Review Awam Menjadi Ayah Di Usia 40-an. Part 4. FINISH. Janji!
Akhirnya, sampai juga saya di penghujung cerita ini. Fiuh, gak nyangka sampai empat bagian! Di Part 3, saya sudah menjelaskan seluruh proses di hari kelahiran.
Bagi yang terlewatkan, silahkan catch-up dulu dengan cerita sebelumnya di link berikut:
Review Awam Jadi Ayah di Usia 40an – Part 1
Review Awam Jadi Ayah di Usia 40-an. Part 2.
Review Awam Jadi Ayah di Usia 40-an. Part 3!
Kita terusin yaaa. Tinggal sedikit kok cerita saya.
Soal ASI yang bikin stress….
Kami sudah tahu bahwa ASI itu penting, canggih, terbaik, mutakhir, sakti mandraguna, dll, dll. Dan saya rasa Indonesia adalah salah satu negara terbaik soal pendidikan dan kesadaran pentingnya ASI. Saya pernah menghadiri presentasi survei tentang kesadaran ASI yang dibawakan oleh orang asing, dan dia memberikan komentar bahwa obsesi ibu Indonesia akan ASI bahkan melebihi ibu-ibu dari negara asalnya Inggris.
Yang saya ingin share di sini adalah “sisi gelap” dari obsesi terhadap ASI ini, yaitu pressure kepada sang ibu.
Sesudah istri saya melahirkan, tentunya dia ingin memberikan ASI. Tetapi ternyata ASI-nya belum keluar, dan ini membuat dia mulai khawatir. Kemudian datanglah “suster ASI” yang spesialis mengajarkan cara memberi ASI. Saya melihat bagaimana payudara istri diremas dengan keras sampai istri kesakitan agar ASI-nya bisa keluar. Tetapi memang istri saya termasuk yang tidak banyak produksi ASI-nya. Selain itu, ternyata bentuk puting payudara dianggap tidak optimal, sehingga sulit bagi bayi untuk mengenyot (sumpah saya gak tahu Bahasa Indonesia resmi untuk ‘kenyot’ apaan….)
Buat temen-temen yang tidak pernah mengalami, tidak bisa membayangkan betapa frustrasinya ketika melihat sang bayi berusaha menyusu, tetapi kesulitan karena susu yang susah keluar, ataupun bentuk puting yang tidak mendukung. Sang bayi menangis frustrasi, dan sang ibu pun turut frustrasi dan stress. Dan saya sebagai suami pasti ikut stress.
Belakangan sesudah kami pulang dari RS, ASI istri memang akhirnya keluar (harus dibantu breast pump sewaan yang bentuknya kayak pompa pengeboran minyak dan sedotannya kenceng kayak Shimizu). Tetapi jumlahnya tidak pernah cukup. Istri saya sudah mengkonsumsi daun katuk segala, tapi ya tidak banyak menolong. Istri saya harus pontang-panting mendapatkan ASI donor (yang untungnya bisa diperoleh dari sahabat dekatnya sendiri yang bisa dipercaya keamanannya). Persediaan ASI istri pun tidak bisa bertahan lama. Menjelang akhir bulan ketiga, ASI sudah tidak keluar lagi, dan kamipun terpaksa harus mulai menggunakan kombinasi susu formula dan ASI donor. Yang penting, anak harus mimik.
Menurut ibu saya, ternyata saya sendiri tidak minum ASI saat bayi. Alasannya lebih malesin lagi, kataya saya males nyedot saat bayi. Payah banget. Bukannya ibu saya tidak mau memberikan ASI kepada saya, tapi ya ada faktor lain yang menghalangi, dalam hal ini bayi yang malas nyedot. (Herannya sesudah dewasa sih saya malah seneng nyedot. Nyedot bubble tea seneng banget….) Jadi bisa dibilang saya ini contoh akibat tidak diberi ASI. Lumayan lah ya, walau sering error OS-nya…..
