Generasi ‘Karate Kid’ dan Generasi ‘Spiderman’

Suatu hari, kolega gw mengeluhkan tentang generasi muda yang sekarang baru saja mengawali karir (usia 22-25an, bagian dari Generation Y). Dia mengeluhkan angkatan kerja baru yang dianggap cepat puas, ingin menuntut kenaikan karir cepat padahal belum siap. Atau tidak bersedia menjadi “generalis”, selalu memilih untuk mengerjakan satu area of expertise saja. Kemudian dia membandingkan dengan dirinya sendiri (seorang Gen-X) yang di saat awal karir lebih memfokuskan pada learning dan membangun skill, dan belum memikirkan ambisi karir sampai setelah 4-5 tahun bekerja. Dia juga membandingkan dengan generasinya yang saat masih “kroco” harus siap menjalankan tugas apapun, tanpa mengeluh “tapi ini kan bukan bidang gw!” Karena semua tantangan ekstra tersebut tetap dilihat sebagai kesempatan belajar hal baru dan memperluas skill.

Setiap generasi kayaknya selalu mengeluhkan generasi berikutnya. Rasanya ini normal ketika generasi yang dulu “muda” akhirnya menjadi “dewasa/tua” dan mendapati perbedaan-perbedaan dengan generasi penerusnya (di mana perbedaan itu belum tentu negatif). Gw sendiri adalah bagian Gen-X, dan gw ingat generasi orang-tua gw juga pasti mengeluhkan generasi gw. Keluhan mengenai generasi sesudah kita seperti sudah menjadi sebuah ritual wajib. Salah satu keluhan paling klasik yang sering diucapkan dari generasi ke generasi adalah “Kamu sekarang enak, sudah ada (pilih: kereta kuda, mobil, komputer, mesin fax, internet, smartphone, dll, dll). Jaman saya dulu, mana ada itu semua?”

Gw pribadi sebagai Gen- X tidak akan bilang “sekarang kalian lebih enak” kepada Gen-Y, karena toh generasi gw termasuk beruntung turut merasakan enaknya teknologi (Gen-X adalah generasi yang pernah merasakan surat berperangko, mesin tik, Walkman, tapi juga komputer, e-mail, dan iPod). Jadi, kita semua sama-sama enak deh 🙂

Tetapi mungkin masalahnya bukan di teknologi itu sendiri, tetapi apakah segala kecepatan dan kenyamanan yang ditawarkan teknologi ini juga mempengaruhi etos kerja di kantor. Dan lucunya, gw jadi kepikiran apakah FILM Hollywood bisa menjadi representasi perbedaan kedua generasi ini.

Bagi gw, Gen-X bisa direpresentasikan dengan film Karate Kid. Rasanya semua anggota Gen-X mengetahui film ini. Tokoh utama film ini adalah seorang anak muda keturunan Itali ‘Daniel’ yang harus berguru Karate kepada seorang kakek Jepang bernama Miyagi. Salah satu adegan paling berkesan dari film itu adalah ketika latihan awal karate Daniel justru adalah memoles mobil dan mengosek lantai dengan gerakan memutar yang diajarkan Miyagi-San. Daniel awalnya mengomel karena bukannya diajari Karate justru malah ‘dikerjai’ dengan tugas-tugas remeh. Belakangan baru ketahuan bahwa gerakan memoles itu justru menjadi jurus pertahanan ampuh menangkis serangan lawan.

Daniel mengosek lantai

Daniel mengosek lantai (source: worldandmartialarts.blogspot.com)

Karate-Kid rasanya menjadi representasi generasi gw saat mengawali karir. Saat masih junior gw beneran pasrah mau diapain juga. Belum terpikir untuk menuntut apapun, pokoknya apapun yang disuruh atasan dan senior, yang terpikir hanya mengerjakan sebaik-baiknya. Verbal abuse ditelan dengan bulat tanpa mengeluh, apa lagi melawan. Gw inget bekas bos gw yang juga Gen-X bercerita bahwa saat dia menjadi Account Executive junior di sebuah biro iklan, dia sudah biasa diteriaki oleh tim kreatif senior, ditimpuk dokumen, atau diusir keluar dari ruangan. Semua itu ditelan saja, dianggap sebagai latihan keras untuk pengembangan diri. Seperti Daniel yang harus mengerjakaan pekerjaan ‘remeh’ dulu sebelum belajar jurus Karate yang sesungguhnya, pekerjaan dan tugas2 yang nista, yang bukan bagian dari job-desc kita, semua dijalankan karena kita percaya ini semua akan berguna kelak.

Itulah Gen-X, ‘Generasi Karate Kid’. Nah, bagaimana dengan Gen-Y?

Kalau mendengar keluhan-keluhan tentang Gen-Y, dan juga berdasarkan observasi pribadi, maka generasi profesional baru yang sekarang bisa dilihat sebagai Generasi ‘Spiderman’. Seperti Peter Parker, transformasi menjadi superhero terjadi dalam semalam karena gigitan laba-laba radioaktif. (Benar bahwa sesudah itu dia mengalami proses pendewasaan karakter, tetapi ‘superpower’nya sendiri didapat secara instan). Atau para X-Men yang terlahir dengan kekuatan super sebagai mutan. Atau Tony Stark yang dengan kecerdasannya bisa mendesain armor, bahkan di dalam gua sekalipun. Mungkinkah para professional Gen-Y seperti Spiderman, merasa memiliki kekuatan yang instan dalam proses yang cepat?

