Ketulusan vs. Hasil Akhir, Penting Mana?
Ebuset, produktif amat nih gw, sehari ngepost 2 biji!
Tapi emang kebetulan lagi ada topiknya siiih. Plus lagi sendirian aja. Ya why not.
Jadi hari ini terjadi fenomena menarik di dunia Twitter. Di awali dengan kemunculan akun @gerychocolatos (tau kan, snack coklat dengan Nikita Willy sebagai bintang iklannya. Nggak senyebelin Sozis sih iklan2nya…) Merek produk punya akun Twitter sih sudah biasa, tetapi bedanya yang ini lahir dengan iming-iming “Kalau follow akun ini, Gery Chocolatos akan menyumbang Rp 100 per follower untuk baju lebaran anak jalanan.” Bahkan belakangan tawaran dinaikkan menjadi Rp 500 per follower!
Dan di dunia Twitter terbentuk dua kubu.
Satu kubu dengan semangat menyambut positif ide ini (di luar para buzzer berbayar tentunya). Hanya dengan memfollow sebuah akun, bisa ikutan menyumbang Rp 500 untuk anak jalanan! Gampang syaratnya, banyak manfaatnya. So why not?
Tapi ada kubu lain, yang lebih sangar dan galak-galak (hihihi), yang mengecam keras inisiatif ini. Serangan pertama adalah mengenai “ketulusan” menyumbang. Mereka menuduh bahwa sebuah merek produk komersial telah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan follower, bahkan dengan memanfaatkan anak jalanan. Kalau memang pihak Gery Chocolatos perduli dengan anak jalanan, kenapa tidak menyumbang langsung? Kenapa harus dengan pamrih, melalui mekanisme “transaksi” menggaet follower?
Fenomena menarik ini sebenarnya menggambarkan dua cara berpikir yang terkadang bertentangan. Yang positif dengan ide ini menurut gw menggunakan cara berpikir pragmatis. “Lho, yang penting kan ada anak jalanan yang menerima bantuan? Perduli amat bahwa ini untuk menambah follower, toh tidak ada yang dirugikan?” Yang negatif tampaknya juga mementingkan faktor ketulusan, dan “hasil akhir” saja tidak cukup.
Gw termasuk yang mana? Seperti biasa gw juga bingung, hahaha :D. Bagaimanapun, ini bukan kasus yang hitam-putih, yang jelas mana yang salah dan mana yang benar (misalnya kasus rambut Saipul Jamil dicat kuning beberapa bulan yang lalu, itu sih JELAS SALAH.) Soalnya kenyataannya, toh memang ada kaum miskin yang menerima sedikit berkah di bulan Puasa, walaupun ketulusan si pemberi diragukan.
Dalam melihat masalah ini, gw juga mau menggunakan “kacamata ketiga” sebagai mantan praktisi periklanan dan masih pekerja marketing, yaitu kacamata marketing. Gw ngerti banget sih kenapa Gery perlu membangun cepat popularitas akun Twitter. Bagaimanapun fenomena social media, apalagi Twitter, tumbuh begitu pesat. Ini menjadi kesempatan channel marketing yang relatif murah (bahkan gratis!), apalagi untuk menjangkau kaum muda yang sudah gadget-friendly dan internet-friendly. Masalahnya membangun follower dalam jumlah besar dan dalam waktu cepat tentunya adalah tantangan. Dalam hal ini, Gery memanfaatkan momentum bulan Puasa dan mengkaitkannya dengan sumbangan/donasi.
Di sinilah problem bermula, yaitu ketika untuk membangun popularitas cepat ini menggunakan mekanisme “sumbangan”. “Sumbangan” adalah sebuah tindakan yang cukup serius dan kaya dimensi, bahkan bisa menyentuh dimensi spiritual dan religi. Salah satu dimensi sumbangan yang diajarkan kepada kita sejak kecil adalah “keikhlasan”. Sumbangan menjadi bermakna ketika pemberi tulus ikhlas ingin membantu, tanpa pamrih, tanpa agenda tambahan. (makanya istilah “sumbangan wajib” itu adalah oxymoron kelas dunia!)
Maka ketika sumbangan Gery dikaitkan dengan aspek komersial (jumlah follower dari akun Twitter), maka wajar banyak orang yang merasa konsep sumbangan ini sudah ternoda. Hasil akhir menjadi tidak berarti tanpa ketulusan.