Maksud saya menulis di atas sama sekali tidak untuk mengecilkan pentingnya ASI. Saya tetap percaya bahwa yang datang dari manusia ya yang terbaik untuk manusia, dan ASI, seperti sandal Carvil, tetap yang terbaik. Tapi gerakan “ASI Nazi” yang berlebihan dan tidak empatik (bahkan menghakimi) bisa menciptakan rasa stress dan inferior bagi sang ibu. Kenyataannya, tidak semua ibu dianugerahi payudara seproduktif produsen susu Ultra. Ada yang memang ASInya banyak tumpah ruah, ada yang sedikit. Ya gimana, bukan maunya sang ibu juga. Dan kami hanya berusaha yang terbaik agar sang bayi tetap mendapatkan nutrisi yang memadai.
Soal membesuk ibu melahirkan….
Oh iya, mau membahas soal hal gak penting tapi penting, yaitu soal membesuk ibu yang baru melahirkan. Kalo saran saya, janganlah terlalu cepat membesuk ibu yang melahirkan. Apapun cara melahirkan yang dipilih (alami, caesar, beranak dalam kubur, dll), sang ibu pasti merasa sangat lelah. Pun sang ayah baru. Mungkin juga karena kami yang juga sudah tidak muda lagi, tapi kami saat itu butuh istirahat dulu sebelum bisa menerima tamu (di luar keluarga dekat). Apalagi sang ibu yang pasti merasa tidak kece jika dalam keadaan lelah.
Kalau saran saya, datanglah di hari kedua (atau ketiga). Atau kalau perlu sesudah sang ibu pulang. Tapi jangan lah di hari pertama saat baru lahir. Beri kesempatan bagi si ibu baru untuk beristirahat. Tapi ini saran saya saja lho.

Bersama ibu mertua dan dokter SpOG Nando yang menjadi dokter sejak kehamilan trimester kedua sampai melahirkan. IYE DOKTERNYA GANTENG GW TAHU!
Memberanikan diri untuk menggendong!
Saat baru hari ketiga di rumah sakit, saya memaksakan menggendong sang bayi. Jujur, saya grogi dan takut banget pastinya, apalagi saya bukan tipe yang biasa bermain dengan bayi sebelumnya. Bayi baru lahir itu terlihat ringkih sekali rasanya. Tapi saya pikir, saya bapaknya, dan momen baru lahir ini tidak akan terulang. Jadi saya meminta suster untuk memindahkan si bayi ke tangan saya. Dan rasa menimang anak sendiri yang baru lahir memang precious sekali.

Pertamax gan!
Pulang, dan seterusnya….
Kelahiran anak emang momen bahagia untuk semuanya…sampai saat si bayi pulang dan tinggal bersama kami. Perjuangan pun dimulai. Dan yang paling terasa adalah episode “TIDUR YANG DIRINDUKAN”.
Begitu punya bayi, SAY GOODBYE TO SLEEP!! Si bayi akan sering bangun tidur, dengan jadwal yang tidak kooperatif dengan kita. Selama kita tidur di malam hari, dia bisa terbangun setiap dua jam sekali (untuk minum atau pun mengganti popok). Jujur, ini bagian berat buat saya, yang biasanya tidur butuh minimal 7 jam (tanpa interupsi) supaya bisa punya mood yang bagus dan konsentrasi untuk bekerja. Ya udah, dengan hadirnya si bayi, kami yang harus beradaptasi dengan lack of sleep ini. Untungnya istri saya dari dulu lebih fleksibel soal kebutuhan tidur.
Awalnya memang badan saya protes berat terhadap perubahan kebiasaan ini. Dan awalnya susah sekali untuk berkonsentrasi di pekerjaan saat kekurangan tidur. Tetapi saya perhatikan badan saya pun bisa sedikit menyesuaikan diri. Saat bayi terbangun, saya mulai lebih cepat untuk melek banget dari mimpi ketemu Blake Lively, dan bisa membantu sedikit – dari sekedar menghangatkan susu, atau membantu istri mengganti popok.
Perlahan, pola tidur si bayi pun mulai membaik. Melewati usia 3 bulan, bayi kami sudah lebih stabil tidur sekarang. Dalam semalam hanya terbangun 1-2 kali saja. Not bad kok.
Soal berbagi peran
Bagaimana peran ayah dalam mengurus bayi? Setiap keluarga saya rasa punya style-nya sendiri, dan ini bisa dipengaruhi budaya juga. Menurut ibu saya, ayah saya sama sekali tidak ikutan mengurus anak-anaknya saat masih bayi. Mengganti popok pun tidak. Semua diserahkan ke ibu saya. Sebagian ayah merasa bahwa perannya adalah mencari nafkah, jadi mengurus anak sepenuhnya adalah urusan ibu.