Walaupun penggunaan analogi Spiderman tidak terlalu serius, tetapi gw melihat memang ada kesamaannya dengan kehidupan Gen-Y. Jika Peter Parker mendapat kekuatan dari gigitan laba-laba radioaktif, maka Gen-Y pun bisa dilihat bagaikan mendapat ‘gigitan’ juga. Gigitan itu adalah teknologi informasi instan yang tidak dimiliki oleh Generasi sebelumnya. Internet dan Google bagaikan laba-laba radioaktif yang memberi kekuatan super pada para profesional baru ini. Jika dulu Gen-X harus susah payah mencari sumber informasi, entah itu mencari narasumber, pergi ke perpustakaan, atau melakukan riset, maka Gen-Y cukup membuka Google dan dengan sekejap mengetahui segala yang harus diketahui. Tidak perlu proses bertele-tele, tidak perlu bersusah payah seperti Daniel si Karate Kid. Semua informasi sudah ada di genggaman tangan.

Apakah kekuatan instan di atas adalah hal yang jelek? Tentu tidak! Internet, Google, smartphone adalah ‘kekuatan super’ yang layak disyukuri dan dimanfaatkan, layaknya Spiderman. Tetapi ada pesan bijak yang juga datang dari film yang sama: “With great power comes great responsibility.” “Power” yang hebat, tanpa disertai “Responsibility” (tanggung-jawab) yang besar, juga bisa membawa kesulitan dan bencana.

Bagi gw, “responsibility” ini bisa bermakna luas sekali di dalam konteks dunia kerja, tidak hanya menyangkut penggunakan informasi instan. Responsibility di sini bisa mencakup semua “soft-skills” yang diperlukan dalam dunia kerja. Ketekunan, kesabaran (dalam tugas dan karir), kemauan belajar, kerendahan hati, cara berhubungan dengan manusia lain (interpersonal skill), dan lain-lain. Ada banyak soft skill yang tidak bisa diperoleh semudah meng-klik tombol mouse atau touchpad. Hal-hal tersebut datang dari jam terbang, dari jatuh bangun di tahun-tahun awal, dari berinteraksi dengan berbagai tipe orang, dari ketekunan mengerjakan segala hal, bahkan yang terkesan remeh sekalipun. Dengan kata lain, kegiatan yang terlihat seperti “mengosek lantai” pun sebenarnya bisa menjadi bekal yang berguna dalam membangun karir di jangka panjang.

Gw kagum bercampur iri dengan para profesional Gen-Y, karena mereka mengawali karir dengan support teknologi informasi yang luar biasa. Merekalah para Spiderman masa kini. Tetapi mungkin, para Spiderman ini pun bisa memetik manfaat dari belajar “mengosek lantai”.

🙂

Categories: Random Insight

13 Comments »

  1. bagus banget bahasannya, om piring. saya sendiri sebetulnya termasuk Gen-Y, tp justru dgn cara pikir seperti Gen-X, soalnya sudah terbiasa begitu sejak dr kuliah. saya kuliah di sastra Jepang, dan setahu saya memang begitu cara kerja org Jepang. kalau di kantor, junior yg baru masuk mah harus rela ngerjain apa aja, yg bukan tugas mereka sekalipun. mulai dr yg remeh-remeh kayak angkat telfon, fotokopi, bikin minum untuk tamu, dll. waktu kerja di kantor pertama pun (perusahaan Jepang), saya pernah ngosek, tp bukan lantai, melainkan bak kamar mandi kantor 😀 memang kelihatannya remeh banget, tapi justru yg dasar-dasar itu penting. contohnya yg paling simpel fotokopi. saya jamin nggak semua orang bisa kalau disuruh fotokopi sendiri. selama ini kita terbiasa fotokopi ya di tempat fotokopian, tinggal kasih ke abangnya, beres deh. sejak kerja, baik diperusahaan lama maupun tempat kerja yg sekarang, saya jadi bisa kirim fax sendiri, fotokopi sendiri, sampai bikin kopi sendiri buat klien. nggak gampang loh bikin minum utk tamu/klien. karena walaupun keliatannya remeh banget, tp cara kita menjamu klien itu akan meninggalkan kesan di mereka. skrg saya sedang menjalani training di kantor pusat di Osaka. om bakal kaget nggak kalau saya bilang di perusahaan Jepang itu nggak ada OB. petugas kebersihan memang ada, tp jatuhnya mengurus gedung, bukan perusahaan. kalau di kantor saya, kalau ada klien yg datang, yg bikin minum ya orang manajemen sendiri. saya pikir ini salah satu alasan kenapa jepang bisa begitu maju. mereka fleksibel dan menguasai semua dasar-dasar yg diperlukan, jadi betul-betul profesional sejati kalau menurut saya. kapan ya orang kita bisa seperti itu? 😀

  2. Hm, ga heran gue (gen X) langsung pening waktu denger sepupu gue (gen Y) yang ribut mau kerja kantoran cuma setahun aja, abis itu mau keliling Asia. Duwite dari mana Ommmm… Ceritanya mau keluar-masuk hutan Kamboja tapi mesti beli iPad dulu biar ga nyasar! *lahkokcurhat*
    Love your piece of mind anyway, Om, always do!!