Jadi apakah tindakan Gery “salah” atau “benar” secara marketing? Jawabannya tergantungΒ berapa besar kubu pragmatis dan berapa besar kubu idealis. Kalau jumlah massa pragmatis jauh lebih besar dari para idealis yang ngomel2, ya bisa dianggap sukses aja kayaknya. Saat ini akun @gerychocolatos memiliki16 ribu lebih follower, tetapi gw gak tau berapa jumlah pertambahan persis karena “follow-nyumbang” ini. Tetapi kalau kubu idealis jumlahnya cukup besar dan lantang, maka risikonya bukan hanya citra sumbangan ini menjadi tercemar, tetapi juga citra brand Gery keseluruhan.
Di sisi lain lagi, seberapa pentingkah sebuah brand wafer coklat perlu image yang tulus dan lurus? Apakah saat kita mau ngemil wafer cokelat, kita akan mikir “Hmm, males ah makan Gery, soalnya gak tulus siih.” Kayaknya gak juga ya? π
Sebenarnya di hari yang sama, ada iklan lain yang memiliki prinsip sama, tapi tidak banyak tersorot di dunia social media, mungkin karena berupa iklan di koran. Hari ini di Kompas ada iklan dari bank Permata. Iklan ini menjanjikan bahwa nasabah tidak akan mengantri untuk teller lebih dari 8 menit. Bagaimana jika lebih dari 8 menit? Di sini lah ide absurdnya: Jika pelayanan lebih lambat dari 8 menit, maka pihak bank akan “menyumbang dana pendidikan.”
Reaksi gw pas ngeliat iklan ini? 3 detik pertama bengong. 2 detik kemudin membaca ulang. Sedetik kemudian ketawa ngakak.
Kenapa menurut gw ide ini absurd? Soalnya inisiatif menyumbang tidak hanya dihubungkan dengan aspek komersial, tetapi bahkan dengan aspek “pelayanan yang lamban.” Jadinya kan lucu: seandainya bank ini melakukan pelayanan yang baik (antrian < 8 menit), maka tidak ada sumbangan untuk anak miskin. Sumbangan baru akan diberikan jika bank ini memberikan pelayanan di bawah standar! Kalau gw jadi anak miskin, ya gw jadinya mendoakan bank ini terus-terusan memberikan pelayanan di bawah standar dong?
Sebenernya ini absurd beneran, atau gw aja yang aneh sih? π
Gua jadi mau ikutan trend ini aah. Bagi setiap vote yang masuk untuk saya di Cleo Bachelor via Facebook, saya akan menyumbangkan senyuman gw yang termanis bagi mbak2 kasir/penjaga tiket tol/sales promotion girl. Yang cakep aja tapi π
Categories: Uncategorized
Haha… Closing linenya itu loh, ga kuku ommmm. :))
Back to gery, kalo gw yg simpel ini, masalah “tulus” or ngga itu biar aja “urusan” org2 di gery dengan Tuhannya. Dan “urusan” kita, yg mau bantu ya sila follow, yg ga minat ya ga usah.
Mengutip kata alm gusdur “gitu aja kok repot”. Ehh kalimat ini bukan untuk postingan or buat om piring, tp buat mereka yg ribet ngurusin tulus or ga tulus. Hehe
HAHAHA LU GILA SIH BANG! Tapi itu si gericokolatos keren juga buzzernya, kmrn gue liat masih 4000an followersnya lho. Kayaknya buka usaha jual akun yg followersnya udah ribuan bisa jadi peluang bisnis baru nih :-p
sialan gw dikatain gila -____-
Sebenarnya saya ada di kubu Hasil Akhir π saya tipe orang yang “fight clean, fight dirty, at least make your fight”. Mungkin aneh, mungkin banyak yang memandang itu ga baik π
Tapi karena saya tipe yang seperti itu, saya malah jadi sadar, kalau ketulusan itu entah bagaimana mempengaruhi hasil akhir (berdasarkan pengalaman hidup yang belum terlalu lama). Jadi sebenarnya saya selalu percaya kalau ketulusan akan berjalan berdampingan sama hasil akhir π
Dan sepertinya “sumbangan” memang sudah mengalami pergeseran makna yang lumayan signifikan yah? terutama di ranah pendidikan π
cuma sekedar nimbrung dan ngeluarin uneg-uneg aja.. maaf kalau ada yang kurang berkenan atau kurang nyambung.. (mungkin faktor kurang tidur – tetep cari pembelaan)
hadeeuh, di forum ini bebas berbeda pendapat. Yang penting sopan :D. Trims udah sharing your opinion π
Kalo aja belom kelar skripsi marketingku, ini mungkin bakal jadi opsi ‘framing’ buat riset… hehe. Kalo saya sih makan Gerry niatnya tulus, tulus ikhlas mengisi perut.. #apasih
Sumpah ya blog situ bikin gatel buat dikomentarin.. Sehari 2 kali deh niy jadinya! Tadi gue sempet buka akun twitter wafer itu, tdnya mau follow tapi ragu-ragu karena kayaknya sumbangan ini lebih ke arah strategi marketing atau brand daripada nyumbang beneran trus knp juga ngadainnya harus pas ramadhan ya..
