Terapan Konsep Marketing Dalam Perjodohan
Belum lama ini, saya ngobrol dengan sahabat perempuan saya yang masih single. Sebut saja namanya Karin. Karin ini sudah berusia di atas 30-an, menurut saya orangnya menarik dan smart. dengan karir yang terus menanjak. Saat ini Karin masih menjomblo, dan ngobrol untuk curhat.
Karin: “Gw takut gak dapet pendamping hidup nanti….”
Gw: “Kenapa sih elo gak memperbanyak nge-date? Kayaknya gak susah deh buat elo nyari temen nge-date”
Karin: “Ada sih yang mau ngajak kenalan, tapi temen-temen deket gw protektif banget menyaring. Gak boleh ini-itu, harus kualitasnya oke banget sebelum dikenalin ke gw, dll, dll…Akhirnya jadi gak ada yang bisa ngedate gw deh….”
Glek. Mendadak gw merasa situasi ini cukup familiar. Seorang cewek single yang sebenarnya menarik bagi lawan jenis, tapi “dipagari” oleh teman-teman dekatnya yang “bermaksud baik”, tapi justru malah mungkin merugikan kehidupan asmaranya. Kenapa merugi? Di sini kita bisa meminjam sebuah konsep dalam dunia marketing.
Dunia marketing mengenal konsep Marketing Funnel, yang berguna menjelaskan berbagai situasi di mana konsumen berada terhadap sebuah merek.

Sumber: blogaweber.com
Para praktisi marketing yang sudah kenal dengan model ini, bisa skip paragraf berikut. Bagi yang tidak familiar, bisa saya jelaskan dengan ilustrasi singkat.
Bayangkan ini adalah marketing funnel saya sebagai pembeli mobil:
- Awareness: merek mobil apa saja yang saya sekedar “tahu” bahwa merek itu ada di Indonesia? Untuk saya: Toyota, Mazda, Honda, Nissan, BMW, Mercedez, Tata, Suzuki, Daihatsu, Renault, Mitsubishi, Citroen
- Consider: saat saya beneran mau membeli mobil, merek apa yang akan saya serius pikirkan? Untuk saya: Toyota, Honda, Nissan, Mitsubishi. Perhatikan ada banyak merek yang ada di level awareness di atas sudah hilang di tahap consider. Ini bisa terjadi karena banyak faktor. Misalnya, faktor persepsi mahal (Mercedez, BMW terlalu mahal untuk saya), faktor persepsi kualitas (Tata? Males ah), atau sekedar persepsi model yang cocok (Suzuki kayaknya gak ada yang pas untuk gw).
- Conversion (atau transaksi): Akhirnya merek apa yang saya beneran beli. Merek mobil saya sekarang adalah Honda. Toyota, Nissan, dan Mitsubishi kembali “drop out” dari tahap consider, karena berbagai faktor. Tidak ada model yang menarik atau harganya pas, atau adanya promo menarik dari Honda saat saya membeli.
- Loyalty. Jika saya berikut kali membeli mobil kembali memilih Honda, maka saya menjadi seorang customer setia Honda.
- Advocacy. Jika saya tidak hanya setia pada Honda, tapi aktif memberikan rekomendasi ke orang lain mengenai Honda, maka saya tidak hanya loyalis, tapi juga “advocate” bagi brand Honda.
Marketing Funnel juga bisa dilihat dari perspektif si brand. Bisa saja sebuah brand memiliki awareness tinggi (dikenal namanya oleh banyak orang), tapi banyak orang yang drop out gak nyampe consider (karena apapun alasannya: tidak tahu banyak tentang brand tersebut, merasa susah dicari produk/informasi tentang produk), atau tidak percaya pada kualitasnya, dll). Atau awareness tinggi, consideration tinggi, tapi conversion/sales-nya gak kejadian, mungkin karena barangnya susah dicari, atau ternyata terlalu mahal, dll. Jika sudah convert/membeli tetapi kemudian pindah ke lain hati, mungkin karena ternyata user experience-nya tidak memuaskan, rasanya gak enak, atau brand kompetitor lebih pintar memikat hatinya.
Marketing Funnel bukan sebuah konsep sempurna, dan ada banyak variasinya. Selain itu model funnel ini relevan untuk beberapa kategori produk, tapi tidak untuk yang lain. Contoh, membeli produk mahal (motor, mobil, apartemen, hape) mungkin perlu fase-fase di atas di mana konsumen harus berpikir panjang. Tapi ada kategori produk yang dari aware bisa langsung ke conversion tanpa pemikiran panjang, misalnya mencoba cemilan/minuman ringan baru, proses pertimbangannya tidak sepanjang itu karena tidak mahal.
Walau tidak sempurna, tetapi konsep ini cukup untuk topik kita saat ini. Yang penting adalah kenapa dinamakan ‘funnel’: karena bentuknya seperti ‘corong’, dari besar ke kecil (dan tidak mungkin sebaliknya). Karena tidak semua yang aware akan sebuah produk mau mempertimbangkan produk itu, dan tidak yang semua yang dipertimbangkan akhirnya akan benar2 dibeli.