  3. saya termasuk gen Y yang sangat mendambakan yang instan2 dan serba cepat, tapi syukurlah, lingkungan sekitar saia yang kebanyakan adalah gen X menggembleng saia dengan cara generasi mereka. Jadi mau ga’ mau saia harus menikmati proses untuk menuju tingkatan karir yang lebih tinggi. Ibaratnya, usaha yang kita lakukan, berbanding lurus dengan kesuksesan yang akan diraih. Makasih om piring sudah atas inspirasinya pagi ini 🙂

  4. keren om…

    ngena banget. saya mungkin salah satu oknum dari generasi Y, yang akhirnya ‘menyerah’ karena kantor belum memberikan sesuatu yang pas dengan hati saya. membaca tulisan om, saya jadi nunduk, karena memang, sering, saya ingin menjadi superhero, tapi dengan memperoleh kekuatan serba instant..

  5. *ikutan nimbrung*

    Bener banget sih kata-kata lo mengenai generasi Spider-Man. Tapi bukannya karena teknologinya udah maju makanya tuntutannya juga dinaikin ya? Basically, gue melihat bahwa kesalahan informasi kecil jadi tidak bisa dimaapin 😦

    argumen lain adalah: karena banyaknya informasi yang didapat oleh Spidermen.. membuat kita keleyengan pusing overload. Maka dari itu kita ingin jadi Specialist! *Hidup spidermen 🙂

    • Kayanya cerita superhero2 tadi udah jauh di generasi sebelum karate kid ya om, cuma kebetulan sekarang lagi heboh remake. Bahkan mungkin yg nanem benih ide instan tadi generasi x keatas :p

  6. dulu waktu SMA, sekolah saya deket, jalan kaki cuma 10 menit tapi karena males jalan kalau pagi selalu minta dianterin ayah naik mobil yang mana cuma 2 menit sampai sekolah.
    ayah selalu bilang ‘manja banget, dulu waktu sekolah ayah mesti jalan kaki jauh banget berangkat jam 4 pagi dari rumah.’

    waktu SD dulu pernah ngadu waktu tangannya dipukul pakai penggaris kayu sama guru. dihukum gara2 nggak kerjain PR. tapi orang tua nggak protes ke sekolah tuh, katanya ya gara2 salah saya sendiri kenapa PR nggak dikerjain. terus ayah juga bilang dulu gurunya di sekolah malah lebih galak lagi sampai ditendang di pantat kalau nggak kerjain PR.

    coba kalau jaman sekarang, pasti itu sekolah udah diprotes dan dibahas di berita2.

    generasi Y sekarang pun memiliki tantangan yang besar. di era global ini, persaingan malah makin keras. kayak di kantor saya, perusahaan asing yang kantornya ada di banyak negara. persaingan karir nggak cuma sama sebatas di kantor Jakarta doang, tapi juga bersaing sama temen2 yg dari kantor China, india, singapur, dubai…

    tapi ya seperti yang om bilang, ada soft-skills yang perlu kita punya. jaman skr informasi melimpah, orang bisa dapet ilmu atau pengetahuan darimana saja, tapi soft-skills yang membedakan kita. jadi selain intelejensi doang yang diisi, karakter kita pun perlu diasah. ya seperti di karate kid, musti mau belajar mengosek lantai.

    kalau saya sih sukanya sama ramen girl om, di situ Abby yang pengen belajar ramen juga awalnya cuma disuruh bersih2 doang. sampai saatnya dia dinilai sudah siap, baru deh dia diajarin bikin ramen. analoginya sama. 😀

  7. Gw termasuk golongan Gen-X. Kebetulan Di kantor gw banyak banget Gen-Y nya. Harus gw akui Gen-Y itu bekerja cepat dan sangat fasih teknologi. Heran gw, apa aja yg gw minta selalu mereka bisa dapetin. Butuh referensi A, dapet. Butuh referensi B, dapet juga. Semua dalam hitungan jam – bahkan menit- saja. Hebat euy!
    Tapi sayang, saking cepatnya mereka bekerja sering kehilangan roh. Maksudnya heart n soul nya ga ada. Mau foto keren, tinggal instagram atau cari plug-in. Mau website keren, tinggal cari script yg kick-ass dan di copy-paste. Hilang sudah semangat Daniel dan Miyagi-san yg rela ngosek lantai berjam2 demi kesempurnaan sebuah tangkisan…

  8. Saya justru bersyukur jadi gen X yg mencicipi sedikit gen Y. Punya kebijaksanaan analog dimana segala sesuatu melalui proses dan jam terbang, tapi tau bagaimana kecepatan menjadi hal penting di gen Y.

Leave a Reply to Apulala Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s