Tp kalo ternyata proses penyumbangannya jelas dan follower selalu dapet informasinya jg, I might follow the herd.
*pheew..panjang bener ya*
itulah pertimbangan “pragmatis” vs “idealis” – toh hasil akhirnya memang bermanfaat, so what gitu kan π
Ga baek neh mau tidur baca bacaan yg menguras pikiran neh…tp klo ditanya..*benernya ga ada yg nanya yah,om :)* gw akan memilih hasil akhir lebih penting..soalnya klo mang kita pny niat untuk membantu..ga peduli or lebih tepatnya ga mikirin deh ma hidden agenda nya si empunya hajatan…*apa gw yang bego yah :D*, apalagi bs bantu orang with minimum effort.. :p.
And now..mari kita tidur…zzz..zzz..
mas, nulis Saipul Jamil-nya huruf i-nya kurang satu.
Soalnya kemarin dah diganti jadi Saipul Jamiil, masuk berita di tipi.
takutnya nanti ada yg tersinggung.
Haha
penting banget yaaa -___-
Lebih bagus amal baik tanpa pamrih daripada dengan pamrih. Lebih bagus amal baik dengan pamrih, daripada ga beramal sambil bersungut2.
bener banget tuh π
Dulu juga ada kayaknya penulis terkenal yg minta difollow lalu dia akan nyumbang beberapa rupiah tiap ada penambahan followers. Kayaknya lebih banyak yg kontra dan akhirnya kayak bumerang sendiri. Gery Chocolatos mungkin gak belajar dari pengalaman itu soalnya dia baru kenal twitter barangkali π
dan tuntutan publik dari “individu” dan “business entity” juga berbeda. Kadang2 lebih berat tuntutan terhadap perusahaan/produsen. Eh apa gw kebalik ya?
sy termasuk kubu idealis! :)) menurut sy sih yang penting itu bukan cuma hasilnya tapi prosesnya juga. kasus ini kynya bisa dianalogikan dgn dapet nilai bagus tapi dari hasil nyontek. mau dapet hasil dengan cara instan.
pola pikir pragmatis itu ada benernya jg memang, setidaknya ada kan daripada ga ada sama sekali, tapi perlu diliat jg adanya itu seberapa, cukup ga untuk memberi bantuan yg signifikan dan sebanding ga dengan syarat yg diajukan.
itung2an sy kmrn itu untuk baju anak kisarannya 50rb – 150rb, diambil mediannya 100rb. kynya ga mungkin kalo cm ngasih baju aja, ada uang lebarannya juga lah yg bisa mereka pake buat beli yg mereka mau apa. anggep aja kisarannya 10rb – 50rb, tengahnya 30rb. ditotal jadi 130rb per anak. per 10.000 follower yg didapat dana yg terkumpul 5jt. 5jt dibagi 130rb = 38,4-sekian, anggap 38. jumlah anak jalanan di jakarta 2.000 anak. 38 dari 2.000 = 1,9%. jadi untuk setiap 10.000 follower yg menyumbang, sumbangan dirasakan hanya oleh 1,9% anak jalanan di jakarta. pertanyaannya: apakah pantas?
sy ga mempermasalahkan idenya. bagus kok ada keinginan menolong orang. yg sy ga suka itu mekanismenya karena keliatan jelas kalo campaign itu upaya mencari popularitas berkedok charity yang memanfaatkan nurani orang untuk berbuat baik. insulting. #gebrakmeja #aturpernapasan
nothing against those who support this cause though. if that’s your choice to help then it’s your choice, congratulations. as for me i prefer something more sincere and tangible. i will find out how.
maap kalo kepanjangan dan terlalu berapi2 komennya. sy beneran kesel bgt sm campaign si gercok itu soalnya. bener2 deh. -_- sekian dari terima folbek. #diblok
hehe, thanks buat sharing opinion dari kubu “idealis”nya. Selalu menarik membahas suatu ide dari dua sisi. π
Gak apa2 berapi2, yang penting tidak kasar dan SARA π