Kita butuh kerja sama dan saling pengertian jika ingin menang.
VIRTUE SEBAGAI PANDUAN BERTINDAK.
Kaum Stoa percaya bahwa “virtues” (terjemahan Google “kebajikan” tapi kok kurang sempurna rasanya) adalah panduan manusia untuk hidup yang “baik”. Dalam bahasa Yunaninya “arete” (“keutamaan”) bisa ditafsirkan sebagai, kualitas terbaik apa yang diharapkan dari manusia. Sebagai perbandingan, “keutamaan” pisau dapur adalah tajam dan bisa diandalkan untuk memotong (urusan dapur). Jika sebuah pisau dapur tajam dan memotong dengan baik, maka ia sudah menjalankan “arete”-nya. Bagaimana dengan manusia?
Kaum Stoa, meneruskan Socrates, percaya manusia harus menjalani 4 Virtues agar kita hidup sesuai dengan “desain” asli kita: wisdom (bijaksana), temperance (menahan diri), courage (berani), dan justice (adil).
Keempat virtue ini bisa diterapkan sebagai penduan dalam wabah Corona ini:
1. WISDOM. Bijak, gunakan nalar untuk mengambil pilihan dan tindakan terbaik. Bagi saya artinya, ikutilah anjuran dunia medis. Mencuci tangan dengan sering, hindari kerumunan yang tidak perlu, tidak traveling ke daerah wabah, ganti salaman dengan alternatif, waspada pada gejala, jaga kesehatan dan daya tahan, dll. Ini semua di bawah kendali kita. Begitu juga tidak perlu panik dan emosional. Cerdas dalam menghadapi informasi, apalagi hoax dan fake news. Pahami penyakit Corona ini secara sains (tingkat mortalitas yg relatif rendah, lebih banyak orang yang pulih, golongan mana yang lebih rentan, dll.)
2. TEMPERANCE (menahan diri). Tidak berlebihan. Khawatir manusiawi, tapi jangan berlebihan. Tidak takut berlebihan. Tidak curiga berlebihan, apalagi sampai bersikap tidak adil. Belanja tidak berlebihan sesuai kebutuhan. Kalau marah/kesal karena perilaku orang lain di wabah Corona, juga secukupnya, jangan kebablasan sampai marah berlebih.
3. COURAGE. Atasi ketakutan yang irasional. Berani menegur diri sendiri jika keliru. Berani juga menegur/memperbaiki kesalahan orang lain soal wabah ini (misalnya menegur hoax/fake news di WhatSapp group), tetapi lakukan dalam koridor “temperance” (tidak berlebihan) dan “justice” (adil). Bekerja dan beraktivitas lah seperti biasa, tapi gunakan wisdom untuk tetap berhati2.
4. JUSTICE. Virtue ini spesifik menyangkut relasi kita dengan manusia lain. Jangan sampai wabah Corona ini membuat kita berlaku tidak adil pada manusia lain. Perilaku menimbun barang, spekulasi untuk menarik keuntungan sebanyak2nya selama musibah adalah hal tidak adil. Menggunakan fasilitas umum (hand sanitizer) dengan rakus dan egois juga tidak adil. Dalam tindakan kita mencegah Corona, selalu tetap pikirkan orang lain juga.
PERSPEKTIF.
Kaisar Marcus Aurelius mengajarkan untuk tidak membesar2kan peristiwa dengan mengingat sepanjang peradaban manusia, sesungguhnya tidak ada hal yang baru. Wabah penyakit mendunia bukan hanya Corona saja. Dari dulu sudah ada berbagai penyakit. Jadi tetap waspada, tapi tidak perlu lebay.
Kira2 seperti inilah bentuk pemaknaan wabah Corona dan praktik Stoic yang bisa dilakukan, menurut tafsir saya. Mungkin akan saya tambahkan lagi nanti. Silakan teman2 di sini menambahkan di komen, atau mem-post sendiri tafsir dan praktik teman2.
Salam sehat! Salam prokopton!

2 Comments »

  1. Mas, makasih banget tulisannya. Sangat logis, tenang, tetap mengambil tindakan, tapi nggak lebay. Exactly a kind of reminder that we need.

    Sungguh kepanjangan dari Filosofi Teras yang sangat bisa diaplikasikan pasca huru hara beberapa minggu terakhir ini yang kadang bikin: โ€œheh, gitu amat nih orang2โ€. ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š.

Leave a reply to Belajar Bahasa Jepang Cancel reply