Saya pribadi memilih ikut membantu istri sebisa saya. Ada beberapa task yang masih saya serahkan ke istri (misalnya memandikan bayi) karena menurut saya dia bisa melakukan dengan jauh lebih baik atau lebih aman, tetapi hal-hal “gampang” yang bisa saya lakukan, ya saya lakukan. Misalnya, membuat susu, menyiapkan alat-alat mandi dan air untuk mandi, mengganti popok pipis (soalnya kalo popok pup saya pingsan gak bisa bener2 bersih), menyusui sang bayi (dengan botol, bukan dengan tetek saya sendiri tentunya), atau sekedar menimang2 saat si bayi lebih suka digendong daripada di box.
Jujur saja, saat sang bayi terbangun di tengah malam, istri masih yang pasti terbangun dan mengurus dia. Tapi ada saat-saat di mana saya memaksakan diri ikut bangun dan minimal menjadi “asisten”

Protip: apron sangat membantu dalam mencegah ‘serangan’ tak terduga saat mengganti popok
Bagi saya, pasti ada hal sederhana yang bisa saya lakukan untuk membantu, sekecil apapun itu. Karena saya melihat berat sekali peran ibu dari seorang anak yang masih bayi – apalagi jika tidak ada nanny atau Asisten Rumah Tangga (ART).
Kalo tidak mau berpartisipasi langsung dalam urusan bayi, minimal kita para ayah bisa membantu mengurangi beban istri. Jika tidak ada ART, kita bisa membantu dengan mengurangi pekerjaan rumah dari hal-hal kecil. Misalnya mencuci piring dan gelas sendiri sesudah makan. Atau bagi para suami yang terkenal berantakan (seperti saya), bisa sedikit saja lebih rapi dan mengurangi keberantakan rumah. Mungkin terdengar sepele, tapi sedikitpun kita bisa membantu mengurangi pekerjaan sang ibu, itu sudah berarti. Moto sederhananya: Kalo gak bisa membantu, minimal gak nambah kerjaan.
Jadi Ayah di Usia 40-an. Enak dan Gak Enaknya.
Sudah lewat 3 bulan usia bayi kami. Looking back at the whole process, apa yang bisa saya tarik soal menjadi ayah di usia 40-an? Apalagi judul seri blog kali ini adalah “review” – jadi harus ada penilaian tentang jadi ayah di usia yang tidak muda lagi dong?
Supaya mudah , saya bagi saya jadi “pro” (positifnya) dan “con” (negatifnya).
Sisi positifnya menjadi ayah di usia 40-an:
- Kematangan keputusan. Kami mengambil keputusan memiliki anak dengan jauh lebih dewasa, melihat dari banyak kasus lain di sekitar kami. Kami memiliki anak bukan karena desakan orang-tua, sekedar menuruti ekspektasi masyarakat, atau trend Instagram.
- Kematangan finansial. Memiliki anak di usia ini membuat kemampuan finansial kami lebih baik, karena kami sudah menabung dan berinvestasi lebih lama. Ada fleksibilitas dalam mengambil keputusan karena kondisi keuangan yang lebih baik.
- Pekerjaan/karir. Di usia ini, kami relatif sudah melewati fase “mati-matian membangun karir” yang umum terjadi di usia 20an sampai 30-an awal. Bukannya kami tidak harus masih bekerja keras, tetapi kami tidak harus membuktikan diri sekeras saat masih berusia 20-an. Hal ini artinya pekerjaan sudah tidak terlalu bersaing soal waktu dan tenaga kami dengan urusan bayi.
Apa gak enaknya?
- Stamina fisik. Di saat orang lain sudah memiliki anak berusia ABG/remaja saat mereka berusia 40, saya masih punya anak bayi. Saat anak saya berusia remaja nanti, saya akan menginjak usia 50. Apakah saya masih punya energi untuk mengejar2 anak ini nyasar ke toilet wanita di mall? Apakah saya masih punya energi saat dia menjadi remaja pria yang lagi aktif-aktifnya? Jujur pertanyaan itu menghantui saya.