Hubungannya apa dengan kisah Karin? Well, jika marketing funnel kita adaptasi menjadi jodoh funnel, makanya bentuknya menurut gw akan mirip. Saat kita mencari pasangan, kita akan aware banyak orang. Tetapi tidak semua orang itu akan kita pertimbangkan sebagai pasangan (terjadi drop out). Dan dari beberapa yang kita pertimbangkan sebagai pasangan, akhirnya hanya satu/dua yang bener2 dijadikan pasangan/conversion (terjadi drop out lagi). Sesudah jadian pun belum tentu kita/dia mau tetap loyal kan?
Gw merasa dalam kasus Karin, jodoh funnel-nya sudah dibatasi dari atas. Kalau teman2 Karin terus membatasi siapa yang bahkan boleh mengajak berkenalan/dating (dan Karin nurut aja), padahal kita tahu kenal aja belom tentu di-consider, apalagi jadian, bagaimana kans mendapatkan pacar (conversion) bisa besar?
Nyari jodoh, seperti memasarkan brand, adalah numbers game. Brand yang mau berkomunikasi menjangkau (reach) sebanyak2nya orang (yang relevan) akan punya kans lebih besar membuat mereka mau meng-consider brand tersebut, dan akhirnya membelinya (sukur2 happy dan terus membeli brand yang sama). Jika funnel makin diperlebar di bagian atas, tentunya peluangnya yang lolos terus sampai ke bawah juga makin besar.
Begitu juga dengan jodoh funnel. Kalau kita terlalu membatasi interaksi kita dengan potensi pasangan, maka kita sudah mengecilkan funnel dari sejak awareness. Boro2 ada yang bisa di-consider kalo orang yang dikenal aja sedikit. Apalagi yang bisa terus lolos jadi pasangan.
Ini tentunya tidak sama dengan membabi-buta semua ajakan kenalan/dating diturutin, karena kita tetap harus punya kriteria tertentu. Lebih tepatnya “membabi-melek” kali ya. Mengharapkan seseorang sudah harus sempurna bahkan di awal kenalan rasanya hanya membatasi pool of candidates, sehingga makin susah dapet pacaran benerannya.
Ada yang bilang, “KAN LELAH HAYATI KALO HARUS BANYAK KENALAN, BASA BASI SAMA BANYAK ORANG. BELUM LAGI INVESTASI WAKTU, DUIT, DAN PERASAAN!” Well, kalo kita nyari tujuan liburan, beli hape baru, atau beli rumah baru aja ada prosesnya untuk tahu sebanyak2nya dan melakukan seleksi, masak nyari pasangan hidup yang harusnya “usia pakai”nya lama gak mau repot sih? Kecuali kalo udah berprinsip, “Gw sih woles, Nanti Tuhan yang harus susah payah nganter jodoh gw ke pangkuan gw, Gw sih gak mau repot….” Kalo prinsipnya kayak gini, ya udah lah. Lagian semakin banyak kita ketemu orang, rasanya tidak ada ruginya, karena skill kita mengenali tukang tipu dari orang yang tulus makin terasah (cewek yang udah kenal 100 cowok harusnya lebih tajam instingnya mengendus buaya dibanding cewek yang hanya kenal 5 orang).
Jadi merasa jodoh seret? Amati jodoh funnel kamu. Jangan2 masalahnya dari mau kenal (aware) aja kamu udah gengsi, gak mau usaha. Ya kalo corongnya udah kecil di atas, ya makin susah deh sampe ke bawahnya.
Demikian penerapan konsep marketing ke dunia jodoh yang suka2 gw. Kalo dianggap berguna ya syukur, kalo dianggap sampah ya anda benar sekali! :p
Categories: human behavior, man and woman, Random Insight
Bingung om mau memperlebar funnel nya dimana haha, semua komunitasku no candidates. Jadinya “Gw sih woles, Nanti Tuhan yang harus susah payah nganter jodoh gw ke pangkuan gw, Gw sih gak mau repot….” aja deh wkwkwk… *curcolll
I CAN NOT NOT leave a comment here. Brilliant topic, Applicable ke semua umur yg udah layak mengenal cinta dan ditulis dgn apik.
Emg bang henry ini.. umur baby boomer, tampang millenial, jiwa Gen-Z. Mantap ;p
GW BUKAN BABY BOOMEEEER KAMPREEEEEEETTTTT
Uluuuuh caps lock semua 😀
Kejadian kok di gue dan jujur aja gue bilang, kalo ternyata pasangan kita udah lewat tahapan awareness > consideration > conversion pasti kita ngerasa bangga karena telah memilih yang terbaik diantara banyak pilihan yang baik. Jadinya gak enggan juga buat merawat hubungan, apalagi kalo return-nya bagus, jadi makin rajin dirawat deh… Lain cerita kalo di awareness hanya ada satu pilihan, ‘terpaksa’ di-consider dan di-convert, pas ada yang baru biasanya langsung cepat berpaling.
Ngomong apa lah aku ini…
Bacaan menarik di malam hari ketika mencari jodoh 😃
Senang baca tulisannya , om.
ada buku yang gak terlalu beken, penulisnya mantan apprentice Richard Branson, tapi isinya kurang lebih sama seperti artikel ini yaitu tips perjodohan dengan teori marketing, it’s really fun and realistic reading
judulnya “You lost him at Hello” by Jess McCann
https://www.goodreads.com/book/show/2963830-you-lost-him-at-hello?ac=1&from_search=true
jadi diantara pembaca ompiring, ada yang bisa masuk level consideration saya gak ya? lol.