- Keuangan jangka panjang. Di sisi lain, kami sudah menabung lebih banyak sebelum si anak lahir. Di sisi lain, saya harus lebih matang memikirkan rencana keuangan, karena saat sang anak masih kuliah, saya sudah melewati usia pensiun! Ini tentunya akan jadi beban pikiran juga, walaupun bisa jadi motivasi untuk lebih serius merencanakan rencana finansial jangka panjang.
Itu dari sisi ayah. Untuk sisi ibu, ini yang saya dapati dari pengalaman ini.
Like it or not, there is biological clock. Ada jam biologis yang terus berdetak di tubuh ibu, dan ini bisa memengaruhi kesehatan si anak. Seperti sudah disinggung di bagian 1, ibu yang hamil di atas usia 35 tahun mengalami peningkatan resiko anak memiliki cacat genetis.
Faktor usia pun tidak hanya berlaku bagi sang calon ibu. Saya pernah membaca artikel bahwa kualitas genetik sperma pun terus menurun mulai usia 35-an. Semakin tua sang calon ayah, semakin banyak gen rusak yang dibawa sperma, dan ini bisa mempengaruhi kesuburan, kehamilan, sampai kualitas janin. Artikel: https://www.newscientist.com/article/mg21929275-500-mens-sperm-quality-decreases-at-age-35/).
Tentu ada yang berkata, “AH ITU ENGKONG2 DI RT SEBELAH KAWIN SAMA PERAWAN PEDANGDUT TOH ANAKNYA BAIK2 AJA” Ini kesalahan berpikir awam yang umum (sama seperti komentar “Kakek saya perokok berat matinya di usia tua juga, bukan karena kanker, tapi ketiban kelapa”). Pasti banyak anekdot/kisah yang kesannya tidak mendukung nasihat dokter/artikel medis – tetapi itu karena kita tidak bisa berpikir secara statistik/probabilistik. Probabilita sesuatu yang tidak mengenakkan memang susah dirasakan, apalagi jika relatif rendah – tetapi siapa yang mau ada di situasi tersebut?
Tentunya saya tidak menganjurkan nikah muda (dan punya anak di usia muda). Ada lebih banyak lagi alasan kenapa menikah (dan memiliki anak) di usia terlalu muda justru merugikan (baik secara biologis, psikologis, maupun finansial). Tetapi kita juga naif kalau mengabaikan faktor umur sama sekali. Jika kamu memang berencana ingin punya anak, faktor umur bukan sesuatu yang bisa kamu tepiskan begitu saja. Itu saja pesan saya.
Penutup
Sekian saja sharing saya mengenai pengalaman menjadi ayah di usia 40-an. Seperti disclaimer di awal bagian 1, seri blog ini hanyalah “review awam” – datang dari seorang ayah amatir, dan tidak bisa menggantikan opini pakar. Jadi anggap saja blog ini sekedar cerita teman – semoga ada yang bisa dipetik, minimal menghibur mengisi waktu – tetapi jangan dijadikan pedoman mutlak.
Oh iya, blog ini belum selesai. Berikutnya di Part 5 saya akan menjelaskan tentang tips-tips…..BECANDA! UDAH SELESAI INI! AMPUN! CUKUP SAMPAI PART 4 SAJA!! Lanjutannya mungkin masih nanti-nanti saja yaaa, seiring bertambah dewasanya anak kami ini, dan bertambah lagi drama dan pelajaran baru dari perjalanan menjadi ayah ini…..
Terima kasih untuk yang sudah mengikuti kisah ini dari awal sampai selesai! 🙂
Categories: man and woman, Random Insight, Uncategorized
Setahun yah cerita ini ditulis. Akhirnya, selesai juga di awal tahun. :’)
Senang membacanya, meski saya sendiri tidak tahu rasanya, karena belum dikaruniai. Terima kasih sudah berbagi.
yaaaah udahan sampe part 4 doang 😦 padahal seru ada Mickey sama gerobak roti Tan Ek Tjoan…. Semangat terus Omm segala rintangan pasti bisa dihadapi!! Saya dulu ikut bantuin kakak saya buat ngurusin anaknya waktu 3 bulan pertama, jadi lumayan ngerti juga rasanya jam tidur ‘digangguin’ bayik.
By the way, waktu dulu Om pernah ngetweet atau answer ask yang kurang lebih isinya “istri saya lagi ngga bisa traveling dulu” saya udah nebak2 KAYAKNYA HAMIL NIH. Pas akhirnya Om bilang istri om hamil beneran, masa saya ikut seneng beneran, gitu. Saya sampe kasih tau ke temen2 (yang tau Om Pir juga) kalau akhirnya Om bakalan punya anak. Pas akhirnya lahir saya lega dan seneeeeng banget. Sampe sekarang selalu excited setiap lihat foto baby Kai di IG om atau di Insta Stories.
Semoga Kai jadi anak yang berbakti ya Om! bisa nularin semua unsur2 cool dari papa mamanya. Aaaamiiiin! Sehat selalu ya Om Pir dan istriii biar tetap prima ngurusin Kai!!
Hahaha bener firasat kamu. Amin doanya. Terima kasih Meyliaaaa.
Alhamdulillah hataaammm!!! 😂
Lucu bangetttt!! Pengen banget deh bisa nulis seasyik om Pir! Tapi selain itu, jadi tersadar juga, hidup itu masalah dan permainannya emang gak akan selesai-selesai ya. Sudah lulus SMA, kuliah, selesai skripsi cari kerja, habis kerja ditanya nikah, habis nikah kapan punya anak, sudah punya anak, nanti ditanya anaknya jadi apa… gituu terus 😂😂
Tapi sekali lagi selamat, om Pir dan istri! Semoga kalian sehat bahagia selaluu.. Doain kami-kami yang sudah umurnya untuk bisa segera menikah dan punya anak juga ^_^
Terima kasih juga sudah membaca Hani. Iyaaa semoga tercapai cita2 kamu juga ya.
ASI Nazi, hahahaha…..sehat2 om, iya sih ya, pas debay (dedek bayi) dah masuk kuliah, om udah pensiun atau udah tua banget. Semangat om !!!
Heh, hiks.
Akhirnya selesai juga baca Part 2, 3, dan 4 sekaligus. Thank you buat sharingnya Om Piring! Menarik dan jenaka, tapi tetap bermanfaat sekali buat saya pribadi ^^ Semoga sehat-sehat selalu sekeluarga yah! (nanti mau ngintip di IG dan IG stories ah buat lihat update2 terkini hihi). Happy New Year 2017 and all the best!
Abang pacar udah 35, fix tahun depan kawin, khawatir soal spermanya, belum lagi kalo jalan keluarnya ternyata berkelok 9. Terima kasih ketua atas pencerahannya!
So sweet sekali tetraloginya >.<
Konsep "menikah tapi tidak ingin punya anak" masih sulit diterima di lingkaran saya. Jadi sering ngelihat orang-orang yang punya anak ya karena seperti keharusan setelah menikah dan diteror terus "kapan punya anak?" dan bukannya karena kesadaran memang ingin punya anak.
By the way, karena baca tetraloginya om Piring, langsung semangat menyelesaikan draft post proses melahirkan yang selama ini terdiam di pojokan. Terima kasih om! Salam untuk Kai dan istri 😀
Pengalamanku juga hampir sama. Aku dari sisi cewek & setahun lebih tua dari Henry. Nikah sudah 9th, insem 1x gagal & akhirnya pasrah berdua2 sampe tua :p
Akhirnya hamil alami, samaan waktunya sama istri Henry & lahirnya 21 Sept.
Lahir caesar juga & ASI baru keluar hari ke-6. Terpaksa bayi dikasih campur formula + ASI. Aku ngerasain juga pressure dari para aktivis ASI. Beneran bikin stress per-ASI-an ini, sampe2 tensi 160/100 :p
Nambahin 1 contoh negatif dari stamina fisik ortu usia 40-an: boyok pegel kalo ganti popok kelamaan >.<
Oya, paling bentar lagi Kai sudah tidur semalaman. Anakku sudah gitu soalnya. Tidur semalaman & bangun jam 6 😀
Semangat ya!
Yay, terima kasih kabar baiknyaaa
Jadi inget sama kakak cewek gue, Om. Dia memang menikah di usia yang ga muda. Sekarang sudah 40 tp blm berhasil hamil. Sayangnya, sang suami (kakak ipar) seperti nggak antusias untuk memeriksakan diri atau ikut program bayi tabung dsb. Mungkin kayak yg Om Pir tulis di Part 1 kalau cowok merasa terganggu kalau disinggung soal kesuburan. Padahal kakak sudah pengen bgt punya baby mengingat usianya udah masuk kepala 4. Advice?
Hi om pir
Ini postingan yg sy tunggu2. Senang bacanya soalnya saya follower lama om…dari 2011 kali yah…n saya juga ibu baru, baru melahirkan juli kemarin. Oia mau ks tau aja dulu waktu th 2013 pas hadirin nikahan temen di Bali sy nyaris ktmu sm om tp om dtgnya hari senin, sy dtgnya hr selasa 😦 temen saya yg kawin bilang senin upacara adat, pst lo bosen jd selasa aja dtgnya.
Lalu senin mlm sy liat om post foto temen sy yg jd penganten bali yaaahhh ga jodoh …
Trus mei kemarin sy lg hamil 7 bln n lg babymoon ke bali eh liat om lg sm istri di kudeta. N br tau tnyata istrinya sdg hamil juga barengan 🙂
Sejak punya anak sy suka bacain pengalaman mommies2 di instagram. Satu2nya daddy yg sy tungguin ceritanya ya cm om. Anak sy jg lelaki n Sy jg caesar, combine asi n sufor n br jd ibu pas usia ud mau 35 tp suami sy mah belon 40. Dia brondong, desember lalu baru ultah ke 31 hihihi.
Selamat ya om pir n istri. Sering2 ya sharing pengalaman ngegedein anaknya. Btw sy n suami sering mrasa keabisan bahan kl lg main sm baby, om kadang ngrasa gt jg ga? Mdh2an sy n suami bs konsisten utk slalu luangin waktu utk anak kami n mdh2an anak sy bs jd cowok yg lucu n pintar ky om (suami sy pintar n lucu jg tp ga selucu om) haha.
Kebetulan ayah saya juga punya saya di usia 40 tahun Om. Saya juga anak pertama lagi. Jadi pengen share pengalaman dari sisi anak 🙋
Well, it was pretty hard. Ketika kecil, ayah saya udah cukup capek buat nemenin saya lari-larian. Jadi saya banyak menghabiskan waktu di rumah. Atau main sendiri. Saya belajar naik sepeda sendiri, saya belajar renang sendiri, saya belajar pakai sepatu roda sendiri. Jadi momen2 yang kayak di iklan2 ayah dan anak, sama sekali nggak saya rasain. Positifnya, saya jadi mandiri. Tapi negatifnya, saya jadi kehilangan sosok ayah di masa-masa itu. Selalu ada yang kosong di hati saya. Sampai sekarang. Bahkan saya kalau lihat ayah dan anak lagi momen berdua, saya pasti nangis karena iri. Bahkan ketika di usia saya yang udh mau seperempat abad :’)
Soal finansial, itu betul banget. Ayah saya pensiun ketika saya SMA, menjelang masuk kuliah. Untungnya ayah saya pekerja keras, jadi kebutuhan primer perkuliahan saya terpenuhi (spp, buku diktat, dll) Tapi ya itu. Ketika temen2 sepantaran saya bawa-bawa laptop ke perpus dan ke kafe buat garap tugas atau skripsi, saya bertahan dengan komputer jadul untuk garap semua itu (yang tentunya harus saya kerjakan di rumah). Ketika temen2 saya punya dana lebih buat penelitian, saya cuma punya 10 ribu rupiah buat bikin kuesioner, dan bayarin informan segelas es teh manis. Seriously, saya sempet nangis di atas motor waktu itu. Tapi mau minta lebih, saya nggak tega, karena saya tahu betul kondisi fisik dan finansial ayah saya waktu itu :’)
Belum lagi masalah psikologis. Mungkin karena gap usia saya dan ayah saya yang sangat jauh, bikin kami seperti ada jarak. Seperti mengobrol dengan sosok berbeda generasi, berbeda pikiran, dan pandangan. Ayah saya nggak bisa mengayomi saya pas saya di masa peralihan dari anak ke remaja, kemudian menuju dewasa. Mungkin juga didukung sifat ayah saya yang kaku dan konservatif.
Semoga Om Piring bisa menjadi ayah yang terbaik untuk Kai. Untuk Kai. Semoga tumbuh menjadi anak yang sehat dan berbahagia! 😃
Bagus banget om, kok bisa sih bapak2 nulis cerita kaya gini. Apalagi yang di part 4 itu kan isinya jeritan hati para ibu yang baru melahirkan , apa bener om ikut ngerasain juga. Tulisan ini mengingatkanku untuk banyak2 bersyukur karena bisa punya anak dengan cara yg alami , normal dan pastinya lebih murah. Setiap malam aku lihat wajah anak2ku yang lagi tidur pulas, dan ….terima kasih Tuhan . Makasih ya om
Uhhh, lega. Akhirnya selesai juga mbaca seri 1-4. Selamat ya om. Eh kapan Kai punya adik? 😁
Tega loe ah. Satu aja udah capek neh…
Om Piring, dokter Obgyn-nya single ga?
UDAH NIKAH. ISTRINYA CANTIK. ANAKNYA CAKEP.
Hi! Salam buat keluarga om piring, aku pun alumnus program bayi tabung 18 tahun yg lalu ahaha. Entah kenapa selama ngikutin review ini jadi ikut terharu, jadi inget cerita perjuangan mama sama papa buat punya anak. Thanks for sharing the story. Semoga anaknya tumbuh sehat ya, om.
Seru banget baca blog Mas Henry, tulisannya serius sekaligus menghibur. Selamat udah jadi ayah ya Mas! Ditunggu cerita-cerita seru lainnya. 🙂
Seneng bacanya 😁
Setelah baca tulisan om pir, aku jd ingin beli bukumu om. Aku enjoy sekali bacanya, sukaaa!! Semoga om pir, istri, dan kai sehat selalu yahhh. Tabur cinta untuk ompir sekeluarga ❤💓💕💖💗💙💚💛💜💝💞💟
Wah telat banget bacanya om… Langsung kukebut 4 part nih. Ngga tau kenapa, aku turut bahagia, padahal kita ga saling kenal hehe. Mengingat perjuangan kalian dan keputusan memiliki anak (yang tidak hanya karena tuntutan biologis) sangat membuka pikiranku. Semoga tulisan om pir memberi banyak manfaat. Salam manis untuk dik Kai, dia sangat beruntung 🙂
Terima kasih Mira!
Hai, om!
Aku terharu banget bacanya, om sebagai suami pengertian bangeeettt! Anaknya juga lucu lagi, yaampun, selamat ya om 😍😍😍
Semoga Kai, istri dan om bisa terus sehat dan bahagia. Nanti kalau Kai udah gede, sharing tips parenting ya, om kalau ada waktu luang! 😁
Amiiiin. Terimakasih doanya Vira!
hi Om! Salam kenal 🙂 #sokkenal saya kebut cerita reviewnya 4 part dalam istirahat makan siang hari ini 😀 Padahal awalnya saya baca review Audeze tadi 😀
entah kenapa saya terharu campur ketawa ketiwi baca ceritanya. Sangat mengena sebenernya Om, mengingat saya sendiri dalam masa-masa menunggu kelahiran si calon baby di kandungan saya saat ini 😀
Serasa saya dapat beberapa pencerahan dalam drama kehamilan dan bakal orang tua baru..
Semoga Om dan keluarga sehat terus yaa.. Baby Kai is soo adorable ❤
really love your blog om… mewakili cewe dan ibu banget, apakah dikau memang se “perasa” itu dalam memahami kami?beruntungnya wanita yg di sampingmu itu hehe… semangat ya om dan tante piring, kiss kiss utk kai :*
Ga sengaja ketemu blog ini karena baca review Samsung Gear S2. Tapi ternyata malah ada review awam yang menurut saya sangat menarik dibaca. Bahkan saya sampe hampir netesin air mata liat anaknya om pir (padahal saya cowo). Selamat ya Om Pir, akhirnya perjuangan membuahkan hasil.
Saya dan istri juga lagi program. Doakan kami juga berhasil dan istri hamil serta melahirkan secara baik (entah normal atau caesar). Sehat terus ya Kai…
Hi Akbar, saya doakan programnya lancaaaar. Jangan stres, tetap berdoa dan ikhlas. Ditunggu kabar baiknya yaaa. 🙂
Syukur Alhamdulillah, kabar baik itu akhirnya datang. Istri saya dah hamil 5 bulan Om Pir. Terima kasih atas dukungan dan sarannya…